Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Lina Sakit
"Kak ... Kak Lina .... Buka pintunya!"
"Ada perlu apa?" tanya Trian.
Selepas Dara pergi, ia langsung mendatangi orang yang berada di depan rumah Lina. Tidak biasanya ada orang yang bertamu ke sana. Ia khawatir sesuatu terjadi pada Lina.
Pemuda itu berbalik, menatap Trian dengan tatapan keheranan. "Kamu ... Kak Trian, ya?" tanyanya.
Trian terkejut mengetahui pemuda itu mengenalnya. "Kamu siapa? Kenapa ada di depan rumah ini?" ia bertanya balik.
"Kak Trian lupa, ya? Aku Rama, adiknya Kak Lina."
"Oh ... Kamu Rama!" Trian menepuk pundak Rama.
Ia tidak menyangka adik Lina sudah sebesar itu. Tingginya hampir sama dengannya, di atas 170 cm. Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Sepuluh tahun yang lalu, anak itu masih kecil, baru kelas 3 SD.
"Lalu, kenapa kamu ada di luar? Lina kemana?" tanya Trian.
"Tidak tahu, Kak ... Aku sudah 15 menit di sini. Kak Lina belum keluar juga. Padahal dia yang telepon katanya sedang tidak enak badan."
Mendengar jawaban Rama membuat Trian merasa khawatir. Pagi tadi Lina keluar dari rumahnya dalam kondisi yang kurang baik. Ia takut terjadi sesuatu kepada wanita itu di dalam.
"Lina ... Lina ... Buka pintunya!" Trian berinisiatif menggedor pintu.
Seharusnya Lina mendengar suara gaduh di luar. Akan tetapi, tetap tak ada jawaban. Trian semakin khawatir.
"Sepertinya terjadi sesuatu dengan Lina. Kita dobrak saja pintu ini," ajak Trian.
Rama mengangguk. Ia mengikuti intruksi yang Trian berikan untuk mendorong pintu itu bersama. Mereka beberapa kali berusaha mendorong dan menendang agar pintu terbuka. Lama mereka lakukan namun tetap tidak berhasil.
"Tidak bisa begini ...."
Trian terlihat panik. Ia mengambil sebuah balok yang dilihatnya lalu memecahkan kaca jendela dekat pintu. Ia melemparkan balok itu dengan kuat ke arah kaca.
Seketika terdengar suara kaca pecah dan serpihannya jatuh berserakan. Jendela kaca rumah itu berhasil dirusak.
Trian memasukkan tangannya, membuka kunci pintu hingga akhirnya berhasil dibuka.
"Rama, kamu cari Lina di kamar-kamar!" perintah Trian.
Segera mereka berlari masuk ke dalam rumah mencari keberadaan Lina. Mereka berpencar ke setiap ruangan untuk menemukan Lina.
"Ya Tuhan, Lina!" teriak Trian saat menemukan wanita itu tergeletak tak sadarkan diri di ruang tengah lantai atas.
Ia mengecek nadinya masih ada. Segera ia menggendong Lina turun ke lantai bawah.
"Kak Lina kenapa?" Rama ikut khawatir melihat kondisi kakaknya yang sudah lemas di gendongan Trian.
"Kita harus cepat membawanya ke rumah sakit. Kamu gendong kakakmu dulu, aku mau ambil mobil!" ucap Trian seraya memberikan Lina kepada Rama.
Ia langsung berlari masuk ke dalam rumahnya. Dengan panik, ia mencari kunci dan dompet miliknya di kamar. Tak lupa ia mengunci rumah karena Dara tak akan mungkin pulang ke rumah. Ia nyalakan mobil dan melajukannya ke depan rumah Lina.
"Cepat! Bawa masuk ke dalam mobil!" perintah Trian.
Rama berlari menuju mobil Trian membawa kakaknya. Perlahan Rama merebahkan kakaknya di jok belakang dalam posisi yang nyaman.
"Kamu masuk sekalian!" pinta Trian.
"Aku bawa motor ke sini, Kak. Aku membuntuti saja nanti dari belakang," kata Rama.
"Baiklah, aku akan membawa Lina ke rumah sakit terdekat!"
Trian kembali menjalankan mobilnya. Pandangannya sesekali terarah ke spion melihat kondisi Lina di belakang.
"Kamu kenapa sebenarnya, kenapa bisa seperti ini," gumam Trian.
