Lucy adalah mata-mata yang tidak pernah gagal menjalankan misinya. Namun, kali ini misinya membawa dia menyamar sebagai pacar palsu miliarder muda, Evans Dawson , untuk memancing musuh keluar dari persembunyiannya.
Ketika Evans tanpa sadar menemukan petunjuk yang mengarah pada identitas asli Lucy, hubungan mereka yang semula hanya pura-pura mulai berubah menjadi sesuatu yang nyata.
Bisakah Lucy menyelesaikan misinya tanpa melibatkan perasaan, atau semuanya akan hancur saat identitasnya terbongkar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Target
Gemerlap pesta malam itu memenuhi setiap sudut ruangan dengan cahaya yang memukau, suara percakapan hangat, dan tawa dari para tamu VIP yang hadir. Lucy berdiri di sisi Evans, mengenakan gaun elegan yang membuatnya terlihat seperti seorang bangsawan. Ia menjaga sikapnya tetap anggun, memperhatikan setiap gerak-gerik di sekitar tanpa kehilangan kewaspadaan.
Saat ia sedang menyesap minumannya dengan santai, tatapannya secara tidak sengaja bertemu dengan seorang pria yang berdiri di dekat sudut ruangan. Ia langsung mengenalinya. Pria itu adalah target misinya, pria yang dikenalnya dari foto yang dikirim oleh Jenna. Seorang pria berusia pertengahan 40-an, dengan rambut gelap yang tertata rapi dan postur tubuh tinggi tegap. Pria itu sedang berbincang serius dengan sekelompok tamu VIP, mengenakan setelan jas mahal yang memperlihatkan statusnya sebagai seseorang dengan pengaruh besar.
Lucy berusaha menahan keterkejutannya dan tetap menjaga wajah tenangnya. Ia menoleh sedikit, berpura-pura melihat ke arah lain, sementara pikirannya mulai berputar. "Bagaimana pria itu bisa ada di sini? Apa hubungannya dengan pesta ini?"
Evans, yang berdiri di samping Lucy, sedang berbicara dengan Brandon tentang rencana bisnis mereka. Lucy mengambil kesempatan itu untuk menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa misinya tidak akan mudah, tetapi ia juga tidak menyangka akan bertemu targetnya dalam situasi seperti ini. Ia harus berhati-hati, memastikan tidak menarik perhatian siapa pun, termasuk Evans.
Pria itu tampak percaya diri, dikelilingi oleh beberapa tamu VIP yang terlihat sangat terpengaruh olehnya. Lucy bisa merasakan aura berkuasa dari cara pria itu berdiri, berbicara, dan sesekali tertawa kecil, memperkuat posisinya di tengah kerumunan. Namun ada sesuatu yang tidak biasa, ia tampak terlalu berhati-hati, seolah selalu waspada terhadap siapa pun di sekitarnya.
Lucy mengerutkan dahi. Ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan. Pria itu tidak hanya cerdas, tapi juga tampaknya menyadari adanya ancaman yang mungkin datang padanya. Tapi Lucy bukan orang baru dalam situasi seperti ini. Ia telah menghadapi banyak target sulit dalam kariernya.
Dia melirik sekilas pada Evans, memastikan pria itu masih sibuk. Evans, seperti biasanya, terlalu fokus pada percakapan bisnisnya hingga tidak menyadari perubahan kecil dalam ekspresi Lucy. Ini memudahkannya untuk tetap menjalankan peran sebagai pendamping tanpa terlalu banyak pertanyaan.
Di tengah pengamatannya, Lucy menyadari pria itu mulai bergerak menuju meja buffet. Kesempatan ini tidak bisa ia lewatkan. Dengan penuh keyakinan, ia memutuskan untuk sedikit mendekat, tetap menjaga jarak aman agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dia mengambil langkah pelan, berpura-pura memilih hidangan di meja yang sama, sementara pandangannya terus mencuri informasi dari targetnya.
"Lucy," suara lembut Evans tiba-tiba terdengar di belakangnya. Lucy menahan napas sejenak sebelum berbalik, memasang senyum manis.
"Kau ke sini untuk hidangan?" tanya Evans, suaranya tenang tetapi penuh perhatian.
Lucy mengangguk pelan. "Aku hanya ingin mencicipi sesuatu. Tapi tidak apa-apa, kau bisa melanjutkan pembicaraanmu. Aku akan kembali sebentar lagi."
