NovelToon NovelToon
Dear, Anak Tetangga

Dear, Anak Tetangga

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / One Night Stand / Crazy Rich/Konglomerat / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Bad Boy
Popularitas:8.7k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!

Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.

"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"

"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."

"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"

Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.

Ya ampun, Pangeran, tolonglah!

Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.

"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chandelier

Dengan alkohol sebanyak ini mengalir di dalam darah gue, susah banget rasanya buat fokus dan biar kelihatan seksi.

Tapi gue harus coba, gue harus balas dendam sama Anan. Dia sudah bermain-main sama gue dua kali, dia enggak bisa begitu saja pergi dengan merusak jiwa-jiwa polos seperti gue dan meninggalkan kita dengan rasa penasaran.

Jiwa-jiwa polos?

Gue benaran mabuk, nih.

Jiwa gue yang suka nge-stalking enggak bisa dibilang polos, apalagi sama hal-hal yang gue lakukan di kamar pas enggak ada orang yang lihat. Gue jadi malu pas ingat bagaimana gue sering membayangkan Anan sambil sentuh diri gue sendiri.

Bentar, bentar, bentar.

Gua enggak kayak yang lo bayangin, ya. Gue punya alasan kenapa bisa kayak begini.

Anan itu cowok pertama yang ada di sekitar gue pas gue masuk masa puber. Itu salah dia, dia yang nongol di depan mata saat hormon gue lagi kacau.

Logis, kan?

Gue berbalik biar dia bisa lihat tubuh gue dari belakang. Badan gue memang enggak begitu bagus, tapi cukup menarik, dan bokong gue lumayan oke.

Keringat mulai mengucur dari belahan baju, dari dahi gue, dan sisi wajah gue. Rasa haus, bikin gue jadi sering banget menjilat bibir gue yang kering.

Enggak tahu sudah berapa lama, tapi pas gue balik badan lagi buat lihat Anan, dia sudah enggak ada di sana. Jantung gue makin kencang pas melirik ke segala arah untuk menemukannya.

Ke mana dia pergi?

Apa dia turun tangga dan lagi menuju ke gue?

Apa yang harus gue lakukan kalau benaran begitu?

Gue enggak niat buat menggoda dia sampai sebegitunya.

Lo bego banget, Zielle, selalu masuk ke permainan yang lo enggak mengerti cara mainnya.

Enggak boleh begini terus.

Dengan tekad kuat, gue balik lagi ke tangga di mana ada penjaga mumi di sana. Dia pelototi gue dengan tatapan lelah. “Zona VIP.”

“Ya, tahu, kok,” jawab gue dengan nada datar, “tapi teman gue ada di atas dan dia suruh gue naik.”

“Nona berharap saya buat percaya gitu aja?”

“Ini benaran, dia bakal marah kalau tahu gue disuruh nunggu di sini.” Gue menyilangkan tangan di dada.

“Kalau teman Nona mau Nona di atas, mestinya dia turun buat jemput, kan? Itu sudah peraturannya.”

“Cuma sebentar, please,” mohon gue, tapi dia enggak kasih jalan. Gue coba menyelip lewat samping, tapi dia tahan gue. “Lepasin gue.” Gue berontak buat lepas, tapi dia malah makin kencang pegang pergelangan tangan gue.

“Kayaknya dia udah bilang lo buat lepasin.” Suara lembut terdengar dari belakang, bikin gue menengok dan melihat Asta Batari berdiri dengan serius dan rapi.

“Ini bukan urusan Tuan.” Si penjaga menyolot.

Asta tersenyum ramah tapi tegas. “Hukuman buat kekerasan itu berat, dan gue ragu lo bisa lolos, kalau gue bikin tuntutan.”

Si penjaga cuma mengejek sambil mendengus. “Eh, Lo cuma sok ijo, bocah.” Nadanya mulai tinggi. Gue menatap penjaga itu.

Apa lo enggak tahu dia siapa?

Memang wajahnya kelihatan kayak bocah, tapi dia anak dari salah satu keluarga paling berkuasa di kota ini.

Asta ketawa kecil. “Bocah, ya?”

