Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Walls of Change
Rumah baru mereka berdiri megah di tengah kota, dikelilingi oleh pagar tinggi yang memberikan privasi sepenuhnya. Gaya arsitekturnya modern, dengan dinding kaca besar dan desain minimalis yang menonjolkan kekayaan tanpa berlebihan. Saat mobil mereka meluncur melewati gerbang, Shabiya memandang bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Cantik, tentu saja, tapi juga terasa asing. Rumah ini bukan sekadar bangunan; itu adalah simbol ikatan yang baru saja ia sepakati, meski dengan banyak keraguan.
“Selamat datang di rumah baru kita,” kata Chandra, nadanya terdengar ringan tapi dengan kehangatan yang disembunyikan.
Pintu utama dibuka oleh seorang wanita berusia sekitar lima puluhan, berpakaian rapi dengan seragam hitam dan apron putih. Rambutnya digelung dengan rapi, dan wajahnya menunjukkan ekspresi hormat bercampur ketegasan.
“Ini Rosa,” kata Chandra memperkenalkan kepala pelayan rumah itu. “Dia sudah bekerja dengan keluargaku selama bertahun-tahun. Rosa, ini Shabiya.”
Rosa tersenyum ramah. “Selamat datang, Nyonya. Senang akhirnya bisa bertemu dengan Anda.”
Shabiya hanya mengangguk kecil. Kata “Nyonya” terasa canggung, seperti pakaian yang terlalu besar untuk dipakai.
Rosa memimpin mereka masuk, menunjukkan berbagai bagian rumah—ruang tamu yang luas, dapur modern dengan peralatan lengkap, dan akhirnya, kamar utama. Wanita itu lalu pamit undur diri setelah memastikan tugasnya selesai.
Kamar itu luar biasa besar. Dindingnya dihiasi karya seni abstrak, dan di tengah ruangan ada tempat tidur yang tampak terlalu mewah untuk ditempati. Di sudut, ada sofa besar dengan meja kopi, lengkap dengan jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota.
“Ini kamar kita,” ujar Chandra santai, melepas jasnya dan meletakkannya di kursi dekat pintu. “Semua yang kau butuhkan ada di sini.”
Shabiya berhenti di ambang pintu, menatap ruangan itu seolah sedang menilai apakah ia bisa merasa nyaman di dalamnya. “Aku ingin punya kamar sendiri,” katanya akhirnya, nada suaranya datar tapi tegas.
Chandra berhenti sejenak, lalu menoleh, alisnya terangkat. “Kamar sendiri?”
“Ya. Privasi adalah hal penting bagiku,” tegas Shabiya sambil melipat tangan di depan dada.
Chandra menyeringai, senyum yang lebih seperti tantangan daripada keramahan. “Sayangnya, aku tidak menyiapkan itu. Ada kamar untuk pelayan, tentu saja, tapi aku rasa kau tidak ingin tinggal di sana.”
Shabiya memutar matanya, merasa kesal. “Kalau begitu, kau punya waktu beberapa hari untuk menyiapkan kamar lain untukku.”
Chandra melangkah mendekat, sorot matanya tajam namun menggoda. “Aku rasa kau salah paham. Keputusanku sudah final. Pernikahan ini sungguhan, Shabiya, bukan kontrak. Kau istriku, dan aku suamimu. Kita berbagi rumah ini. Kita berbagi kamar ini. Dan, pada waktunya, kita akan berbagi hidup ini.”
“Berbagi kamar tidak termasuk dalam kesepakatan,” balas Shabiya tajam, rahangnya mengencang. "Lagipula aku belum menyetujui apapun. Dan soal Awan dan Erika, termasuk juga semua hal yang terjadi sepanjang pesta pernikahan kita, itu adalah sebagian kecil bantuan dariku. Hanya agar reputasimu tidak jatuh di hadapan mereka."
Chandra mengangkat satu alis, senyumnya melebar. “Aku tahu, tapi bukankah aku sudah bilang, kalau aku ingin keturunan? Bagaimana kita bisa melakukannya jika kita berada di kamar yang berbeda?”
Nada menggoda dalam suaranya membuat darah Shabiya mendidih. “Keturunan? Kau serius tentang itu?”
Chandra hanya mengangkat bahu, seolah pertanyaan itu terlalu sederhana untuk dijawab dengan kerumitan. “Tentu saja. Sebagai bagian dari keluarga ini, aku punya tanggung jawab. Keturunan adalah bagian dari itu. Awan tidak bisa diandalkan—kau tahu itu. Aku tidak akan membiarkan perusahaan kami kehilangan penerus hanya karena kebodohannya.”
Shabiya menatapnya, masih berusaha memahami seberapa jauh ego pria ini melangkah. “Jadi, ini hanya tentang bisnis dan reputasi?”
“Ini tentang masa depan,” kata Chandra dengan nada lebih serius. “Perusahaan kita bukan sekadar bisnis keluarga, Shabiya. Itu adalah warisan. Aku harus memastikan bahwa itu tetap kuat, bahwa aku bisa meninggalkan sesuatu yang nyata. Dan untuk itu, aku butuh penerus. Keturunan yang bisa melanjutkan apa yang sudah dimulai oleh keluargaku.”