Evans tampak sedikit ragu, tetapi akhirnya mengangguk sebelum berjalan kembali ke tempat Brandon menunggunya. Lucy menghela napas lega. Meskipun dia tahu Evans tidak mencurigainya, setiap interaksi dengannya seperti ujian dalam menjaga perannya tetap sempurna.
Lucy menyusuri ruangan dengan anggun, membawa gelas minuman di tangannya seperti seorang tamu yang benar-benar menikmati pesta. Di dalam hatinya, ia merasakan detak jantung yang semakin cepat, namun wajahnya tetap menampilkan ketenangan sempurna.
Saat pria itu berhenti di dekat meja makan, berbicara dengan seorang wanita paruh baya yang mengenakan gaun mahal, Lucy mendekat dengan cara yang tidak mencurigakan. Ia memanfaatkan pelayan yang lewat untuk mengambil segelas champagne baru, memastikan dirinya terlihat seperti tamu biasa yang hanya ingin bersosialisasi. Ia berdiri cukup dekat untuk mendengar sebagian dari percakapan mereka, tanpa menarik perhatian.
Pria itu berbicara dalam bahasa Inggris dengan aksen tegas, meskipun sesekali ia beralih ke bahasa Italia. Wanita itu tampak mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk sambil tersenyum. Dari nada dan topik pembicaraan mereka, Lucy bisa menangkap bahwa mereka sedang mendiskusikan bisnis properti di Eropa, termasuk rencana ekspansi besar-besaran. Namun, ada nada halus dalam suara pria itu yang membuat Lucy yakin ada lebih dari sekadar transaksi bisnis yang dibahas.
Lucy mencatat informasi itu di pikirannya sambil tetap berpura-pura fokus pada minumannya. Tangannya yang memegang gelas tidak sedikit pun bergetar, meskipun pikirannya bekerja dengan cepat, mencoba menghubungkan semua petunjuk yang ada.
Ketika pria itu tertawa kecil, Lucy dengan lihai menyesap champagne-nya, menggunakan gerakan itu untuk memperhalus pandangannya yang mempelajari gestur pria tersebut. Ia memperhatikan bahwa pria itu sesekali melirik ke sekeliling ruangan, memastikan tidak ada yang terlalu dekat atau terlalu memperhatikan mereka. Hal itu semakin memperkuat keyakinan Lucy bahwa pria ini menyembunyikan sesuatu.
Sebuah peluang muncul saat pelayan mendekati meja untuk menawarkan hidangan pembuka. Wanita paruh baya itu mengambil kesempatan untuk berpamitan, meninggalkan pria tersebut sendirian. Lucy tahu ini saat yang tepat untuk mendekat lebih jauh, tapi ia tetap berhati-hati.
Dengan langkah ringan, ia bergerak menuju meja yang sama, berpura-pura memilih hidangan. Saat pria itu mengambil gelasnya dan mulai berbalik, pandangan mereka sempat bertemu. Lucy memberikan senyum ramah dan sopan, seperti seorang tamu pesta yang tidak sengaja bertukar tatapan dengan orang asing. Pria itu membalas senyumnya, meskipun matanya menyiratkan kewaspadaan.
"Selamat malam," ucap pria itu, nada suaranya ramah namun penuh kehati-hatian.
"Selamat malam," balas Lucy dengan nada sopan, mempertahankan senyumnya sebelum kembali fokus pada meja hidangan.
Saat pria itu melangkah pergi, Lucy merasa lega namun tetap waspada.
"Nona Lucy," suara Brandon yang tegas terdengar tiba-tiba di belakangnya, memecah fokusnya yang tengah mengamati target. Lucy menoleh dengan santai, menyembunyikan kegelisahan yang mulai muncul di benaknya. Brandon berdiri dengan tangan disilangkan di dada, alisnya terangkat sedikit, memberikan kesan ia tidak puas. "Kau menghilang terlalu lama. Tuan Dawson mencarimu."
Lucy tersenyum dengan tenang, senyuman yang sudah terlatih dari tahun-tahun pengalamannya sebagai agen. "Maaf," ujarnya dengan nada ringan. "Aku hanya mencari udara segar. Pesta ini sedikit terlalu ramai untukku."
Brandon mengangkat alisnya, matanya menyipit sedikit seolah mencoba membaca apa yang sebenarnya dilakukan Lucy. "Udara segar? Di sini?" Ia melirik sekeliling. "Aku tidak melihatmu mendekati balkon atau taman tadi."