Si penjaga tetap di posisi, dan gue coba melepaskan diri, tapi genggamannya malah makin erat.

“Iya, kenapa gak lo pergi aja dan berhenti ikut campur urusan orang. Lagi pula kalian ini bocil, tapi main ke tempat beginian?”

“Asta, gak apa-apa. Gue yang salah udah maksa naik padahal dia bilang enggak boleh.” Gue lihat ke penjaga. “Bisa gak lo lepasin tangan gue?”

Penjaga itu terlihat menyimpan rasa bersalah dan akhirnya melepaskan gue. “Maaf,” katanya sambil melengkungkan bibir.

Gue dan Asta menjauh dari penjaga, dan dia langsung ambil tangan gue buat lihat apakah ada bekasnya, memerah, tapi untungnya enggak lebam.

“Lo gak apa-apa?”

“Iya, makasih.”

“Kalau dia gak minta maaf, udah gue pecat tuh orang.”

“Pecat? Ini bar lo?”

“Enggak.” Asta geleng-geleng kepala. “Ini punya kakak gue.”

Mata gue langsung melebar. “Anan?”

Asta geleng-geleng lagi. “Anan punya bar? Gak mungkin, nyokap bisa pingsan. Ini punyanya Antari.”

Oh, kakaknya Anan.

“Tenang aja, tadi gue udah chat Antari, katanya dia lagi jalan ke sini.”

Sebenarnya, ada sedikit rasa kasihan buat si penjaga, tapi begitu gue ingat dia tadi kasar, rasa itu langsung hilang.

Tunggu sebentar...

Antari mau ke sini...

Dan gue masih menyimpan banyak alkohol yang mengalir di tubuh ini. Ribut-ribut sama penjaga tadi memang bikin mabuknya sedikit reda, tapi gue masih jauh dari sadar sepenuhnya. Gue sadar kalau gue masih mabuk, saat menerobos buat naik tangga tadi saja susah banget.

Jantung gue berdebar pas membayangkan bisa ketemu Anan di atas. Area VIP ini memang keren, ada meja-meja kaca, sofa empuk, pelayan-pelayan yang melayani orang-orang kaya. Di ujung sana, ada tirai merah tebal dan cahaya yang remang-remang di baliknya.

Asta mengarahkan gue buat duduk di salah satu sofa di depan meja kosong. “Duduk deh, lo mau minum apa?”

Gue coba ingat-ingat apa yang tadi gue minum sama Niria, tapi dia sudah kasih gue banyak minuman yang beda-beda, jadi gue enggak yakin. Cuma ada satu yang gue ingat gara-gara namanya yang unik “Orgasmo” Tapi enggak mungkin banget gue ngomong itu ke Asta.

“Apa yang lo rekomenin?”

Asta senyum polos. “Gue, sih enggak minum, tapi kakak-kakak gue suka whisky.”

“Oke, whisky aja.”

Asta memesan ke pelayan, terus dia duduk di sebelah gue. Gue menyatukan tangan di pangkuan, merasa canggung.

“Maaf soal penjaga tadi.” Asta minta maaf sambil melihat gue dengan tatapan lembut. “Kadang, mereka asal rekrut siapa aja.”

“Enggak apa-apa kok, gue juga salah maksain buat naik.”

“Santai aja, gue bakal ngomong ke Antari biar lo dikasih akses. Jadi, kalau lo ke sini, lo bisa langsung masuk kapan pun lo mau.”

“Makasih, tapi gak perlu repot-repot gitu.”

“Eh, kita ini tetangga, loh dan kita tumbuh bareng, main di belakang rumah, ngobrol lewat pagar pembatas.”

Itu benar, sih, kita memang bukan sahabat, tapi gue ingat banget waktu kecil kita sering main dan mengobrol bareng lewat pagar.

Sudah lama banget...

“Gue enggak nyangka lo masih ingat itu, lo kan masih kecil waktu itu.”

“Tentu aja gue ingat, gue ingat semuanya tentang lo.”

