Istri mana yang tak bahagia bila suaminya naik jabatan. Semula hidup pas-pasan, tiba-tiba punya segalanya. Namun, itu semua tak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang mengangkat derajat keluarga justru melenyapkan kebahagiaan Jihan. Suami setia akhirnya mendua, ibu mertua penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya. Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula wanita masa lalu Aidan hadir bersamaan dengan mantan suami Jihan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan? Akankah Jihan dapat meraih kembali kebahagiaannya yang hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8~ DAFA DEMAM
Beberapa hari belakangan, Dafa terlihat lebih banyak diam. Hal tersebut cukup membuat Jihan merasa khawatir. Meski ia sudah memberi pengertian pada putranya itu tentang Windi. Namun, sepertinya Dafa masih belum bisa menerima meskipun tak pernah lagi menunjukkan penolakan.
Dafa tak lagi mencari keberadaan ayahnya, maupun mencari sang bunda setiap paginya meminta dimandikan dan disuapi makan. Bocah lelaki itu kini lebih suka mengurung diri di kamar.
Setelah pekerjaan rumah selesai, Jihan bergegas menuju kamar putranya untuk memeriksa apakah Dafa sudah menghabiskan sarapannya atau belum. Sebab, sudah beberapa hari ini Dafa tak hanya mengalami perubahan sikap, namun juga kerap mogok makan.
Maka pagi ini ia mengantarkan langsung sarapan untuk putranya ke kamar dan akan menyuapinya.
Setelah membuka pintu, keningnya mengernyit begitu melihat Dafa berbaring miring di tempat tidur dengan posisi membelakangi pintu. Tak biasanya Dafa tidur kembali setelah bangun pagi, padahal ia sempat memeriksa Dafa sebelum ke dapur. Putranya itu sudah bangun.
Jihan pun masuk ke kamar, meletakkan sarapan untuk Dafa di atas meja lalu duduk di tepi tempat tidur.
"Dafa, ayo makan dulu, Nak. Nanti kamu sakit perut loh kalau gak makan." Bujuk Jihan, namun tak ada sahutan apapun dari Dafa.
Jihan pun menggoyang pelan bahu putranya untuk membangunkan, namun Dafa tidak menunjukkan pergerakan.
"Ya Allah, Dafa. Kamu demam tinggi, Nak." Ia tersentak kaget ketika tangannya bersentuhan dengan kening putranya, suhu tubuhnya terasa sangat panas . Pantas saja saat mengintip dari balik pintu beberapa saat lalu, Dafa terlihat lesu.
Jihan lalu segera keluar kamar, dengan langkah tergesa-gesa mencari Windi yang sebentar lagi akan berangkat ke kantor. Ia akan meminta tumpangan di taksi pesanan adik madunya itu untuk ke rumah sakit membawa Dafa.
"Windi, tunggu sebentar." Panggil Jihan begitu melihat Windi berjalan menuju pintu utama.
Windi menghentikan langkahnya dan menoleh menatap Jihan, "Kenapa sih, Mbak? Aku tuh lagi buru-buru mau ke kantor, Taksi pesanan aku udah nungguin di depan." Ucapnya terdengar kesal.
Jihan mengatur nafasnya sejenak
begitu telah berdiri di hadapan Windi. "Aku mau nebeng di Taksi kamu, Dafa demam mau aku bawa ke rumah sakit."
"Aduh, gak bisa, Mbak. Aku buru-buru, ntar aku telat lagi sampai kantor!" Pungkas Windi kemudian berjalan cepat keluar rumah.
"Astagfirullah," Jihan mengelus dada, ia pun segera berlari keluar untuk mencari tumpangan lainnya. Barangkali ada ojek yang melintas. Mengabaikan pertunjukkan yang selalu membuatnya sesak, dimana bu Neny yang sebelumnya sedang bersantai di teras, memberikan peringatan penuh kasih sayang sebelum Windi berangkat ke kantor.
Setelah taksi yang ditumpangi Windi telah meninggalkan pelataran, bu Neny pun menghampiri Jihan yang tampak celingak-celinguk seperti sedang mencari seseorang.
"Kamu ngapain sih di situ? Kurang kerjaan banget, bukannya bersihin rumah!"
"Aku lagi cari ojek, Bu. Dafa demam, mau aku bawa ke rumah sakit." Ujar Jihan tanpa melihat ibu mertuanya, ia terus memantau kearah jalanan.
"Ya ampun, Jihan! Kamu itu apa-apaan sih, masa mau bawa Dafa ke rumah sakit pakai ojek, dimana otak kamu! Kenapa juga tadi gak minta tumpangan sama Windi, pasti dia melewati rumah sakit menuju kantor tempatnya kerja."
"Udah, Bu. Aku aku udah minta tumpangan sama Windi tak dia gak izinin, katanya bisa telat sampai ke kantor."