Lucy tetap tersenyum, menyesap anggur di tangannya dengan santai. "Aku hanya berkeliling, Tuan Brandon. Ruangan ini sangat besar, dan aku hanya ingin melihat-lihat tanpa mengganggu Evans atau tamu lainnya. Apakah itu salah?"
Brandon menatapnya beberapa saat, sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Tidak, tentu saja tidak salah. Tapi Tuan Dawson mulai khawatir. Kau terlalu lama pergi."
Lucy sambil mengangguk. "Aku akan kembali padanya sekarang."
Brandon tidak langsung berbalik. Ia tetap berdiri di tempatnya, tatapannya tidak bergeming dari wajah Lucy. "Kau tidak sedang mencari masalah, bukan?" tanyanya, suaranya rendah namun tajam.
Lucy tertawa kecil, meskipun ia bisa merasakan tatapan Brandon yang penuh selidik. "Masalah? Masalah apa yang ditimbulkan olehku. Kau ini profesional dalam menjalankan tugas."
Brandon mengangguk kecil, meskipun ekspresi curiganya belum sepenuhnya hilang. "Bagus kalau begitu. Ayo, aku akan mengantarmu kembali padanya."
Tanpa menunggu jawaban, Brandon berjalan mendahului Lucy, mengarahkannya ke area tempat Evans berada. Sepanjang perjalanan, Lucy bisa merasakan tatapan Brandon yang sesekali menoleh ke arahnya, seolah mencoba menangkap sesuatu yang tidak diucapkan.
Lucy kembali ke sisi Evans dengan langkah ringan. Saat ia mendekat, Evans menyambutnya dengan senyuman hangat yang seolah-olah menyapu segala kekhawatiran di sekitar.
"Ke mana saja kamu?" tanya Evans dengan nada bercanda, meskipun ada sedikit nada khawatir dalam suaranya. "Aku merasa kehilangan pendampingku."
Lucy menanggapi dengan tawa lembut, memainkan perannya dengan sempurna. "Maaf, aku hanya ingin melihat suasana pesta dari sudut yang berbeda. Kau tahu, mencoba menikmati malam ini dengan cara yang lebih santai."
Evans mengangguk, tampak puas dengan jawabannya. "Kalau begitu, tetaplah di sini. Aku tidak ingin kau jauh dariku."
Lucy hanya tersenyum dan mengangguk.
Evans tampak menikmati kehadiran Lucy di sisinya. Sesekali, ia memperkenalkannya kepada beberapa tamu penting yang mendekati meja mereka. Lucy memainkan perannya dengan sempurna, memberikan kesan sebagai pasangan yang anggun dan berkelas. Ia tahu, semakin baik ia menjalankan perannya, semakin kecil kemungkinan Evans mencurigai motif sebenarnya.
"Lucy," Evans berkata dengan suara pelan saat jeda dari percakapan dengan tamu lainnya. "Kau benar-benar membuat malam ini berbeda. Biasanya, aku merasa pesta-pesta seperti ini sangat membosankan, tetapi dengan kau di sini, semuanya terasa lebih menyenangkan."
Lucy menatap Evans, sedikit terkejut dengan nada tulus dalam ucapannya. Ia tahu Evans mulai merasakan sesuatu terhadapnya, dan itu membuat perannya semakin rumit. Namun, ia tetap tersenyum lembut, berusaha menjaga batas profesionalnya.
"Terima kasih, Tuan Dawson. Aku hanya melakukan yang terbaik untuk mendukungmu," jawab Lucy dengan nada hangat.
Evans tampak semakin nyaman berbicara dengan Lucy. Setiap kali ada tamu baru yang datang, ia tidak ragu memamerkan Lucy sebagai kekasihnya. Lucy menyadari bahwa Evans benar-benar mulai memandangnya lebih dari sekadar pendamping pura-pura.
Ketika ada jeda dalam percakapan, Evans menatap Lucy dengan pandangan yang sulit diartikan. "Lucy," katanya perlahan, "Aku tahu ini semua mungkin terasa mendadak bagimu, tetapi aku ingin kau tahu bahwa aku menghargai kehadiranmu di hidupku, meskipun kita baru mengenal satu sama lain."
Lucy merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi kata-kata Evans tanpa memberikan sinyal yang salah. Lucy hanya membalasnya dengan tersenyum.