Shabiya menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Kau benar-benar berpikir ini cara yang tepat? Menikah dengan seseorang yang bahkan hampir tidak kau kenal, dan berharap aku akan setuju dengan semua ini?”
“Aku tidak berharap kau setuju. Aku hanya berharap kau mengerti,” jawab Chandra, nadanya lebih lembut, meski tetap penuh keyakinan.
Chandra lalu melangkah pendek, berdiri di dekat jendela, kemeja putih yang ia kenakan lengannya digulung hingga siku. Sebuah pemandangan yang, jika tidak dalam situasi seperti ini, mungkin akan menarik perhatian Shabiya. Tapi sekarang, hanya ada rasa frustrasi.
"Baiklah, katakan padaku," kata Shabiya akhirnya, memecah keheningan yang membingungkan. "Kenapa kau begitu ngotot dengan semua ini?"
Chandra menoleh, sorot matanya tajam namun penuh teka-teki. “Aku sudah menjelaskannya tadi. Pernikahan ini bukan sekadar kesepakatan bisnis, Shabiya.”
"Kita tidak saling mengenal, bagaimana mungkin kita_" kalimat Shabiya menggantung di udara.
Chandra tersenyum kecil, lebih kepada dirinya sendiri daripada pada Shabiya. "Aku tahu kau tidak suka aturan yang dipaksakan, tapi kau tetap menghormati komitmen. Aku tahu kau tidak akan lari dari tantangan, bahkan yang sesulit ini.”
Shabiya mendekat, menatapnya dengan tajam. “Dan kau pikir itu cukup alasan untuk memaksa seseorang tidur denganmu? Untuk berbagi hidup denganmu? Dan mengandung serta melahirkan anak-anakmu?”
Chandra tertawa kecil, suara yang lebih seperti ejekan. “Tidur denganku adalah hal kecil, Shabiya. Kau tahu apa yang benar-benar penting? Kesetiaan. Dedikasi. Dan aku tahu kau memilikinya.”
Shabiya mendengus, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang menunjukkan bahwa dia tidak sepenuhnya bisa membantah. "Kau begitu yakin tentang itu, ya? Kau bahkan tidak peduli dengan apa yang aku pikirkan."
“Aku peduli,” jawab Chandra serius. “Aku hanya yakin bahwa apa yang kulakukan adalah yang terbaik. Untukku. Untukmu. Dan untuk keluarga kita.”
“Fakta bahwa kau menyebutnya keluarga kita sangat ironis,” sindir Shabiya, melipat tangan di dadanya.
Chandra mendekat, jaraknya hanya beberapa langkah dari Shabiya. “Aku tahu kau marah. Kau merasa terkekang. Tapi percayalah, kau akan melihat ini berbeda suatu hari nanti.”
Shabiya memutar matanya, tapi Chandra tidak terganggu. Dia tahu caranya menangani wanita ini—dengan kesabaran dan keteguhan, meski itu berarti menahan diri dari meladeni setiap serangannya.
"Lalu bagaimana dengan Erika? Bukankah dia sudah hamil dan mengandung anak Awan?" tanya Shabiya dengan nada skeptis, alisnya sedikit terangkat, menunjukkan betapa ia begitu ragu. Ia menatap Chandra seolah mencari kebenaran dalam jawaban yang akan Chandra berikan. Meski suaranya terdengar tenang, ada ketegangan terselubung di balik pertanyaan itu.
Chandra mengambil waktu sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Awan telah menghancurkan terlalu banyak hal. Reputasi keluarga, bisnis ayahku, dan bahkan kepercayaanku padanya. Aku tidak bisa menyerahkan warisan ini kepadanya. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan semuanya berakhir di tanganku. Ini tentang memastikan ada seseorang yang bisa melanjutkan apa yang telah dibangun keluargaku. Seseorang yang membawa namaku. Namamu juga, sekarang.”
Shabiya mengangkat alis, setengah terkejut mendengar sisi emosional itu dari Chandra. Tapi dia tetap bertahan dengan sikap dinginnya. “Jadi aku ini hanya alat untuk memastikan warisanmu tetap hidup?”
Chandra menggeleng, menatapnya dengan sorot mata yang lebih lembut. “Bukan hanya itu, Shabiya. Kau adalah seseorang yang kubutuhkan. Lebih dari yang mungkin bisa kau pahami saat ini.”
Shabiya menahan napas sejenak. Kata-kata itu memiliki bobot yang tidak dia duga. Tapi sebelum dia bisa membalas, Rosa mengetuk pintu dan masuk dengan sedikit ragu.
“Maaf mengganggu, Tuan, Nyonya,” katanya sopan. “Ada seseorang di luar yang ingin bertemu dengan Anda, Tuan Chandra.”
Chandra mengerutkan alis. “Siapa?”
“Dia tidak memberikan nama. Hanya mengatakan bahwa ini sangat penting dan mendesak.”
Chandra menoleh ke Shabiya, memberikan isyarat agar dia tetap di kamar, lalu berjalan keluar dengan Rosa. Saat pintu tertutup di belakangnya, Shabiya merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
***