Semua cintanya sudah habis untuk Leo. Pria tampan yang menjadi pujaan banyak wanita. Bagi Reca tidak ada lagi yang pantas dibanggakan dalam hidupnya kecuali Leo. Namun bagi Leo, Reca terlalu biasa dibanding dengan teman-teman yang ditemui di luar rumah.
"Kamu hoby kan ngumpulin cermin? Ngaca! Tata rambutmu, pakaianmu, sendalmu. Aku malu," ucap Leo yang berhasil membuat Reca menganga beberapa saat.
Leo yang dicintai dan dibanggakan ternyata malu memilikinya. Sejak saat itu, Reca berjanji akan bersikap seperti cermin.
"Akan aku balas semua ucapanmu, Mas." bisik Reca sambil mengepalkan tangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Rusmiati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saham Besar
"Saya hanya berusaha meyakinkan Pak Haris saja Pak," jawab Leo.
"Bagaimana bisa?" tanya Pak Alam bingung.
"Karena saya yakin Bapak pasti bisa," jawab Leo.
"Maksudmu?" tanya Pak Alam semakin bingung.
Tidak tanggung-tanggung. Pak Haris justru menggelontorkan saham besar, sangat besar. Bahkan dua kali lipat dari saham sebelumnya. Dengan kondisi yang semakin memburuk, rasanya tidak mungkin jika Pak Haris dengan mudah memberikan saham itu. Apalagi, beberapa karyawan sudah mulai dirumahkan. Beberapa pemegang kekuasaan di perusahaan sudah lebih dulu mengundurkan diri.
Lalu bagaimana perusahaan bisa mempertanggungjawabkan saham milik Pak Haris? Bagaimana harus memulainya lagi setelah nyaris berakhir? Padahal saat ini Pak Alam hanya berusaha menyelesaikan produksi dari bahan baku yang tersedia. Setelah itu, melunasi pembayaran karyawan yang tersisa. Selesai. Begitulah rencana Pak Alam. Namun setelah meminta Leo untuk meeting kemarin, ia bingung harus senang atau justru marah.
"Kamu tahu kondisi perusahaan ini bagaimana, kan? Bagaimana bisa kamu menjanjikan hal seperti itu sama Pak Haris?" tanya Pak Alam dengan nada cukup tinggi.
Leo menghela napas panjang dan cukup dalam. Sudah ia duga Pak Alam akan terkejut dengan hal ini, namun Leo tidak menduga jika nadanya akan sekencang itu. Padahal seharusnya Pak Alam berterima kasih padanya. Namun Leo mengerti kebingungan Pak Alam saat ini.
"Kamu tahu kan anakku sekarang sudah gila. Kamu mau buat aku gila juga dengan semua ini? Apa ini sengaja kamu lakukan supaya aku benar-benar gila? Apa kamu balas dendam karena aku memintamu menikahi Ara? Hah?" tanya Pak Alam geram.
Kali ini nadanya tidak terlalu tinggi. Mungkin karena di lapangan ada beberapa karyawan yang sedang bekerja. Hanya saja, dari penekanan di setiap kalimatnya menandakan bahwa laki-laki di hadapan Leo ini tengah menahan amarah yang membuncah. Leo segera mengambilkan segelas air untuk menenangkan Pak Alam.
"Minum dulu, Pak." Leo memberikan segelas air.
Pak Alam mengambil gelas itu dan segera meneguknya hingga tandas. Setelah melihat Pak Alam cukup tenang, Leo mengajak atasannya itu untuk bicara di tempat yang lebih tepat.
"Ikut ke ruanganku!" perintah Pak Alam.
Leo mengikutinya dari belakang setelah menganggukkan kepalanya. Pintu ruangan tertutup kembali setelah keduanya berada di ruangan yang sunyi itu. Beberapa detik tidak ada suara. Hanya terdengar helaan napas Pak Alam yang cukup berat.
"Katakan padaku apa maksudmu melakukan hal ini?" tanya Pak Alam tegas.
Leo menjelaskan bahwa semua yang ia lakukan untuk kemajuan perusahaan. Ia meyakinkan Pak Alam bahwa keadaan Mba Ara justru harus menjadi motivasi. Bagaimana jika perusahaan ini bangkrut? Pembiayaan untuk menyembuhkan mental Mba Ara tidak murah. Lalu jika Pak Alam benar-benar sudah jatuh, bagaimana mungkin bapak bisa membalas laki-laki yang sudah menyakiti Mba Ara. Sementara Leo pernah mendengar jika Pak Alam bersumpah akan membuat laki-laki itu menyesal sudah mengkhianati anak semata wayangnya itu.
"Dengan cara apa? Bisa kamu produksi dengan modal sebesar itu tapi keadaan perusahaan seperti ini?" tanya Pak Alam bingung.
Kali ini amarah Pak Alam sudah mulai mereda. Hal ini terlihat dari nada bicaranya yang sudah mulai rendah. Menatap Leo dengan seksama. Leo menggunakan kesempatan ini untuk menjelaskan semuanya.
