Menjadi ibu baru tidak lah mudah, kehamilan Yeni tidak ada masalah. Tetapi selamma kehamilan, dia terus mengalami tekanan fisik dan tekanan mental yang di sebabkan oleh mertua nya. Suami nya Ridwan selalu menuruti semua perkataan ibunya. Dia selalu mengagungkan ibunya. Dari awal sampai melahirkan dia seperti tak perduli akan istrinya. Dia selalu meminta Yeni agar bisa memahami ibunya. Yeni menuruti kemauan suaminya itu namun suatu masalah terjadi sehingga Yeni tak bisa lagi mentolerir semua campur tangan gan mertuanya.
Bagaimana akhir cerita ini? Apa yang akan yeni lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tina Mehna 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8. CTMDKK
“Anak itu perwujudan dari ibunya, kalau anak mu rewel begini. Itu berati sumber masalah nya dari kamu. Dulu Ridwan dan syifa tak pernah rewel begini nih. Mereka tetap diam, anteng.” ucap mama mertua dengan rewelnya.
“Maa, tolong maa, Yeni minta tolong mama pelan kan suara nya. Kalau enggak wisnu bangun lagi maa,” ucapku karena tak tahan akan mulut ember nya itu.
“Maksud mu, aku bikin berisik gitu?” jawab mama tak terima.
“Bukan gitu ma, cuma pelan kan saja ma, rendahkan suara mama sedikit,” lanjut ku lagi.
“Dasar kamu ya! Anak mu nangis karena kamu bukan karena suara ku!” jawab mama lagi dengan marah dan bernada tinggi.
Ku kesal dan malas pada mama mertua. Lama-lama kenapa mertua ku menjadi lebih dan lebih menyebalkan? Apa sebegitu nya dia tak mau ku kritik? Mama mertua lanjut menasehati ku dengan nada suara nya yang tinggi. Hingga ku mendengar suara mas Ridwan dari luar.
“Maa, ma, mama di sini?” teriak dia.
Mama yang mendengar itu, langsung menyahut nya. “Iya di dalam kamar mu,” jawabnya dengan keras.
Ku menepuk-nepuk paha anakku lagi takutnya anakku terbangun. Ku lihat suamiku masuk dan bertanya pada ibunya. “Maa, katanya mama ke warung beli telor, aku udah laper banget nih ma,” ucap suamiku pada ibunya.
“Mama heran sama kamu. Sudah punya istri tapi masih minta makan ke mama. Memangnya mama pembantu kamu?” ucap mama mertua dengan keras.
“Yaa gimana lagi maaa,” jawab mas Ridwan.
“Gimana? Ya kamu harus tegas dong! Kamu itu kepala keluarga!” ucap mama pada mas ridwan.
Mas Ridwan hanya diam, Sementara mama terus berbicara sambil melirik ku. Aku tak tau apa yang ada di pikirannya itu, aku baru melahirkan anakku belum ada 2 minggu. Ku mau buang air kecil pun susah dan sakit, apalagi berjalan ke dapur dan berdiri lama untuk memasak. Kalau aku bisa melakukan hal itu, aku pasti akan melakukannya.
“Heh Yeni! Dulu waktu mama melahirkan ridwan ataupun syifa, gak kaya kamu malesan gini. Sehari kemudian langsung bisa masak, cuci, ngurus suami malah, makanya mama suruh kamu buat melahirkan normal saja tanpa jahitan, eh malah cesar aduh, motor buat syifa jadi di tunda lagi. kasian syifa pulang sekolah harus nebeng temannya, Ada-ada saja,” ucap mama padaku. Kamu juga kenapa gak bisa tegas sama istrimu sendiri?” ucap mertua ku menunjuk-nunjuk padaku dan mengulang-ulang ocehannya.
“Kalau mama gak mau masakin aku ya gak papa ma. Sudahlah lebih baik aku makan di luar saja. Berisik..” jawab mas Ridwan lalu berbalik keluar kamar kami.
“Makan diluar? Hey Ridwan. Kamu ini boros sekali makan diluar? Lebih baik masak sendiri. Yeni … sini kamu …” teriak mama mertuaku.
“Ada apa dengan mama itu. Kalau mas Ridwan mau makan diluar ya biarkan saja. Lagian ku juga tak bisa untuk berjalan sendiri,” Ucapku dalam hati.
“Hehh! Berani Jawab ya kamu! Sini! Kamu kalau susah berdiri, susah jalan ya latihan lah. Gimana sih? Heran mama sama kamu. Ngeselin.” Ucap mertua ku lagi memarahi ku.
Mama memaksa ku berdiri dengan menarik lenganku dengan keras hingga ku merasakan tarikan paksa sekaligus nyeri di perutku. Ku perlahan melepaskan Reza yang sudah tertidur di ranjang ku.
“Aaawwwww,” rintih ku dengan menyangga tubuhku di meja samping ranjang ku.
“Latihan.. Mau begini terus kamu! Manja sekali! Cepet berdiri”
Mertua ku menggandeng dan menyeret ku dengan paksa berjalan menuju ke dapur. Namun kecepatan jalannya tak seimbang dengan ku. Aku merasakan perih dan nyeri yang luar biasa di perut dan di daerah kewanit*an ku.
“Kamu itu ya bikin orang tua getet saja, sana masakin suami mu,” ucap mama mertuaku lagi lalu melepaskan tangannya dan mendorong ku sedikit ke meja dapur ku.
“Sakit maa, aaawwwh, huhu,” rintih ku dengan memegangi perutku.
“Halah, cepet masak sana buat makan suami mu, hey cepet,” ucap mama mertua lagi dengan mendorong punggungku.
Aku melihat ke arah suamiku, namun dia malah duduk di ruang tamu dan memainkan ponselnya.
