Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Cemas yang Mengganggu
Trigger Warning: Bab ini mencakup adegan serangan panik yang cukup detail. Jika kamu merasa topik ini bisa memengaruhi kenyamanan, silakan lanjutkan membaca dengan hati-hati atau lewati bagian ini.
***
Sikap Karina benar-benar berubah. Tidak ada sikap manjanya lagi, tidak ada celotehannya lagi, tidak ada senyumannya lagi. Hal itu membuat Nino semakin frustrasi dan rasa bersalah dalam dirinya semakin menjadi-jadi. Rasa bersalah karena semakin yakin jika Karina merasa tidak puas dengan hubungan yang mereka jalani.
Di satu sisi, Nino takut untuk mengungkapkan semua yang disembunyikannya selama ini. Di sisi lain, Nino juga tidak ingin hubungannya terus seperti ini. Ia tidak ingin kehilangan Karina, semakin hari jarak di antara mereka semakin merenggang. Nino kembali merasakan Karina sulit untuk digapai.
Dalam tidurnya, Nino merasakan ketidaktenangan. Mimpi buruk itu kembali hadir dan lebih intens dari biasanya, napasnya terengah-engah, keringat dingin mengucur deras dari keningnya. Di mimpinya, ia kembali menyaksikan kejadian tragis itu. Ia merasakan dinginnya lantai kamar mandi, mendengar suara gemericik air dari shower yang bercampur dengan merahnya darah ketika air itu jatuh menyentuh lantai. Seketika pemandangan itu membuatnya terperenyak, Nino dapat mendengar teriakan dan tangisannya yang histeris.
Seketika Nino membuka matanya dengan napas yang cepat dan saat itu kembali ia temukan Karina di sana.
"Kamu baik-baik aja, Mas?" tanya Karina khawatir.
Nino beranjak duduk sambil meneliti sekitar. Rupanya ia tertidur saat sedang menonton TV di sofa. Matanya melirik pada jam dinding, sudah pukul tiga pagi.
"Kenapa kamu belum tidur jam segini?" Alih-alih menjawab, Nino malah balik bertanya pada Karina.
"Aku udah tidur tadi, tapi karena haus jadi ke bangun. Sekarang mau ambil minum." Karina mengangkat mug yang dipegangnya.
"Oh." Nino masih berusaha untuk menetralkan napasnya. Ia mengusap wajahnya kasar. Lalu, menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Kamu enggak apa-apa, Mas?" ulang Karina sebab belum menemukan jawaban yang diinginkannya.
Nino tersenyum samar. "Aku gak apa-apa, kok."
Setelah itu, Nino beranjak bergerak menuju kamar. Karina memandangi pria itu yang menaiki tangga.
Bukan hanya Nino yang merasa jarak di antara mereka semakin menjauh. Karina juga merasakan hal yang sama. Ternyata sejak ia mengatakan sikapnya akan berubah, sikap Nino juga ikut berubah padanya. Apa ia sudah keterlaluan kemarin? Karina rindu hal-hal kecil yang dilakukan Nino padanya.
Ternyata memang benar, perhatian sekecil apa pun akan lebih terasa saat semuanya menghilang. Karina menuangkan air panas sambil melamun, hingga ia tidak sadar air panasnya sudah meluber dan mengenai tangan Karina. Karena terkejut, mug yang dipegangnya jatuh sampai pecah.
Karina berusaha untuk tidak membuat suara keras karena rintihannya yang kesakitan, sebab air panas dari mugnya mengenai kaki juga. Namun, saat sedang membersihkan pecahan keramik dari mugnya, Nino sudah berada di dapur.
"Karin, kamu gak apa-apa?" tanya Nino khawatir. Ia melihat kaki dan tangan wanita itu yang memerah.
Tanpa menunggu Karina menjawab, Nino menggendong Karina menuju kamar mandi. Ia mendudukkan Karina di closet. Kemudian, Nino mengambil hand shower yang tidak jauh darinya, menyalakan keran, lalu menyiram bagian kaki Karina yang memerah. Nino melakukan hal yang sama pada tangan Karina.
Karina hanya memandangi suaminya, ia melihat raut lelah di wajah pria itu. Ia tidak tahu semalam Nino pulang jam berapa, sudah beberapa hari ini Nino tidak menjemputnya pulang karena ada urusan. Ketika Karina pergi tidur jam sembilan malam, Nino belum berada di rumah. Ia juga tidak tahu, apa setiap malam Nino mengalami mimpi buruk atau tidak. Ia merasa jadi istri yang abai dalam beberapa hari terakhir ini.
Nino mematikan aliran air dari keran, ketika akan menggendong Karina, wanita itu menahan tangan Nino.
"Aku bisa jalan sendiri, Mas."
"Luka kamu belum diobati."
Karina tidak menimpal lagi, ia membiarkan tangan itu memangku beban berat tubuhnya. Meski sebenarnya Karina masih bisa berjalan sendiri karena lukanya tidak seberapa. Karina melingkarkan tangan lebih erat di leher pria itu. Ia rindu bermanja-manja seperti ini pada suaminya. Ia rindu menghidu aroma musk yang lembut dan manis dari tubuh pria itu.
Nino merasakan rangkulannya lebih erat daripada tadi. Ia tersenyum samar, karena Nino suka Karina berlaku seperti ini padanya. Nino mendudukkan Karina di sofa, tetapi Karina tidak melepaskan rangkulan di pundaknya.