Cara dia ngomong bikin perut gue serasa ada yang berkecamuk. Asta memperhatikan ekspresi gue, terus buru-buru ngomong lagi. “Eh, gue enggak bermaksud buat yang aneh-aneh atau gimana, ya, gue cuma punya ingatan yang bagus.”

Gue senyum biar dia tenang. “Gak apa-apa, tenang aja.” Gue paling merasa enggak pantas buat menghakimi orang karena nge-stalking.

Pelayan datang bawakan whisky dan gue langsung menyeruput sedikit, karena susah payah buat menelannya. Rasanya parah banget. Mata gue terus melirik ke arah tirai merah itu. “Di sana ada apa?”

Asta garuk-garuk kepala, tapi sebelum dia sempat jawab, HPnya berbunyi. Dia langsung berdiri buat jawab telepon dan jalan agak menjauh. Pandangan gue tetap mengarah ke tirai-tirai itu.

Di balik situ ada apa, ya?

Asta masih sibuk dengan teleponnya, jadi gue berdiri dan jalan pelan-pelan ke arah tempat misterius itu.

Begitu gue masuk ke balik tirai, hal pertama yang gue rasakan adalah kegelapan, mata gue perlu waktu buat beradaptasi sama cahaya remang-remang dari lilin-lilin yang ada.

Gue lihat pasangan-pasangan lagi berciuman dan saling pegang-pegang di sofa-sofa yang tersebar di situ. Beberapa terlihat seperti lagi melakukan “begituan” walau masih pakai baju.

Gila, ini terlalu ekstrim buat jiwa polos kayak gue.

Gue sudah melewati banyak tirai warna merah yang sama sampai sekarang gue enggak tahu lagi mana jalan keluarnya, dan gue takut buka tirai yang salah terus malah ganggu pasangan yang lagi “sibuk.”

Akhirnya gue mengikuti sumber cahaya kecil yang bersinar dari pintu kaca transparan, berharap itu adalah jalan keluar.

Tapi mata gue malah ketemu sama pemandangan yang enggak disangka.

Anan.

Dia lagi duduk di kursi dengan kepala menggantung ke belakang, dengan hati-hati dan tanpa suara, gue melangkah keluar ke balkon. Anan kelihatan begitu memesona dengan mata tertutup, hampir kayak anak baik.

Kakinya yang panjang terbentang santai di depannya, di satu tangan dia pegang gelas whisky, sementara tangan lainnya sibuk merapikan “teman kecilnya” yang kelihatan lagi bangun.

Tapi dia buru-buru tarik tangannya lagi, dia kelihatan frustrasi. Jelas banget dia lagi mencoba menenangkan diri dengan angin segar, tapi kayaknya itu enggak terlalu berhasil.

Senyum kemenangan pun muncul di bibir gue.

Jadi lo enggak kebal sama godaan gue, ya?

Gue makan lo, Pangeran.

Gue berdeham, dan Anan buka mata, memiringkan kepalanya buat melihat ke arah gue. Gue enggak bisa tahan senyum puas ini, dan kayaknya dia sadar.

“Kenapa gue enggak kaget ngelihat lo di sini?” Nada suaranya kayak bercanda pas dia menyelonjorkan badan di kursinya.

“Nyari angin?” tanya gue, sedikit ketawa.

Anan garuk-garuk dagu. “Lo pikir gue begini gara-gara lo?”

Gue menyilangkan tangan di dada. “Gue tahu itu gara-gara gue.”

“Kenapa lo yakin banget? Kan, bisa aja gue habis ciuman sama cewek cantik, terus dia tinggalin gue begini.”

Jawabannya enggak bikin senyum gue hilang. “Gue yakin gara-gara cara lo ngelihat gue sekarang.”

Anan bangkit, dan keberanian gue sedikit goyah saat melihat dia berdiri di depan gue kayak raksasa.

“Dan menurut lo, gimana cara gue ngelihat lo?”

“Kayak lo cuma butuh sedetik lagi buat hilang kendali dan cium gue.”

Anan ketawa, suara rendahnya bikin gue merasa makin tertarik. “Lo ngigau, lo kebanyakan minum.”

