Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : Mulai Menggodamu
Buku dan Tulisan dengan Tinta Merah
Abigail mencerna setiap kata yang ada dalam pikirannya, memikirkan langkah-langkah ke depan. Setelah keluar dari kelas, dia berlari di sepanjang koridor yang dipenuhi siswa yang berlalu-lalang. Anak-anak yang tergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler sepak bola, tari, hingga basket, semuanya bersiap menunjukkan kemampuan mereka di lapangan pagi itu.
Tak ketinggalan, Justin, murid paling populer di sekolah atau "Most Wanted," juga muncul dari kelasnya dengan bola basket kesayangannya. Sepanjang perjalanannya, kamera dari teman-temannya terus membuntutinya, merekam setiap langkah dan ucapannya, termasuk saat Justin memberikan klarifikasi mengenai gosip yang beredar tentang dirinya dan si anak baru, Abigail.
"Justin! Justin!" panggil seorang teman laki-lakinya, tetapi Justin tetap tak peduli dan asyik memainkan bola basketnya.
"Justin, bagaimana tanggapanmu soal foto yang tersebar dengan si anak baru?" tanya seorang siswa bertubuh besar yang memegang mikrofon kecil di tangannya.
"Foto di perpustakaan kemarin, dengan Abigail dan temannya?" Justin hanya mengangguk tipis. "Siapa yang menyebarkan foto itu?"
“Justin!” teriak Anya yang mendekat ke arah kerumunan, dengan wajah penuh semangat. "Aku yang menyebarkannya ke akun gosip, memangnya kenapa?" katanya tanpa rasa bersalah.
“Sudah kuduga, kamu yang jadi biang keladinya!” sahut salah seorang siswa, yang langsung menggiring Anya ke tengah kerumunan dan menggoda gadis itu dengan tawa.
Di sisi lain koridor, Abigail bersama para siswa yang terdaftar sebagai peserta olimpiade sekolah tahun ini berjalan menuju lapangan untuk bersiap-siap. Mereka akan berangkat ke sekolah lain yang menjadi tuan rumah acara tersebut, bersama para guru pendamping.
“Kuduga, kamu pasti ikut maju, Abigail,” ucap Yeon, sahabatnya.
“Tenang saja, aku sudah memberi tahu ibuku. Nanti siang aku akan pulang,” jawab Abigail sambil menggendong tas yang berisi buku dan peralatan tulis.
"Hanya satu hari, tapi aku akan sangat merindukanmu!" kata Yeon dengan nada dramatis.
"Jangan berlebihan. Nanti juga aku pulang," balas Abigail dengan tersenyum.
Mereka berdua berjalan bersama menyusuri koridor hingga tiba di lapangan, di mana mobil jemputan sudah menunggu untuk membawa rombongan peserta olimpiade ke tempat tujuan. Semua mata tertuju pada mereka, kecuali para siswa yang tengah berlatih paskibra.
Justin mendekati Abigail, yang tengah berdiri di pinggir lapangan. “Semangat, sayang. Aku yakin kamu akan menang dan hasilnya memuaskan. Aku percaya pada kemampuanmu!” katanya dengan yakin, dan Abigail mengangguk menerima dukungan tersebut.
Perkataan Justin membuat para siswa yang ada di sekitar mereka berbisik-bisik. Panggilan “sayang” dan foto mereka yang tersebar di media sosial langsung menjadi pembicaraan hangat.
Sementara itu, Anya yang merupakan penggemar berat Justin sudah sejak tadi mendekati teman-teman Justin untuk mencari informasi, bahkan sampai harus “memaksa” George dan Roy, dua sahabat Justin, agar mau bekerja sama dengannya.
"Kalian ini menyebalkan! Sudah jelas tinggal bilang saja ke bos kalian, soal perasaanku ini. Tidak susah, kan?" keluh Anya sambil melirik Roy yang hanya mengangguk.
"Memangnya kalian berdua sedang apa di sini?" tanya Erika, sahabat dekat Anya, yang datang dengan membawa pel dan sapu.
“Kamu sendiri sedang apa di sini?” balas Anya sambil melirik temannya di toilet sekolah.