“Cepet buat makan siang Ridwan. Malah lirik-lirik. Cepet lelet amat.” Ucap mertua ku lagi.
Dengan pelan dan menahan sakit ku, aku pun berjalan pelan dengan menyeret kaki kanan ku karena entah kenapa jika kaki kanan ku ikut berjalan perutku terasa semakin sakit. Ku lihat isi kulkas ku, sudah kosong hanya ada lauk kemarin dari ibu-ibu sekitar dan juga 2 butir telur lalu ku lihat lemari penyimpanan ku hanya ada mi instan 3 pcs saja. Ku ingat mertua ku yang mengambil semua persediaan makanan ku.
“Cepat ..” dorong mama mertuaku lagi di bahu ku..
Dengan berpegangan pada meja makan lalu ku tahan rasa sakit ku dan mulai memasakan makanan untuk mas Ridwan. Ku ambil mi rebus di lemari depanku. Tanpa berpindah tempat, ku raih alat merebus mi ini. setelah berhasil, ku tuangkan air keran saja untuk merebus mi ini dan ku tempatkan diatas kompor gas. Setelah itu ku nyalakan kompor.
“Ma, tadi mana ma uang Ridwan yang Ridwan kasih buat beli telor nya ma, Ridwan mau uang itu kembali karena mama gak jadi masakin Ridwan,” ucap mas Ridwan lagi.
“Ya elah, nih. 50 ribu aja kamu perhitungan ya sama mama, Ingat! Kamu masih punya hutang sama mama dan syifa. Kamu harus bisa belikan motor untuk syifa dalam 3 bulan. Awas saja kalau kamu belum menuhi yang satu itu,” ucap mama yang ketika marah pasti menunjuk-nunjuk ke wajahnya.
“Ya doakan saja lah ma,”
“Kamu ini. Bulan ini uang bulanan mama mana?”
“Ma, bulan depan lah ma,”
“Heleh, mama nggak mau tau ya besok mama mau hak mama titik.”
Setelah itu, ku mendengar suara bantingan pintu yang bisa jadi mertua ku pergi dari rumah ku.
Aku terus saja memasukan mi kedalam air yang sedang di rebus dulu ini. dengan menyeret kaki ku, aku ambil mangkok dan sendok lalu ku masukan bumbu mi instan kedalam mangkok. Tiba-tiba saja mas ilham berkata.
“Kamu buat mie? Aku gak mau mie, tiap hari makan itu saja. Buatkan yang lain, rendang atau semur jengkol,” ucapnya dengan entengnya.
“Mmmh, maas adanya mie. Lagian kalau ada bahan juga sepertinya aku gak kuat kalau harus masak itu,” jawabku tak sedikitpun menengok ke arahnya.
“Gak kuat gimana sih? Aku gak ngerti sama kamu, cuma tinggal oseng-oseng, ada aja alasannya. Bahan udah ada, ngomong aja kamu males masakin suami mu,” ucap mas Ridwan.
“Mas, bukan gitu. Sakit mas, kenapa kamu gak bisa mengerti keadaan ku mas?” ucapku berbalik sambil memegangi perutku.
“Aku ngerti kamu habis melahirkan tapi apa kewajiban kamu melayani suami jadi terabaikan seperti itu ? Gak hanya anak yang butuh ibunya, tapi suami juga butuh istrinya!”
“Mas! Aku sama sekali gak mengabaikan kamu mas! Apa kamu tahu kalau orang yang melahirkan butuh lebih banyak istirahat? Terutama di bulan pertama melahirkan. Kan kamu sudah di kasih tahu dokter mas. Kamu ini sebagai suami harusnya mengerti dan paham keadaan istri, Aku kan istirahat mas? bukan malas-malasan mas, aku habis melahirkan anak kita mas? Di mana sih hati kamu? Aku kecewa sama kamu mas,” ucapku lalu menitikan air mata.
“Kok kamu ngegas sih? Dengar yen! Kata mama, melahirkan cesar itu tidak sesakit melahirkan normal, jadi jangan di biasakan. Aku sudah tahu kamu melahirkan anakku, aku hanya minta hak ku juga atas dirimu,” ucap mas ridwan lagi ngotot.
“Mas! Kenapa kamu begini sih? Kamu kenapa sih jadi egois kaya gini? Kamu gak tahu semua perempuan yang melahirkan itu resiko nyawa mas! Sumpah mas, aku gak ngerti gimana kamu berfikir, bisa-bisa nya kamu … ahhh aww, sudahlah. Aku pikir penjelasan apapun akan percuma kalau di dengar kamu,” ucapku lagi lalu mematikan kompor dan menuangkan mie ke dalam mangkok nya.
“Halah, udah deh. Nyerocos terus, sini mangkoknya lapar nih,” ucapnya tak tau malu.
Tanpa menjawab, aku mengambil mie itu namun setelah ku berbalik, dia merebut mie itu dan pergi ke depan tv meninggalkan ku yang masih berdiri di depan kompor dapur dengan meringis kesakitan. Ku sangat kesal dan kecewa akan reaksinya. Dulu dia tidak begini, dia sangat mempedulikan ku tapi dia akan marah dan ngambek kalau aku tak memperhatikan nya. Tapi, aku tak tau kalau dia akan seegois ini.
Dengan perlahan aku pun berjalan pelan menuju kamar ku lagi. Ku menahan rasa sakit, berjalan menyeret kaki hingga ke kamarku “Untung saja reza nggak bangun dengar nenek nya marah-marah tadi,” ucapku mengelus rambut anakku.
Aku dengan pelan duduk di tepi ranjang dan perlahan jug menaikkan kakiku lurus ke ranjang.
Bersambung…