Menurut Leo, orang-orang yang memegang jabatan penting di perusahaan itu dan mengundurkan diri adalah orang yang tidak setia. Seharusnya Pak Alam bersyukur karena orang itu sudah pergi dengan sendirinya. Untuk masalah produksi, berdayakan karyawan yang masih tersisa. Kalau memang butuh, bisa memanggil kembali karyawan yang sudah diberhentikan sebelumnya.
"Tapi sudah hampir satu tahun, alur pembelian dan penjualan biasa dilakukan oleh mereka. Aku sudah terlanjur mempercayakan semuanya pada mereka. Sekarang mereka sudah tidak ada," ucap Pak Alam lemah.
"Jangan khawatir Pak. Semua akan ada di laporan perusahaan. Kita bisa cek dan melanjutkan apa yang biasa dilakukan sebelumnya. Saya yakin Bapak bisa," ucap Leo.
"Asalkan kamu membantuku, aku bisa." Pak Alam menatap Leo dengan secercah harapan.
Leo senang saat melihat Pak Alam sedikit bersemangat. Ia juga sudah berjanji akan membantu Pak Alam sebisanya. Ia bahkan mengamati laporan perusahaan yang begitu banyak. Mempelajarinya satu per satu. Sampai akhirnya ada beberapa nomor yang bisa ia hubungi.
"Leo, pulanglah. Ini sudah jam sembilan. Jangan biarkan istrimu khawatir di rumah," ucap Pak Alam.
Leo segera menatap sumber suara. Leo memang lembur, mencari tahu arus perusahaan. Sejak selesai percakapan dengan Pak Alam, Leo tidak kembali ke lapangan. Dalam ruangannya, Leo mempelajari tumpukan berkas yang diberikan Pak Alam. Sedangkan Pak Alam sendiri segera ke rumah sakit setelah berkasnya berada di tangan Leo.
Malam ini, Pak Alam sengaja ke kantor untuk mengumpulkan puing semangat yang sudah berhamburan. Namun betapa terkejutnya saat mendapati Leo yang masih mempelajari berkas demi berkas yang ada di mejanya.
"Sebentar lagi Pak," ucap Leo.
"Pulanglah. Besok kamu lanjutkan lagi," ucap Pak Alam.
Bukan tanpa alasan. Pak Alam hanya khawatir jika istrinya akan marah dan akan berimbas pada kinerja Leo. Padahal saat ini, Pak Alam hanya menaruh harapan pada Leo.
"Tapi besok harus sudah pesan bahan baku Pak. Saya belum dapat momor yang bisa dihubungi," ucap Leo.
"Kalau begitu bawa saja berkasnya. Pakai mobil kantor," ucap Pak Alam. "Ini hujan. aku tidak mau berkasnya rusak," lanjut Pak Alam saat melihat Leo akan menolaknya.
Leo diam sebentar untuk mempertimbangkan apa yang disarankan Pak Alam. Ada benarnya juga. Reca pasti sudah menunggunya di rumah. Tapi ia juga membutuhkan berkas yang ada di hadapannya.
"Saya beneran boleh bawa mobilnya Pak?" tanya Leo.
"Tentu. Butuh sopirnya?" tanya Pak Alam.
"Kalau Bapak percaya, saya bisa bawa mobil sendiri. Besok pagi saya bawa lagi mobilnya," ucap Leo.
"Tentu. Biarkan motormu di sini," ucap Pak Alam.
Setelah merapikan beberapa berkas yang akan dibawa pulang, Leo segera pamit. Kedatangannya disambut dengan kerutan dahi oleh Reca.
"Mobil siapa, Mas?" tanya Reca.
"Mobil kantor," jawab Leo.
"Semoga nanti kita kebeli mobil ya, Mas." Reca tersenyum sambil membantu Leo membawa sebagian berkasnya.
"Iya sayang. Sabar ya nanti kita beli yang lebih bagus dari ini," ucap Leo.
Reca yang sudah tahu cerita perusahaan dari Leo, tidak bertanya lagi berkas apa yang dibawa suaminya. Sayangnya ia tidak sepintar Leo, sehingga tidak bisa membantu suaminya. Ia hanya menemani dan menyiapkan camilan. Tak lupa dengan segelas kopi untuk menemaninya begadang.
"Kamu tidur aja. Ini udah jam dua belas," ucap Leo yang melihat Reca menguap.
"Gak Mas. Nanti aja," ucap Reca.
"Ya sudah tidur di sini! Biar nanti Mas gendong kalau udah beres," ucap Leo sambil menyiapkan bantal tepat di samping tempat duduknya.
Reca tersenyum. Ia tidak bisa membohongi dirinya. Matanya sudah sulit dibuka. Berkali-kali ia menahan, akhirnya menguap juga. Dengan sangat berat hati ia menemani Leo dalam mimpi indahnya.
maaf ya
semangat