Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17: AKHIR DARI SEGALANYA
Darah masih mengalir di tanah, dan udara yang berat semakin pekat. Keadaan di sekitar Vera terasa semakin tidak nyata, seakan dunia yang dikenalinya telah hancur, berantakan, dan terguncang oleh kekuatan yang lebih besar daripada yang pernah dibayangkan. Dia tergelatak di atas batu tajam, jantungnya berdetak cepat, seolah setiap detikan menambah beban yang semakin berat. Melihat Raka berjuang dengan begitu gigih melawan Dimas—temannya yang telah berubah menjadi makhluk tak manusiawi—membuatnya merasakan ketegangan yang luar biasa.
"Raka, hati-hati!" Vera berteriak, meskipun suara itu teredam oleh suara pertempuran yang keras.
Namun Raka tampaknya sudah tak mendengar peringatan itu. Setiap ayunan pedangnya semakin tajam dan brutal, tetapi Dimas—atau apapun dia sekarang—selalu berhasil menghindar, bahkan membalikkan serangan itu dengan cara yang semakin tak terduga. Dimas, meskipun dalam kondisi yang mengerikan, bergerak dengan kecepatan yang seolah tidak terjamah oleh waktu.
Vera mencoba untuk bangkit, meskipun tubuhnya terasa sangat lelah dan nyeri. Dengan susah payah, dia meraih belatinya yang tergeletak di sampingnya. "Aku harus membantu, aku harus..." pikirnya, tetapi tubuhnya menolak untuk bergerak dengan cepat.
Keadaan semakin memburuk. Dimas melangkah maju, membalikkan tubuh Raka dengan satu serangan yang begitu kuat. Pedang Raka terpelanting jauh, dan tubuhnya terjatuh ke tanah dengan keras, tubuhnya terhantam batu besar di sekitarnya. Vera bisa melihat bagaimana darah mengalir dari tubuhnya yang terluka parah.
"Raka!" Vera berteriak, merasakan keputusasaan yang luar biasa. Dia tahu kalau mereka gagal, semuanya akan berakhir di sini. Namun, yang lebih menakutkan, Dimas kini berbalik mengarah ke arahnya, matanya yang kosong memancarkan kebencian yang lebih dalam daripada yang pernah dilihatnya.
Dimas mulai berjalan perlahan ke arahnya. Tawa tergenang oleh amarah yang mencekam. "Kalian memang naif," katanya, suaranya dingin dan mengerikan. "Tidak ada yang bisa melawan takdir. Kalian hanya akan menunda yang sudah pasti."
Vera merasakan sesuatu yang aneh muncul dalam dirinya. Mungkin itu rasa takut, atau mungkin juga rasa marah yang semakin menggebu. "Aku tidak takut padamu," kata Vera, meskipun suaranya bergetar.
Dengan kekuatan yang tersisa, dia bangkit, memegang erat belatinya. Setiap gerakan terasa berat, namun matanya dipenuhi dengan tekad. "Aku akan menghentikanmu," bisiknya, matanya yang berkaca-kaca menatap Dimas dengan penuh kebencian.
Namun, Dimas tertawa terbahak-bahak, seolah mengejeknya. "Kau tidak akan bisa," katanya, mendekat dengan langkah pelan dan pasti. "Sudah terlambat, Vera. Takdir sudah ada di tangan kita."
Vera maju, melangkah dengan sisa kekuatannya, mencoba menghindari serangan yang datang. Dengan satu gerakan cepat, dia meluncurkan belatinya ke arah dada Dimas, berharap serangannya tepat sasaran.
Namun, Dimas dengan mudah menangkis serangan itu. Tangan besar yang terbalut oleh energi gelap itu bergerak dengan kekuatan yang luar biasa, menahan belati Vera dengan satu telapak tangan, menghentikan serangan itu dengan kekuatan yang lebih besar dari yang bisa dibayangkan.
"Kau pikir kau bisa mengalahkan kegelapan?" tanya Dimas dengan senyuman penuh rasa jijik. "Kegelapan itu ada di dalam diri kalian semua."
Dengan satu dorongan kuat, Dimas membuang Vera ke samping. Tubuhnya terlempar jauh, menghantam batu besar yang ada di sekitarnya, dan rasanya setiap tulang dalam tubuhnya hancur. Dia tak bisa lagi bergerak, hanya bisa tergeletak lemah, mengerang kesakitan.
"Vera!" Raka yang masih terbaring, meskipun terluka parah, berusaha bangkit, tapi tubuhnya tak mampu. Dia mengerang kesakitan, menatap Dimas dengan amarah yang membara. "Aku... akan... bertahan!"
Dimas hanya menatap mereka dengan tatapan kosong, hampir seperti tidak peduli. "Kalian tidak bisa melarikan diri," katanya. "Kegelapan ini akan menguasai kalian semua."
Namun, tiba-tiba sebuah cahaya terang menyilaukan muncul dari jauh. Sebuah suara yang tak bisa dijelaskan memenuhi udara, seperti suara ribuan suara yang bersatu. Vera, yang terbaring lemah, merasakan getaran yang datang dari suara itu. Sesuatu yang asing, namun memberi harapan.
"Apa itu?" Vera berbisik, matanya mencoba fokus pada cahaya yang semakin mendekat.
Dimas sepertinya merasakan ancaman itu, karena tiba-tiba dia menoleh ke arah cahaya itu. "Apa ini?" teriaknya, suaranya penuh dengan kebingungan dan ketakutan. "Kau tidak bisa..."
Namun, cahaya itu semakin terang, semakin mendekat. Dengan satu ledakan yang mengguncang dunia sekitarnya, cahaya itu meledak ke udara, memancarkan kekuatan yang sangat besar. Dimas terhuyung, tubuhnya tampak goyah oleh kekuatan yang datang dari arah tersebut.
Vera yang masih tergeletak di tanah, memejamkan matanya. Tidak tahu apakah dia akan selamat atau tidak, namun dia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari kegelapan yang menunggunya.
Ketika cahaya itu memudar, suara kembali menghilang. Dimas telah menghilang, terhisap oleh kekuatan yang lebih besar. Namun, tubuh Vera terasa sangat lemah, tak bisa bangkit lagi.
Raka, yang juga tergeletak tak jauh darinya, hanya bisa menggelengkan kepala. "Kita... telah melewati semuanya," katanya, suara yang hampir tak terdengar. "Tapi... apa yang akan terjadi selanjutnya?"
Vera membuka matanya perlahan. "Aku... tidak tahu," jawabnya dengan suara lemah. "Tapi kita masih bertahan..."
Saat itu, sebuah suara lembut terdengar di telinga mereka. "Kalian tidak sendirian."
Vera dan Raka menoleh dengan cepat, dan di hadapan mereka berdiri sosok yang familiar—pria tua yang telah mati, tetapi kini tampak hidup kembali, dengan aura yang jauh lebih kuat.
"Kalian telah melalui ujian ini," kata pria tua itu dengan suara yang tenang. "Namun ini baru awal dari perjalanan kalian."
Vera dan Raka saling berpandangan, dengan hati yang penuh tanya. "Perjalanan?" Vera bertanya dengan ragu.
Pria tua itu hanya tersenyum. "Kegelapan mungkin telah pergi, tapi bayangannya masih ada di dunia ini. Dan kalian berdua adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik."
Dengan kata-kata itu, semuanya menjadi gelap, dan mereka pun terjatuh ke dalam keheningan yang tak bisa dipahami.