"Windi gak mungkin begitu. Itu pasti cuma karanganan kamu aja mau menjelek-jelekkan Windi!" Seru bu Neny.
"Astaghfirullah, Bu, aku gak bohong." Jihan berusaha membela diri.
"Udah, ibu gak mau denger alasan kamu lagi. Sana, cepat cari kendaraan, ibu mau lihat Dafa dulu." Ujar bu Neny, masuk ke rumah sambil menggerutu. Menyalahkan Jihan yang dinilainya tidak becus merawat anak sampai membuat cucunya demam begitu.
Jihan mengabaikan cercaan itu, untuk sekarang membawa Dafa ke rumah sakit adalah yang terpenting.
"Mbak Jihan, lagi cari siapa?" Sapa salah seorang tetangga dari dalam mobilnya yang hendak berangkat bekerja, melihat Jihan tampaknya sedang mencari sesuatu.
"Ini Mas, lagi nungguin Taksi atau ojek yang lewat. Mau ke rumah sakit bawa Dafa, lagi demam." Ucap Jihan, ia hanya menatap tetangganya itu sebentar lalu kembali memfokuskan pandangannya ke arah jalan.
"Mbak, kalau begitu ikut saya aja. Kebetulan kearah tempat kerjanya saya ada ngelewatin rumah sakit, kok."
"Gak usah, Mas, terima kasih. Takut ngerepotin, apalagi Mas nya mau berangkat kerja." Tolak Jihan.
"Sama sekali enggak ngerepotin kok, Mbak. Justru sesama tetangga bukankah kita sudah sewajibnya saling menolong. Lagipula, saya juga gak terlalu terburu-buru, kok."
Jihan berpikir sejenak, jika ia masih nekad menunggu kendaraan yang lewat ia bisa sampai kesiangan membawa Dafa ke rumah sakit. Ia akhirnya menerima tumpangan tetangganya itu. Dengan tergesa ia masuk rumah.
"Sudah dapat kendaraannya?" Tanya bu Neny.
"Alhamdulillah sudah, Bu. Saya diberi tumpangan sama Mas Adi tetangga kita." Jawab Jihan.
"Ya udah sana cepetan bawa Dafa keluar, gak enak udah dikasih tumpangan tapi malah lama."
"Ibu gak ikut ke rumah sakit?"
"Ibu lagi sakit kepala, kamu aja sana yang bawa Dafa ke rumah sakit."
Jihan tak membantah walaupun sebenarnya ia berharap ibu mertuanya ikut ke rumah sakit, sebab ia akan kerepotan mengurus administrasi dan lain-lain sedang Dafa tidak ada yang menjaga. Ia segera masuk menuju kamarnya, mengambil berkas yang diperlukan serta sejumlah uang tabungannya hasil dari menyisihkan uang bulanan. Setelahnya, ia gegas membawa putranya keluar rumah.
Adi sang tetangga sigap turun dari mobil begitu melihat Jihan tampak kewalahan menggendong Dafa. Ia mengambil alih menggendong bocah lelaki itu dan memasukkan ke mobil bagian belakang.
"Oh ya, Mbak Jihan. Kebetulan juga ada teman saya yang bekerja di rumah sakit itu, dan tadi saya juga udah hubungi sekalian daftar. Jadi setelah kita sampai di rumah sakit nanti, Dafa bisa langsung ditangani." Ucap Adi setelah beberapa saat mobilnya melaju.
"Ya Allah, saya gak tahu harus balas apa kebaikan Mas Adi selain ucapan terima kasih."
"Sama-sama, Mbak. Oh ya, Mas Fahmi kemana ya? Udah beberapa hari ini saya gak lihat."
"Mas Fahmi lagi ada tugas ke luar kota, Mas." Jawab Jihan.
"Oh, pantas saja. Em, kalau perempuan yang sudah beberapa hari ini tinggal di rumah Mbak, itu kerabatnya ya?" Tanya Adi lagi, ia beberapa kali melihatnya.
Jihan tampak gugup, ia bingung harus menjawab apa. "Iya, Mas. Itu sepupunya Mas Fahmi dari luar kota, pindah tugas kerja di sini. Dari pada ngekost, mending tinggal sama kami." Ia terpaksa berbohong, sebaiknya orang luar tidak perlu tahu permasalahan rumah tangganya.
Tak berapa lama kemudian mereka pun sampai di rumah sakit. Adi langsung berpamitan pergi begitu dua orang perawat datang, utusan dari dokter yang merupakan temannya, untuk segera membawa Dafa ke ruang perawatan.
Jihan yang tenang ya jangan gugup keluarga Aidan udah jinak semua kok paling Fio aja yang rada2🤭🤭🤭
makanya Jihan jangan meragu lagi ya Aidan baik dan bertanggung jawab kok g kayak sie onta
sampai rumah langsung ajak papa Denis ngelamar ya Ai biar g ditikung si onta lagi soalnya dia dah mulai nyicil karma itu