Wanita introvert itu akhirnya berani jatuh cinta, namun takut terlalu jauh dan memilih untuk berdiam, berdamai bahwa pada akhirnya semuanya bukan berakhir harus memiliki. cukup sekedar menganggumi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NRmala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obrolan panjang di antara pertemuan kembali
"Iya, salah satunya itu sih. Aku dapat kabar dari panti bahwa orang tua kandungku akan datang dan mau menemuiku untuk pertama kalinya."
Laura mengangkat kembali kepalanya dan menatap Arya. Begitu pun Dinda dan Emil, ikut menatap Arya.
"Aku turut senang ya, Arya." Kata Dinda sumringah.
"Lu kok baru cerita sih, bro?" Tanya Emil menepuk pundak Arya senang.
"Tapi, aku tidak tahu. Aku harus senang atau tidak. Aku belum siap." Jawab Arya lirih. Membuat Laura, Dinda dan Emil terdiam. L
"Ngomong-ngomong, kalian berdua lanjut di mana kuliahnya? Karena sibuk ngurus berkas ke Arab, aku tidak sempat bertanya sama kalian." Tanya Arya mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku tidak kuliah. Aku sekarang bekerja." Jawab Dinda pelan.
Arya memperhatikan wajah Dinda. Mencari tahu apa yang menyebabkan perubahan suara itu. Sebelumnya, suara Dinda terdengar bersemangat. Tapi sekarang, terdengar begitu lirih.
"Wah kamu hebat, Dinda. Aku juga ingin bekerja setelah lulus nanti. Tapi kamu, sudah memiliki pengalaman mendahului aku." Kata Arya mencoba mengubah suasana hati Dinda.
"Tapi, aku hanya seorang waiter di salah satu cafe."
"Itu sudah hebat sekali, Dinda. Kalau aku yang mendaftar, belum tentu aku akan diterima di cafe itu kan?" Kata Arya masih mencoba menghibur Dinda.
Dinda tersenyum kagum, kemudian mengangguk. Memberi Dinda sedikit harapan, pria ini akan menerima apa pun yang ada pada dirinya.
"Kalau Laura, sekarang sebagai mahasiswa beasiswa berprestasi di ITB loh." Kata Dinda semangat.
"Oh iya. Satu-satunya angkatan kita yang mewakili sekolah kita sebagai mahasiswa berprestasi ya?" Kata Arya ikut semangat menatap Laura.
Laura tersenyum mengangguk.
"Hebatkan sahabatku ini?"
Dinda merangkul Laura penuh kebanggaan. Emil tersenyum mengangguk. Sedangkan Arya, menatap Dinda dengan senyum tipis dan mengacungkan jempol.
"Kamu masih Dinda yang aku kenal dulu. Penuh dengan keceriaan dan semangat." Senandika Arya bergema.
"Makasih Dinda. Tapi, tidak usah berlebihan. Duduk deh kamu." Kata Laura tertawa kecil.
Obrolan mereka berlanjut. Membahas segala hal yang terjadi setahun terakhir. Laura juga mulai terbiasa ikut menimbrung tanpa rasa malu-malu.
**********
Di balik batas waktu, ketika cahaya mulai memudar. Rintik air yang turun membawa sejuta ketakutan yang tertahan.
Angin berhembus pelan, menembus diri yang rapuh. Duduk di bawah lampu, mencoba meyakinkan diri sendiri. Nyatanya, cahayanya pun tidak dapat menerangi kesepian. Menarik napas panjang hanya bisa dilakukan. Memberi hati untuk menerima pikiran sang otak.
"Dia baik-baik saja. Tapi, perasaan ini apakah benar adanya?" Batin Laura sembari termenung menatap jalanan kota yang ramai mobil dan motor melaju.
Drrtt... drrtt...
Getaran yang berhasil mengalihkan isi pikiran Laura. Dengan cepat ia membuka handphonenya, asal suara getaran tadi. Mencari penyebab dari getaran itu.
Mama❤️
Assalamu'alaikum
Laura, lagi apa?
Pesan whatsapp itulah yang menjadi penyebab getaran yang dicari Laura. Pesan yang ia tunggu. Belum sempat jari mungil itu membalas, handphonenya kembali bergetar.
Mama❤️
Lusa, mama pulang ya.
Kalau kamu sedang tidak sibuk
mama mau kamu jemput mama di Bandara.
Mama mau menghabiskan waktu libur kali ini berdua sama kamu.
