Kimberly atau dipanggil Lily usia 21 tahun gadis tangguh yang memiliki bela diri tingkat tinggi dan kecerdasan di atas rata-rata. Mempunyai Alter Ego bernama Emily, orang yang dingin, terkejam tanpa ampun terhadap musuhnya, tidak mempunyai hati. Emily akan muncul apabila Lily dalam keadaan sangat bahaya. Namun konyolnya, Lily mati karena bola susu yang tersangkut di tenggorokannya ketika sedang tertawa terbahak-bahak karena melihat reality show Korea favorit nya.
Lily terbangun di tubuh Kimberly Queeni Carta, pewaris tunggal keluarga Carta, konglomerat no 02 di Negara nya. Mempunyai tunangan bernama Max yang tidak menyukainya dan terang-terangan menjalani hubungan dengan Lolita.
Kimberly sekarang bukanlah Kim si gadis lemah dan penakut seperti dulu. Kimberly menjadi sosok yang menakutkan dan membalikkan penghinaan.
Kimberly bertemu dengan Davian Isandor Dhars, tunangan masa kecilnya yang dingin dan diam-diam selalu melindunginya.
Akankah Lily akan menemukan cinta sejati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pamit Pulang
Pagi itu sinar matahari menyelinap masuk melalui celah tirai kamar rawat Lily. Hari ini adalah hari yang telah ia tunggu-tunggu, hari dimana ia diperbolehkan pulang setelah seminggu dirawat pasca bangun dari koma. Perasaan Lily campur aduk. Di satu sisi ia sangat bahagia akhirnya bisa kembali ke rumah, namun di sisi lain ia merasa sedih karena harus berpisah dengan orang-orang yang telah menemani hari-harinya di rumah sakit.
Ketukan halus di pintu kamar membuyarkan lamunannya. Mama Selena masuk lebih dulu, diikuti Papa Nathan. Keduanya membawa senyum lebar.
“Selamat pagi, sayang! Siap pulang, kan?” tanya Mama Selena ceria sambil memeluk Lily.
“Pagi, Ma! Siap dong!” Lily berusaha terdengar semangat, tapi ada nada sendu dalam suaranya yang tidak luput dari perhatian papanya.
“Lho, kok suaranya kayak orang gak rela pulang, nak?” canda Papa Nathan sambil duduk di tepi ranjang.
Lily hanya mengangkat bahu, sedikit tersenyum. “Ya gimana ya, Pa. Ternyata banyak banget yang bakal aku kangenin dari sini.”
👜
Setelah membantu Lily berpakaian dan membereskan barang-barangnya, keluarga itu berjalan keluar dari kamar perawatan. Mereka berjalan perlahan menuju lobi rumah sakit, tempat semua administrasi untuk kepulangan diselesaikan.
Namun, belum sampai di lobi, suara langkah cepat dan seruan hangat terdengar dari arah lorong belakang.
“Lily! Tunggu!” Suara suster Mei, suster jaga yang sering menemani Lily selama dirawat.
Suster Mei dan beberapa rekannya berlari kecil ke arah Lily. Wajah mereka semua tampak berbinar sekaligus sedih. Lily berhenti dan berbalik dengan senyum ceria.
“Eh, suster Mei, apa-apaan sih? Kayak nggak bakalan ketemu lagi aja,” gurau Lily, meski hatinya ikut merasa berat.
Suster Mei memeluk Lily erat. “Ya kan beneran sedih, Lily! Kamu itu bikin suasana rumah sakit jadi beda selama seminggu di sini. Mana bisa kami nggak kehilangan?”
Dokter Leon dan beberapa dokter lain pun muncul. Mereka menghampiri Lily dengan senyum. Dokter Leon, yang selama ini mengawasi langsung kondisi Lily, menepuk pundaknya pelan.
“Saya tidak menyangka pasien seperti kamu akan meninggalkan kesan sebesar ini di rumah sakit ini, Lily. Biasanya pasien ya... paling ya cuma numpang sembuh. Tapi kamu? Bahkan anak-anak di ruang rawat sebelah saja sudah merasa seperti kamu kakak mereka.”
😭
Saat Lily dan keluarga melewati ruang bermain anak-anak, pemandangan yang membuat hati mereka hangat muncul. Anak-anak pasien, yang sering diajak Lily membaca cerita atau hanya bercanda bersama, sudah berbaris rapi di depan ruangan mereka.
Seorang anak perempuan mungil dengan rambut diikat pita pink berlari ke arah Lily. “Kak Lily, beneran pulang hari ini?” tanyanya dengan mata membulat.
Lily jongkok agar sejajar dengan anak itu dan mengusap kepalanya lembut. “Iya, sayang. Tapi jangan khawatir, nanti aku pasti mampir kalau sempat ya,” janjinya dengan senyum.