"Kalian baru saja selesai, ya? Hah?!” Erika terdiam dengan wajah bingung, tak percaya bahwa Anya bisa mengajak dua pria berbicara sekaligus.
“Pikiranmu kotor! Aku cuma meminta tolong pada mereka berdua untuk mendekatkanku dengan Justin, tapi sulit sekali. Mereka ini bandel,” keluh Anya.
Roy kemudian menjelaskan, “Gimana nggak susah? Bos kami itu lebih suka jatuh cinta secara alami. Dia bukan tipe yang mudah dirayu. Kalau ada usaha, boleh saja, tapi modal cinta saja tidak cukup. Cinta tidak bikin kenyang!”
Anya hanya bisa mengeluh sambil mencubit lengan Roy, “Kalian ini memang menyebalkan!”
Erika yang melihat percakapan itu hanya bisa tertawa kecil. “Sepertinya kamu langganan bikin masalah ya, Er?”
“Ah, iya. Aku sedang menjalani hukuman membersihkan toilet selama tiga puluh hari. Sudah sepuluh hari, tinggal dua puluh hari lagi,” jawab Erika sambil terkekeh.
“Lama sekali! Kamu kena masalah apa?” tanya George penasaran.
“Ah, kalian kepo sekali!” sahut Erika sambil tertawa.
O0O
“Semangat, Abigail!” seru Justin di tengah lapangan, mendukung keberangkatan Abigail ke olimpiade.
Para siswa di sekitar mereka mulai berbisik lagi. “Benarkah mereka pacaran?”
“Apa? Anak baru berhasil dapetin si Justin?”
“Wow, ini gila! Most Wanted kita jadian dengan anak baru!”
Begitu banyak bisikan dan komentar dari para siswa lainnya yang melihat Abigail berhasil menarik perhatian Justin, siswa paling dingin dan susah didekati di sekolah. Abigail tersenyum tipis dan melambaikan tangan kepada rekan-rekannya yang sudah siap masuk ke mobil untuk pergi ke tempat olimpiade.
“Abigail, semangat ya!” kata Yeon.
Tidak mau kalah, Justin juga berteriak, “SEMANGAT YA, CINTAKU!”
Yeon hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, heran dengan kata “cinta” yang diucapkan Justin. Semua siswa seketika terdiam mendengar teriakan Justin yang begitu lantang.
O0O
“Tunggu, tadi kamu bilang apa? Cinta?” tanya Yeon saat mereka hendak kembali ke kelas. Justin yang berjalan di depannya berhenti dan menoleh.
“Aduh, kakak ipar!” ujar Justin dengan senyum mengembang saat melihat Yeon, sahabat dekat Abigail.
“Aku bukan kakaknya Abigail. Kami hanya sahabat sejak kecil. Tapi ngomong-ngomong, kamu murid paling terkenal ya di sekolah ini?” tanya Yeon.
“Hm, bisa dibilang begitu.”
“EKHEM!!” Seorang guru lelaki dengan kumis tebal berdehem kecil saat ia melewati mereka. “Justin, Yeon, masuk kelas! Pelajaran segera dimulai.”
“Siap, Pak!” jawab mereka serempak, lalu segera masuk ke kelas.
Di dalam kelas, Yeon melihat Anya dan teman-temannya, termasuk Erika. Tatapan Anya langsung terfokus pada Yeon, merasa bahwa kedatangannya membawa Abigail telah mengganggu kehidupannya. Bagi Anya, Justin adalah miliknya dan tidak bisa diganggu gugat.
“Anak baru, ya?” tanya Anya.
Yeon berbalik dan menjabat tangan Anya. “Iya, aku anak baru. Salam kenal, namaku Yeon,” jawabnya ramah.
“Selamat pagi, anak-anak!” Wali kelas mereka masuk, langsung membuka mata pelajaran pagi itu.
“Pagi, Pak!”
“Hari ini kita akan belajar Ekonomi,” kata Pak Guru sambil berdiri di depan kelas.
“Baik, Pak,” jawab para siswa serempak sambil mengeluarkan buku catatan masing-masing.
Anya hanya terdiam dan berpikir bagaimana caranya agar dia bisa mendapatkan kembali perhatian Justin dan membalikkan keadaan ini sesuai keinginannya.