Jalanan yang Trian lewati tak begitu padat. Ia berusaha membawa mobilnya secepat mungkin, takut terjadi hal buruk terhadap Lina. Ia terus mengecek kondisi Lina di belakang, takut terjatuh saat mobil ia lajukan.
Setelah lima belas menit perjalanan, Trian akhirnya sampai di rumah sakit. Ia langsung melarikan Lina ke ruang UGD bersama Rama yang menyusulnya.
"Dokter, tolong ... Dia tak sadarkan diri," ucap Trian sembari membopong Lina
Petugas UGD segera mengambilkan brangkar dan membantu menaikkan Lina ke atasnya.
"Keluarga silakan tunggu di sini dulu, kami akan memeriksa kondisi pasien," kata salah satu perawat.
Lina dibawa masuk ke ruangan.
Trian hanya bisa mondar mandir di depan ruangan menunggu dokter selesai memberikan pemeriksaan. Ia terlihat sangat cemas.
"Jadi, Kak Trian tetangga Kak Lina, ya?" tanya Rama.
"Iya," jawab Trian singkat.
"Kebetulan sekali, ya," gumam Rama.
"Katanya kamu sedang kuliah. Apa kamu kuliah di kota ini?" tanya Trian.
"Iya, Kak. Aku sudah hampir dua tahun kuliah di sini. Baru sempat mampir ke tempat Kak Lina karena aku kuliah sambil kerja. Biasanya Kak Lina yang mampir ke tempatku. Ini tumben Kak Lina telepon menyuruhku datang, katanya tidak enak badan," jawab Rama.
"Kamu sudah menghubungi Rudi? Dia sepertinya belum pulang sejak kemarin."
"Sudah aku coba hubungi berkali-kali, bahkan waktu Kak Lina belum membuka pintu. Tapi, sampai sekarang nomornya tidak aktif."
Trian heran ada apa dengan suami Lina itu. Rudi sangat jarang di rumah dengan alasan sibuk kerja. Lebih parahnya lagi, nomornya tidak aktif. Padahal kondisi istrinya sedang tidak baik-baik saja.
Beberapa saat kemudian, Dokter akhirnya datang menemui mereka memberikan penjelasan bahwa kondisi Lina baik-baik saja meskipun masih belum sadarkan diri.
"Pasien sepertinya mengalami kelelahan dan kurang asupan nutrisi. Kalau dia sudah sadar, segera hubungi perawat," kata dokter.
Lina dipindahkan ke ruang perawatan kelas VIP agar bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Trian dan Rama duduk di sofa menunggui Lina yang masih terbaring di ranjang perawatan.
"Kak Trian kalau mau pulang sekarang tidak apa-apa. Biar aku saja yang menjaga Kak Lina. Terima kasih sudah mengantar kakakku ke sini," ucap Rama.
"Ah, itu bukan masalah besar. Kamu tidak perlu sungkan padaku," kata Trian.
"Oh, iya. Tadi pintu-pintu rumah sudah kamu kunci apa belum? Kacanya kan pecah, takutnya ada maling yang masuk," lanjut Trian.
Rama terkejut. Saking paniknya, tadi bahkan belum sempat menutup pintu rumah kakaknya.
"Aduh, bagaimana ini? Aku lupa ...." Rama menggaruk-garuk kepalanya.
"Ya sudah, kamu menginap saja di rumah kakakmu. Jaga sampai besok pagi dan panggil tukang untuk memperbaiki kaca jendela." Trian memberika sarannya.
"Terus, Kak Lina bagaimana?" tanya Rama.
"Malam ini biar aku yang menjaganya."
"Benar, tidak apa-apa?" tanya Rama memastikan.
Trian mengangguk.
"Baiklah kalau begitu, aku pulang dulu ke rumah kakak. Aku titip Kak Lina," pamit Rama.
"Hati-hati di jalan!"
Rama telah keluar dari ruangan. Kini, tinggal Trian dan Lina yang ada di sana.
Trian berjalan mendekat ke arah ranjang. Ia melihat wajah pucat wanita yang masih terbaring tak sadarkan diri itu. Tangannya terasa dingin, lemas tak bertenaga. Sepertinya Lina tak makan apa-apa setelah malam itu.
Trian duduk di samping ranjang sembari memegangi jemari Lina. Entah apa yang dirasakannya sekarang, ia merasa menyesal telah membuat Lina menjadi seperti itu.
"Lina, bangun ... Kamu harus sehat," ucap Trian lirih.