"Aku mau ambil dulu kotak obat. Kamu tunggu di sini, ya."
Karina terpaksa melepaskan rangkulannya. Setelah itu, Nino beranjak menuju tempat kotak obat disimpan. Beberapa menit kemudian, ia kembali membawa kotak berukuran sedang berwarna putih dengan tanpa plus merah di atasnya.
"Kamu kenapa bisa teledor begini, sih?" omel Nino sambil mengoleskan salep luka bakar di kaki Karina. "Untung kaki kamu gak sampai melepuh."
Karina tidak menjawab. Ia hanya memandangi Nino yang telaten mengobati lukanya.
"Mas."
Nino mengangkat wajah untuk menatap istrinya. "Kenapa, Sayang? Lukanya sakit?"
Karina menggeleng. "Enggak."
"Perih?"
Karina kembali menggeleng.
"Terus kenapa?"
Karina merentangkan tangan. "Aku mau dipeluk."
Nino tertegun sesaat, lalu tersenyum. Nino beranjak duduk ke samping Karina dan memeluk wanita itu.
"Manjanya kamu udah balik lagi," ujar Nino sambil tersenyum.
"Maafin aku ya, Mas. Karena aku udah cuek sama kamu beberapa hari ini."
Nino merenggangkan pelukannya. "Itu salahku juga. Karena aku terlalu khawatir sama kamu. Aku udah buat kamu gak nyaman. Maafin aku juga, ya."
Karina mengangguk. Ia kembali memeluk Nino.
Sebenarnya, Karina masih menunggu Nino untuk bicara tentang dirinya, tetapi Nino tidak mengatakan apa pun lagi. Karina akan mencoba untuk mengerti dan tidak akan memaksa Nino untuk bicara mengenai keadaannya. Meskipun, ia sangat penasaran. Mungkin, Karina harus menunggu Nino mengungkapkannya sendiri. Walaupun tidak tahu kapan itu terjadi.
***
Nino akhirnya mengizinkan Karina untuk mengikuti kegiatan employee gathering di Anyer akhir pekan ini. Namun, selama Karina tidak ada, Nino mati-matian menahan diri untuk tidak sering menghubunginya. Meski rasa cemasnya melanda, ia berusaha untuk melawan semuanya. Saat Karina menelepon, ia selalu mencecar wanita itu dengan banyak pertanyaan. Meski Karina menjawab dengan tenang, tetapi selalu ada helaan napas saat akan memulai bicara. Seakan wanita itu berusaha untuk sabar agar tidak emosi.
Sore itu, Nino duduk di tepi ranjang. Ia menunggu kepulangan Karina dengan perasaan gelisah. Wanita itu bilang akan sampai saat sore hari, tetapi hari sudah hampir gelap.
Berbagai pikiran negatif tentang Karina kembali menerjang kepalanya. Nino semakin tidak bisa mengontrol diri. Embusan napasnya semakin cepat, jantungnya berdegup tidak teratur. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan. Nino semakin tenggelam ke dalam kegelisahan yang tidak dapat dihindari olehnya. Ia sudah berusaha mengontrol napasnya, tapi sia-sia.
Ia menatap nakas dengan laci yang tertutup rapat. Nino semakin sulit bernapas, dadanya terasa tertekan. Dengan susah payah, ia menjangkau nakas dan membuka laci. Lalu, mengambil botol obat yang sudah cukup lama tidak disentuh olehnya itu.
Dalam beberapa waktu terakhir, ia baru merasakan kembali perasaan seperti ini. Hidupnya seakan berada di ujung tanduk. Pikirannya kalut, bahkan anggota tubuhnya terasa kaku. Tanpa menimbang-nimbang lagi, Nino meminum obat itu.
***
Karina tiba saat waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia merasa kesal pada atasannya karena mengulur waktu pulang beberapa jam. Ia takut Nino khawatir karena dirinya pulang telat.
Saat masuk, rumah dalam keadaan sepi. Ia tidak melihat Nino di mana pun. Mobilnya ada, mustahil jika pria itu pergi tanpa menggunakan mobil. Saat membuka pintu kamar, ia melihat Nino yang sudah tertidur. Baru kali ini ia melihatnya tidur lebih awal. Karina tidak bisa mengabari karena ponselnya kehabisan baterai.
Ia menyimpan koper, lalu berjalan menghampiri tempat tidurnya. Kemudian, menarik selimut untuk menutupi tubuh suaminya. Saat berbalik, tangannya tidak sengaja menyenggol sesuatu di nakas. Karina mengernyit saat menatap botol plastik berukuran kecil di sana. Ia duduk di tepi ranjang, lalu mengambil benda itu.
Karina membaca label yang tertempel di botol itu. Kenapa bisa ada botol obat di sana? Apa Nino sakit? Karina menoleh ke arah Nino yang masih tertidur. Ia diam-diam mengambil ponsel Nino yang tergeletak di samping pria itu.
Karina membuka aplikasi pencarian, mengetikkan nama obat yang tertera di sana, lalu muncul beberapa artikel mengenai informasi yang diinginkan.
Karina membaca dengan saksama tulisan dari salah satu artikel. Mata wanita itu membulat saat mengetahui informasi tentang obat itu. Seketika ia menoleh ke arah Nino dengan raut wajah khawatir sekaligus terkejut.