Laura tersenyum lebar. Sepi yang tadi menyapa kini telah pergi di bawa jauh oleh angin. Tidak peduli pada pasang mata yang menatapnya penuh keanehan. Senyum lebar itu tetap ia biarkan di sana. Pesan rindu yang beberapa tahun terakhir tidak pernah ia jumpa lagi. Bahkan, hanya sekedar berharap saja ia tidak lagi berani.
Senyum lebar Laura membuat bibir lain ikut tersenyum. Ketika sepasang mata tidak sengaja menatap Laura di ujung jalan. Kaki yang diminta berhenti untuk menyaksikan kembali momen yang tidak pernah ia jumpa lagi setahun terakhir.
Setelah beberapa saat, pikiran mulai tersadar. Memberi signal untuk menghampiri pemilik senyum lebar yang berhasil membuat pikirannya jatuh ke dalam cerita lama.
"Assalamu'alaikum, Ra. Bahagia banget malam ini." Sapa seseorang yang menatap Laura sedari tadi dari sudut jalan kota.
"Eh. Wa'alaikumsalam, Emil." Jawab Laura dengan senyum yang masih sama.
"Dari mana kamu? Kok di sini sendirian? Senyum senyum juga aku perhatiin dari tadi."
"Eh kelihatan ya?"
"Aku dari jauh saja, senyum kamu kelihatan. Lebar banget gitu kok!"
"Hehehe. Aku dari kampus mau jalan balik. Liat kursi ini sepi jadi inisiatif nyobain duduk. Ternyata menenangkan duduk di sini sambil menatap jalanan yang ramai kendaraan berlomba-lomba menuju tujuannya."
"Oh, jadi itu penyebab senyum lebar kamu itu."
"Bukan sih."
"Terus apa dong?"
"Kamu ternyata punya sisi penasaran juga ya."
"Gimana tidak penasaran coba. Aku tadi sedang naik motor tidak sengaja melihat senyum lebar penuh bahagia dari kamu yang sudah lama tidak aku lihat."
"Karena kita baru ketemu lagi Emil."
"Tapi, aku senang. Senyum bahagiamu lah yang ku lihat lagi. Bukan tangismu seperti satu setengah tahun yang lalu."
"Maksud kamu? Kamu pernah melihatku menangis?" Tanya Laura tertegun mendengar perkataan Emil.
"Iya. Malam itu, secara tidak disengaja seperti malam ini."
"Eh, sudah larut malam. Aku harus segera pulang. Maaf, Emil. Kita lanjutkan lagi nanti."
Laura tahu ke mana arah obrolan ini akan berlanjut. Ia tidak ingin mendengar apa yang tidak seharusnya ia dengar. Ia takut harus mencari arti dari apa yang ia dengarkan.
"Oh iya. Kalau kamu mau, biar aku antar saja kamu."
"Maaf, Mil. Kita bukan muhrim. Aku tidak enak kepada orang lain yang melihat itu. Aku takut menimbulkan berbagai pertanyaan dari orang-orang yang melihat kita di luar nalar aku."
"Oh iya. Tidak apa-apa, Ra. Aku yang harusnya minta maaf mengganggu kebahagiaan kamu tadi."
Suara Emil yang menyembukin sedih di dalamnya. Rasanya, ia ingin mengobrol lebih lama dengan Laura. Tapi, seperti Laura menjaga jarak atau tidak menizikannya masuk sekedar mengetuk pintu hati itu.
"Aku pamit ya, Mil. Assalamu'alaikum."
Laura bejalan menjauh. Melewati garis hitam putih di atas jalan raya. Melirik sekilas ke Emil yang masih berdiri di sana dengan pandangan yang tidak lepas dari Laura.
"Maaf, Emil." Batin Laura.
Laura tahu perasaan Emil sedari dulu. Jauh sebelum ia mengenal Arya. Tapi hati yang bahkan ia jaga untuk tidak menyukai siapapun, justru jatuh pada Arya. Pria yang tiba-tiba masuk mengetuk segala rasa yang tidak ingin ia miliki sebelum menjadi muhrimnya.
"Mungkin, belum waktunya rasa ini aku sampaikan." Gumam Emil pelan.
Emil melangkah ke arah tempat ia memarkir motor kesayangannya yang ia tinggalkan begitu saja ketika melihat perempuan yang ia cintai. Menarik napas panjang sebelum akhirnya menaiki dan meninggalkan sudut jalan kota itu.
Bersambung...
Baguus yaa diksinya banyaak bangeet 😍