Seorang anak laki-laki yang sedikit lebih besar menyodorkan secarik kertas pada Lily. Gambar itu ternyata potret Lily yang sedang membaca cerita untuk mereka. Meski goresannya sederhana, tetapi begitu mengharukan.
“Makasih ya, Kak Lily. Kakak baik banget.”
Air mata menetes di pipi Lily, tapi ia cepat-cepat menghapusnya dengan ujung lengan. “Duh, ini siapa sih yang bikin Kak Lily jadi nangis? Kalian itu bikin Kak Lily jadi nggak tega mau pulang,” ucapnya dramatis sambil berpura-pura sedih.
Anak-anak tertawa kecil mendengar kekonyolan Lily.
🧑⚕️
Ketika sampai di lobi, Lily dikagetkan dengan suara notifikasi ponselnya. Ternyata grup baru muncul di aplikasinya, dengan nama grup: "Lily’s Fans Club - RS Prima".
“Eh, apa-apaan nih?” Lily membaca grup itu dan mendapati para suster serta beberapa dokter yang menambahkan dirinya. Mereka ramai bercanda dan saling mengirimkan foto kebersamaan mereka selama seminggu terakhir.
Suster Mei berbisik sambil tertawa, “Kami sengaja bikin grup ini supaya kamu nggak lupa sama kami. Kalau bisa, kabari ya kalau kamu butuh apa-apa!”
“Ya ampun, kok kayak artis aja sih aku?” canda Lily dengan wajah sumringah. Ia kemudian mengetik pesan ke grup:
"Terima kasih semua! Kalian keluarga kedua terbaik yang pernah aku punya. Aku nggak akan lupa kalian semua, janji deh! 🩷"
💐
Belum selesai mereka bercanda, sosok Dave masuk ke lobi rumah sakit sambil membawa sebuket bunga. Wajahnya tampak sedikit gugup, tetapi senyumnya selalu ada untuk Lily.
“Hey, Lily. Aku pikir kamu mau pergi tanpa pamit sama aku,” ujar Dave pura-pura kecewa sambil mendekat.
“Nggak mungkinlah, ya. Masa ninggalin kamu begitu aja?” balas Lily sambil tersenyum, melupakan rasa harunya sejenak.
Dave memberikan buket bunga itu pada Lily. “Aku nggak tahu harus bilang apa selain, jangan sampai kamu masuk rumah sakit lagi ya. Soalnya kalau iya, aku juga bakal stres lihat kamu terbaring di ranjang kayak kemarin.”
Mereka saling tersenyum penuh arti. Lily melihat Dave seolah mengatakan begitu banyak tanpa suara, dan itu membuat hatinya semakin tenang.
👋🫰
Saat semua orang berkumpul untuk mengantar Lily, tangis mulai terdengar dari para suster yang paling dekat dengannya. Beberapa dokter pria hanya mengusap leher mereka, mencoba menyembunyikan emosi.
“Terima kasih sudah jadi pasien spesial di sini, Lily. Jangan lupa kami, ya.” Suster Mei kembali berkata, kali ini matanya berair.
Lily tertawa kecil untuk mengurangi kesedihan suasana. “Aku lupa? Aduh, nggak mungkin deh! Kalian terlalu cerewet buat dilupain,” gurau Lily, membuat suasana mencair.
Namun ketika Suster Mei tiba-tiba memeluk Lily erat, air mata akhirnya tumpah dari matanya. “Aku janji aku bakal ingat kalian semua. Kalian bagian terbaik dari pengalaman rumah sakit ini. Terima kasih karena kalian sudah baik banget sama aku,” ucap Lily sambil terisak.
Mama Selena yang sejak tadi diam, berusaha menyeka air matanya juga. “Nathan, kamu lihat kan anak kita ini? Dia bikin satu rumah sakit jadi nempel di hatinya. Aku bangga banget, tapi juga… berat rasanya ngeliat semua orang sesayang ini sama dia,” katanya pelan sambil mengusap punggung suaminya.
Papa Nathan tersenyum lebar meski ada air mata tipis di sudut matanya. “Lily ini memang anak luar biasa. Semua yang dia lakukan selalu dari hati.”
Akhirnya, Lily memeluk satu per satu orang-orang di rumah sakit itu, mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal dengan tulus.
Saat ia berjalan menuju pintu bersama Dave dan keluarganya, semua yang hadir melambai padanya, menyuarakan doa dan harapan terbaik.
“Lily, jangan lupa kami ya! Kapan-kapan mampir kalau sempat!” teriak salah satu dokter.
Lily membalas dengan lambaian tangan ceria. “Janji nggak lupa! Kalian semua orang-orang terbaik yang aku kenal. Sampai jumpa lagi!”
Lalu pintu rumah sakit itu tertutup di belakangnya. Perasaan hangat mengiringi langkahnya meninggalkan tempat yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama seminggu penuh makna.
mantap grazy y
lanjut lagi Thor...