Ares dan Rara bersahabat baik dari kecil. Tidak mau kehilangan Ares membuat Rara mempertahankan hubungan mereka hanya sebatas sahabat dan memilih Arno menjadi pacarnya. Masalah muncul saat Papa Rara yang diktator menjodohkan Ares dan Rara jatuh sakit. Sikap buruk Arno muncul membuat Rara tidak mempertimbangkan dua kali untuk memutus hubungan seumur jagung mereka. Ares pun hampir menerima perempuan lain karena tidak tahan dengan sikap menyebalkan Rara. Namun demi melindungi Rara ,memenuhi keinginan papa dan membalas Arno. Akhirnya Rara dan Ares menikah. Hari - hari pernikahan mereka dimulai dan Rara menyadari kalau menjadi istri Ares tidak akan membuatnya kehilangan lelaki itu. Lantas bagaimana kelanjutan hubungan mereka yang sebelumnya sahabat menjadi suami istri serta bagaimana jika yang sakit hati menuntut balas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Calistatj, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 1
[Hi Guys Selamat Datang Di Karya Pertama Saya.
Selamat membaca dan semoga suka. Mohon bantuannya untuk support cerita ini]
Memasuki musim penghujan selalu saja disambut dengan langit gelap, kilatan petir, hingga tetesan air yang mulai turun tanpa ampun membasahi tanah. Menyirami bunga - bunga liar yang tidak dirawat juga membersihkan polusi udara yang belakangan ini sulit terkendali di kota besar seperti Jakarta. Aku memandang langit sesaat dari lorong sekolah sebelum melanjutkan langkah.
Di sekolah tempat favorit kapan saja aku butuh ketenangan adalah ruang musik. Aku berjalan memasuki ruang musik dan mulai mendekati piano besar yang terletak di sudut ruangan. Hari ini eskul musik terlalu sepi. Aku duduk di kursi yang tersedia dan mulai menekan tuts piano melantukan denting - denting nada indah yang menghipnotisku masuk ke dalam dunia lain. Fur Elise karya Beethoven mulai terlantun dari tuts piano yang aku tekan. Jemariku dengan lincah menari di atas piano. Hanya di tempat sepi aku bisa melepas perasaanku sebebas - bebasnya tanpa tekanan.
Sungguh aku mencintai musik. Aku lebih ingin menjadi pianis dari pada pewaris. Aku benar - benar tenggelam dalam musik yang aku lantunkan, hingga pintu terbuka dan menampakan sesosok lelaki tampan dengan seragam acak - acakan. Dia bertepuk tangan dengan heboh lalu tersenyum amat manis. Senyum yang membuat banyak orang tergila - gila padanya.
“Udah belum?”
“Sudah” Jawabku langsung menghentikan permainan piano ini dan berdiri dari kursi menghampirinya. “Uh, bau keringet” Protesku langsung ketika lengannya dengan santai merangkul pundakku.
“Namanya juga habis futsal” Jawas Ares - sahabatku dengan santainya. Ares dan aku sudah bersahabat sejak duduk di bangku pertama sekolah dasar. Lucunya Ares adalah tetangga sebelah rumah. Dia adalah tempat dimana aku berlari setiap butuh bantuan. Kami berbeda. Ares adalah seorang ekstrovert yang punya teman dimana - mana. Visual Ares pun benar - benar tampan dengan tubuh kurus jangkung. Lain dengan aku. Aku memiliki tubuh berisi dan tidak terlalu tinggi serta memakai kacamata tebal yang membingkai wajah gembulku. Banyak orang yang mengatakan kalau kami adalah versi sebaliknya dari seri princess beauty and the beast.
“Sana jauh - jauh nanti kita dikira pacaran” Aku mendorongnya pelan agar segera menjauh dariku.
Ares berdecak sebal. “Emangnya kenapa?”
“Kenapa apa?” Dahiku berkerut.
“Emang kenapa kalau dikira pacaran?”
“Nggak mau! Aku nggak mau pacaran sama sahabat aku sendiri” Aku menggeleng cepat - cepat.
“Emang gue jelek?”
“Nggak. Kamu ganteng, Ares. Aku cuma nggak mau pacaran sama kamu, karena kamu adalah sahabat paling baik yang aku punya selama ini. Jadi, jangan berubah”
Ares menepuk - nepuk puncak kepalaku yang hanya setinggi dada bidangnya. “Oke, sahabat” Katanya sambil mengambil langkah lebih dulu.
***
Aku punya alasan kenapa aku nggak suka bermain piano di rumah, karena papa menganggap kalau bermain piano tidak akan memberikan manfaat apapun untukku. Sejak dulu aku hanya harus meneruskan perusahaan yang susah payah dia besarkan. Perusahaan yang dia banggakan karena berhasil merubah hidup kami. Selain itu ini juga tentang mama yang sudah meninggal.