“Lo pikir gitu?” Gue dorong dia, dan dia langsung duduk lagi di kursinya. Mata dia enggak lepas dari gue waktu gue maju, duduk di pangkuannya dengan kedua kaki di sisi tubuhnya.

Gue langsung bisa merasakan seberapa “siap” dia di antara paha gue, dan gue gigit bibir bawah. Wajah Anan cuma berjarak beberapa sentimeter dari gue, dan berada sedekat ini bikin jantung gue berdegup kayak orang gila.

Dia senyum, pamerkan deretan giginya yang sempurna. “Lo lagi ngapain, penyihir?”

Gue enggak jawab dia, malah gue tempelkan muka gue di lehernya. Dia wangi banget, kombinasi parfum mahal dan aroma tubuhnya sendiri. Bibir gue menempel di kulit lembut lehernya, dan dia sedikit merinding. Napas gue jadi makin cepat pas gue mulai tinggalkan kecupan basah di lehernya.

Gue dorong tangannya buat taruh gelas di lantai, terus gue arahkan tangan dia ke bokong gue, biar dia pegang di situ.

Anan mengeluh pelan, gue lanjut menyerang lehernya. Tangan dia makin kencang meremas pinggang gue, dan gue merasakan dia makin “siap tempur” di antara paha gue.

Jadi gue mulai menggerakkan tubuh gue pelan-pelan di atasnya, menggoda, menyiksa. Desahan kecil keluar dari bibirnya, dan gue balas dengan senyuman kecil di kulitnya, bibir gue bergerak ke telinganya.

“Anan...” bisik gue, dan dia makin mengeratkan pegangannya di gue. Gue tarik kepala dari lehernya dan menatap matanya. Hasrat di bola matanya benar-benar bikin gue lemas. Hidung kita hampir menempel, napas kita sama-sama cepat.

“Lo ngidam gue?” tanya gue sambil sedikit gigit bibir gue sendiri.

“Iya, gue ngidam lo, penyihir.”

Gue dengan perlahan maju buat cium dia, dan saat bibir kita hampir bertemu, gue malah mundur dan langsung berdiri.

Anan melihat gue dengan wajah bingung, dan gue kasih senyum kemenangan gue.

“Karma itu pahit, Pangeran!!”

Dengan perasaan kayak jadi ratu, gue tinggalkan dia sendirian dan balik lagi ke dalam klub.

1
Hanisah Nisa
ziell...kalau...pergi ....pergi aja terus.....fokus....untuk....mantapkan dirimu....jadi wanita...kariier.....tangguh...tegas.....mandiri.......cayok...2....
Hanisah Nisa
kenapa lah....kau selalu saja...jadi perempuan...bodoh....goblok...begok....tolol....tongok....otakmu...jadi...wanita...plin.plan....murahan.....tak...berpendirian....
Hanisah Nisa
walau pun pun ..dia mempunyai keluarga toxic....bukan sewenang wenangnya buat orang...begitu....kau pun jadi wanita...jgn terlalu lembik...sangat....
Hanisah Nisa
jadi wanita jangan terlalu bodoh...mau aja di permainkan....di bagi tinggal saja....lelaki plin plan begitu....pindah sekolah ...habis cerita.....fokus pada study .../Smug/
디티아: sabar, kak.
total 1 replies
Author Amatir
Anan nama ku ✨
nuna
pauss/Panic/
Hanisah Nisa
lanjut
nuna
/Cry/
mama Al
penyihir cinta kayaknya
nuna
hee, ko bisa kpikiran kekgtu?/Facepalm/
디티아: /Grin/
total 1 replies
Hanisah Nisa
lanjut lagi
Hanisah Nisa
lanjut
nuna
wahh/Scowl/
nuna
Suka swnyum² sndiri bcanya, mkasi thor hehe
nuna
terkjoeeddd
Muhammad Habibi
Luar biasa
nuna
bwa sini bwt ak ja/Grin/
nuna
pulang!!!!!/Awkward/
☆☆D☆☆♡♡B☆☆♡♡
👍👍👍🤗🙏
nuna
ko bisa?/Hey/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!