Follow my Instagram : @nataniacatherin_
Hai semua! dukung terus cerita yang akuu buat yaa, kalau kamu suka, like ya, kalau ada kesalahan dari cerita ku, berikan saran, agar kedepannya aku bisa bercerita dengan baik untuk novel terbaru ku..✨❤️
"Cinta dan Cemburu"
Kisah tentang Catherine yang harus menghadapi perasaan rumit antara cinta dan cemburu. Dalam perjalanan hubungan dengan Akbar, ia menemukan sisi lain dari dirinya dan orang yang dulu sering menyakitinya. Di tengah kedekatannya dengan Naufal, Akbar yang penuh kecemburuan mulai menunjukkan sisi gelapnya. Namun, meskipun penuh dengan rintangan, Catherine harus memilih antara cinta yang tulus dan hubungan yang penuh ketegangan. Akankah ia bisa menemukan kedamaian di antara perasaan yang bertarung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chaterine Nathania Simatupang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekuatan di Balik Persahabatan
Pagi itu, seperti biasa, kantin sekolah dipenuhi dengan suara tawa dan obrolan teman-teman yang sibuk. Tetapi bagi Catherine, ada perasaan berbeda yang mengalir dalam dirinya. Sejak kejadian di perpustakaan dan setelah semakin menjauh dari Akbar, dia merasa seperti ada perubahan besar dalam hidupnya. Perubahan itu tidak datang dari luar, bukan karena orang lain yang memaksanya berubah, melainkan karena dia sendiri yang mulai mengerti siapa dirinya dan apa yang sebenarnya penting.
Catherine duduk di meja makan bersama Jenny, sahabat yang selalu ada untuknya, memainkan sendok sambil sesekali melirik teman-teman yang sedang ramai di sekitar mereka. Jenny selalu tahu bagaimana cara membuat Catherine merasa nyaman, meskipun terkadang mereka harus menghadapinya dengan ketegangan dari orang-orang lain.
"Hari ini gimana, Cat? Ada yang beda nggak?" tanya Jenny dengan senyum yang khas, memperhatikan sahabatnya yang sepertinya lebih tenang dan lebih percaya diri.
Catherine meletakkan sendok di piringnya dan tersenyum lebar. "Aku merasa lebih kuat, Jenny. Kayaknya aku mulai ngerti sekarang kalau aku bisa lebih dari yang aku pikirkan selama ini."
Jenny tertawa ringan, lalu menggigit sepotong roti bakar. "Aku selalu tahu, Cat. Kamu tuh punya kekuatan yang luar biasa, cuma kamu aja yang belum sadar sepenuhnya."
Catherine memandang sahabatnya itu dengan tatapan penuh syukur. Jenny selalu ada untuknya, baik di saat susah maupun senang. Tidak peduli seberapa berat masalah yang dihadapi, Jenny tidak pernah berhenti memberi dukungan.
Namun, meskipun dia merasa lebih kuat, ada satu hal yang masih menghantui Catherine—Akbar. Sejak kejadian di kantin beberapa minggu lalu, di mana dia mulai menjaga jarak dan merasa jengah dengan perhatian yang diberikan Akbar, Catherine merasa bingung. Meskipun dia tahu hubungan mereka tidak bisa kembali seperti dulu, kadang-kadang hatinya masih merasa sakit ketika melihat Akbar.
"Jenny," Catherine berkata dengan suara pelan, "Sebenarnya, aku nggak tahu harus gimana sama Akbar. Kadang aku masih berharap dia bakal lihat aku lebih dari yang dia lihat sekarang."
Jenny menatapnya, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir sahabatnya. Jenny tahu betul betapa beratnya perasaan Catherine, tetapi dia juga tahu bahwa apa yang dirasakan Catherine harus dihadapi dengan lebih kuat. "Cat," kata Jenny dengan nada bijak, "Coba deh ingat lagi. Apa yang dia lihat dan hargai tentang kamu? Kalau Akbar memang untuk kamu, dia akan melihat segala hal baik yang ada dalam dirimu, bukan cuma penampilan atau hal-hal yang bisa dia lihat di permukaan."
Catherine terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Jenny yang terasa dalam. Perasaan itu memang masih ada—keinginan untuk dilihat dan dihargai oleh Akbar, tetapi dia mulai menyadari bahwa itu bukan lagi prioritas utama dalam hidupnya.
"Kamu benar," jawab Catherine akhirnya, "Aku lebih penting dari itu. Aku nggak perlu orang lain untuk memberitahu siapa aku. Aku sudah cukup untuk diriku sendiri."
Di sisi lain kantin, Catherine melihat ke arah Akbar yang sedang berbincang dengan teman-temannya, termasuk Surya dan Adam. Mereka tampak menikmati hari itu, tetapi Catherine tidak lagi merasakan apapun. Tidak ada rasa sakit atau penyesalan. Dia hanya merasa, bahwa hidupnya sudah berjalan lebih baik tanpa terlalu bergantung pada pandangan orang lain.