“Kenapa Rara harus keluar dari eskul piano?”
”Itu nggak bermanfaat buat kamu, Rara! Kamu nggak akan pernah jadi pianis. Kamu adalah pewaris papa”
“Tapi, ini hobiku, Pa. Masa nggak boleh”
“Kalau masih membantah… piano kamu akan papa hancurkan” Papaku mengepalkan tinjunya dan memukul tuts - tuts piano kesayanganku membuat nada mengerikan.
Mataku membulat. Aku meringis. Selama ini aku puas hanya dengan memandangnya dan bermain di luar rumah. Dimana saja asal papa tidak lihat. Tapi, hari ini aku terciduk bermain piano dan itu kembali membuat papa marah. Bermain piano memang hal yang baik, tapi lain dengan papa yang menganggap kalau bermain piano akan membelah fokusku. Itu akan memberiku pilihan untuk melawan papa dan menolak usaha yang selama ini dia bangun dengan susah payah.
“Jangan, Pa” Aku segera mencegah papa.
“Keluar dari eskul piano dan ambil karya ilmiah atau klub membaca? Apapun yang membuat kamu pintar. Pilih itu”
Begitu papa masuk ke kamarnya. Aku langsung berlari keluar rumah. Tempat tujuanku tidak jauh - jauh selain rumah sahabatku. Ares. Aku langsung lari ke kamar Ares begitu pembantunya membuka pintu.
“Res” Mataku yang berkaca - kaca langsung membulat begitu melihat Ares berdiri di depan lemari bajunya bertelangjang dada dan rambut basah dengan handuk yang membungkus pinggangnya. Aku bisa melihat otot - otot perut yang mulai terbentuk hasil dari kerja kerasnya melakukan sit up dan push up setiap hari. Aku yakin kalau aku memfoto Ares saat ini. Siswi - siswi sekolah akan dengan sukarela membeli foto topless Ares Elano.
Ares memandangku bingung dan seketika menyadari keadaannya saat ini. Ares melotot dan mencoba menutupi bagian tubuhnya yang terekspos jelas.
Aku segera memekik dan mmejamkan mata. “Sumpah aku nggak liat, Res”
“Nggak bisa ketuk pintu dulu apa. Kalau gue lagi copot handuk gimana. Mau lo ketemu sama Ares Junior?”
“Siapa tuh Ares Junior?” Kataku setelah Ares kembali dari kamar mandi. Seketika aku jadi lupa tujuanku melarikan diri ke rumahnya.
Ares menunjuk - nunjuk bagian bawahnya. “This is Ares Junior”
“Mesum”
“Mesum gimana si Anjani Rara Divia? Memangnya gue ngapain lo? Lo yang mesum karena masuk ke kamar gue pas gue nggak pakai baju”
Aku terdiam dan merasakan pipiku memanas membayangkan kejadian tadi. Aku segera membalik badan. “Nggak jadi”
“Nggak jadi apa? Tadi lo kenapa nangis, Rara?”
“Aku nggak boleh main piano lagi sama papa”
”Kan dari dulu memang nggak boleh”
“Aku harus gimana biar boleh?”
”Jadi, istri gue. Gue izinin lo main piano asal nggak sampai tengah malam” kata Ares lalu terbahak.
“Aku serius, Res”
“Gue juga, Rara. Kalau lo jadi istri gue… gue izinin lo main piano sepuasnya”
Aku terkekeh. “Kalau ya kalau. Kalau itu tidak pasti”
“Loh memang lo mau yang pasti?”
“Hah? Nggak juga. Kan aku bilang kalau kita cuma sahabat”
“Kalau nggak mau pacaran gimana kalau langsung nikah kita?”
Refleks aku menoyor kepala Ares. Klub penggemarnya bisa langsung mengeroyok aku kalau tau kejadian ini terjadi. “Jangan bercanda sama perasaan orang”
“Gue serius. Kalau gue nikah… gue mau nikah sama orang yang sudah gue kenal lama. Yang gue tau baik dan kurangnya, yang kalau di dekat dia gue merasa kalau dia itu rumah.”
Aku tertawa mendengar perkataan Ares. Ini tidak biasanya terjadi. “Siapa yang mau nikah sama orang asing, Res? Nggak ada”
Ares tertawa. “Ya, makanya. Kita jadiin solusi buat masalah kita” Ares terdiam lalu tersenyum lagi.Senyum tengil itu.Senyum yang mematikan untuk penggemarnya, tapi menyebalkan untuku.
“Maksud kamu?”
“Suatu saat lo tau kok”
“Apapun itu. Aku nggak akan membiarkan persahabatan kita rusak” Aku mengembangkan senyum dan melangkah meninggalkan kamar Ares. Tempat kesukaanku untuk berkeluh kesah.