Akbar sempat menoleh dan menangkap pandangan Catherine, tetapi dia hanya tersenyum ragu, seolah-olah ingin berbicara tetapi tahu bahwa Catherine tidak lagi akan membuka diri seperti dulu. Tak ada kata-kata, tak ada tatapan penuh harapan seperti yang dulu sering dia berikan. Semuanya telah berubah.
"Cat," Jenny melanjutkan, memperhatikan sahabatnya yang tampak melamun, "Aku nggak akan pernah biarin kamu ngerasa sendirian, oke? Kita hadapi ini bareng-bareng. Kalau dia nggak bisa lihat kamu, yaudah, biarin aja. Yang penting kamu lihat dirimu sendiri."
Catherine mengangguk perlahan. Dia merasa sangat berterima kasih kepada Jenny yang selalu mendukungnya, bahkan ketika dia merasa tersesat. Persahabatan mereka adalah hal yang lebih berharga daripada apapun yang bisa diberikan orang lain. Tidak ada lagi drama, tidak ada lagi manipulasi, hanya ada mereka berdua yang saling menjaga dan mempercayai.
"Terima kasih, Jen," kata Catherine dengan penuh tulus, "Aku nggak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa kamu."
Jenny membalas senyum Catherine dengan hangat. "Kamu nggak perlu berterima kasih, Cat. Kita kan sahabat. Dan aku akan selalu ada buat kamu."
Pagi itu di kantin, di tengah riuhnya suara teman-teman yang tidak terlalu penting, Catherine merasa seperti dunia kembali menjadi lebih cerah. Dia sudah menemukan kekuatan di dalam dirinya sendiri. Cinta sejati memang dimulai dari mencintai diri sendiri, dan sekarang dia mengerti itu sepenuhnya.
Catherine memutuskan untuk kembali ke kelas. Di perjalanan menuju lorong sekolah, dia berpapasan dengan Akbar yang sedang berjalan sendirian. Awalnya Catherine berniat untuk melewati begitu saja, tetapi Akbar menghentikan langkahnya dan memanggil pelan, "Catherine, tunggu."
Catherine menghela napas dalam hati. Dia tidak punya niat untuk menghindar, tetapi juga tidak ingin membuka percakapan yang panjang. Dengan ekspresi datar, dia berbalik. "Apa, Akbar?"
Akbar tampak ragu sejenak, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat. "Aku cuma mau bilang... maaf soal semuanya. Dulu aku salah. Aku tahu aku pernah nyakitin kamu, dan aku nggak seharusnya ikut-ikutan ngebully kamu."
Nada suaranya terdengar tulus, tetapi Catherine tidak menunjukkan reaksi apa pun. Dengan nada yang sengaja dibuat dingin, dia menjawab, "Kalau kamu udah sadar, bagus. Tapi aku nggak butuh maaf kamu, Akbar. Semua itu udah selesai buat aku."
Akbar terdiam, mungkin tidak menyangka jawaban Catherine akan setegas itu. Dia biasanya melihat Catherine yang pendiam, yang lebih sering menghindari konfrontasi. Tapi sekarang, Catherine berbeda.
"Aku ngerti, Catherine. Aku cuma mau kita bisa baik-baik aja," kata Akbar, mencoba mencari celah untuk memperbaiki hubungan mereka, meskipun dia tahu bahwa tidak mudah untuk membangun kembali kepercayaan.
Catherine mengangkat alis, menunjukkan ketidaktertarikannya. "Baik-baik aja? Aku nggak pernah ganggu kamu, kan? Kalau menurut kamu itu cukup, ya udah, kita baik-baik aja. Tapi jangan harap aku bakal ramah kayak dulu."
Jawabannya membuat Akbar semakin bingung. Dia merasa bersalah, tetapi di saat yang sama, dia sadar bahwa Catherine sudah tidak peduli lagi. Catherine yang dulu sering menaruh perhatian padanya kini berbicara tanpa emosi apa pun.
"Aku ngerti, Cat," gumam Akbar akhirnya, menyerah pada usahanya.
Catherine hanya mengangguk kecil dan berbalik pergi tanpa menoleh lagi. Jenny yang dari jauh melihat interaksi itu menghampirinya setelah Akbar pergi.
"Dia ngomong apa tadi?" tanya Jenny penasaran.
Catherine mengangkat bahu. "Dia minta maaf, tapi aku udah nggak peduli. Sekarang aku cuma mau fokus ke diriku sendiri."
Jenny tersenyum lebar. "Bagus! Itu Catherine yang aku suka. Kamu udah di jalan yang benar."
Sepanjang sisa hari itu, Catherine merasa lebih ringan. Dia menyadari bahwa tidak semua permintaan maaf perlu diterima sepenuhnya, terutama jika luka yang ditinggalkan terlalu dalam. Bagi Catherine, memberi ruang pada dirinya sendiri untuk berkembang jauh lebih penting daripada menoleh ke masa lalu.
Di ujung hari, ketika dia melihat Akbar dari kejauhan bersama Surya dan Adam, dia hanya menggelengkan kepala kecil. "Mereka tetap sama," pikirnya. Tetapi dirinya? Catherine tahu bahwa dia sudah berubah menjadi pribadi yang lebih kuat.