Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Kebenaran yang Menyakitkan
Hujan deras mengguyur malam itu, memantulkan cahaya lampu jalan yang berpendar redup.
Naura duduk di ruang tamu, memeluk selimut dengan wajah pucat dan mata sembab.
Ibunya datang menghampiri karena cemas.
"Nak, kalian ini 'kan baru menikah. Tapi kok sepertinya bertengkar terus. Ini saran ibu, mungkin ... sebaiknya kamu tinggal saja bersama Bimo.
Pikirannya terus melayang pada foto-foto yang Anita tunjukkan dan pertengkaran terakhirnya dengan Bimo.
Kata-kata suaminya yang penuh kebohongan masih terngiang di telinganya, menambah rasa sakit yang kian dalam.
"Ibu bicara seperti itu karena gak tahu Mas Bimo seperti apa," ketus Naura meluapkan kekesalannya.
Ibunya mengesah berat.
"Nau, tidak perlu percaya orang. Hal terpenting adalah kamu bersama Bimo. Bisa jadi karena mereka iri melihat kamu dinikahi oleh Bimo," bujuk ibu gadis itu.
Naura belum menjawab tapi ponselnya bergetar lagi. Kali ini, pesan berbeda.
“Aku tahu ini berat untukmu. Jika kamu ingin bukti lebih, datang ke alamat ini besok jam 10 pagi. Jangan bawa siapa-siapa.”
Naura membaca pesan itu berkali-kali, berusaha memahami niat di baliknya. Apakah ini jebakan? Atau memang seseorang mencoba membuka matanya lebih jauh?
Namun, rasa penasaran dan sakit hati membuatnya memutuskan untuk datang.
***
Pagi itu, Naura berdiri di depan sebuah rumah mewah di daerah perumahan elit.
Ia ragu sejenak, tetapi akhirnya mengetuk pintu. Tidak lama, seorang wanita berpenampilan anggun membukakan pintu.
Wanita itu mengenakan blus merah dan rok pensil hitam, terlihat sempurna dengan riasan wajah yang tegas.
“Naura?” tanyanya dengan nada ramah, meskipun senyumnya terasa dingin.
“Iya, saya Naura. Anda siapa?”
“Saya Rina,” jawabnya. “Masuklah. Kita perlu bicara.”
Naura melangkah masuk dengan hati-hati, matanya menjelajahi interior rumah yang megah.
Perabotan mahal dan suasana mewah di dalamnya membuat Naura merasa seperti tamu yang tidak diundang. Rina mempersilakannya duduk di ruang tamu yang luas.
“Saya yakin kamu datang karena penasaran,” kata Rina sambil menuangkan teh ke dalam cangkir.
“Kamu ingin tahu lebih banyak tentang Bimo, kan?”
Naura mengangguk pelan. “Iya. Tapi kenapa Anda ingin membantu saya?”
Rina tersenyum tipis. “Karena kamu harus tahu siapa sebenarnya suami kamu. Aku pernah berada di posisimu, Naura. Dan aku tidak ingin kamu menjalani hidup dalam kebohongan seperti yang aku alami.”
Kata-kata Rina membuat dada Naura semakin sesak.
“Apa maksud Anda? Apa hubungan Anda dengan Mas Bimo?”
Rina menghela napas panjang sebelum menjawab.
“Aku mantan tunangannya.”
Hati Naura serasa dihantam palu besar.
“Tunangannya?”
“Iya,” Rina mengangguk. “Kami bertunangan selama hampir dua tahun, tapi hubungan itu kandas ketika dia mulai memperlihatkan siapa dirinya yang sebenarnya. Dia pria yang cerdas, ambisius, tapi juga penuh manipulasi. Aku bisa melihatnya sejak awal, tapi aku terlalu cinta untuk mengakuinya.”
Naura terdiam, memproses informasi itu dengan hati yang bergejolak.
“Lalu, apa yang terjadi?” tanya Naura akhirnya.
“Bimo sering menghilang, tidak memberi kabar selama berhari-hari. Saat aku menyelidikinya, aku menemukan dia punya hubungan dengan beberapa wanita lain. Dan sekarang, aku tahu dia melakukan hal yang sama padamu.”
Naura menggigit bibir, berusaha menahan air matanya.
“Jadi... apa maksud semua ini? Kenapa Anda peduli dengan saya?”
“Karena aku tahu rasa sakit itu, Naura. Dan aku tidak ingin wanita lain jatuh ke perangkap yang sama,” jawab Rina dengan suara tegas.
“Kalau kamu tidak percaya, aku punya bukti.”
Rina membuka sebuah amplop besar dan menyerahkan dokumen kepada Naura.
Di dalamnya ada salinan kontrak, transaksi bank, bahkan rekaman pesan antara Bimo dan wanita-wanita lain.
“Aku tidak tahu apa niat dia menikahi kamu, Naura. Tapi ini jelas bukan karena cinta.”
Naura merasa duniannya runtuh sekali lagi. Tangan dan kakinya gemetar, matanya tidak mampu lagi menahan aliran air mata.
Saat perjalanan pulang, Naura tidak berhenti memikirkan semua yang baru saja ia dengar dan lihat.
Hatinya penuh dengan rasa sakit dan amarah. Ia merasa bodoh karena begitu mempercayai Bimo, bahkan saat semua tanda-tanda kebohongan sudah jelas di depan matanya.
Ketika tiba di rumah, ia menemukan Bimo sudah menunggu di ruang tamu. Pria itu duduk dengan santai, namun ekspresinya berubah saat melihat wajah Naura yang memerah karena tangis.
“Dari mana kamu?” tanya Bimo dengan nada waspada.
“Dari tempat yang memberitahuku semua yang kamu sembunyikan, Mas,” jawab Naura dengan suara bergetar.
Bimo berdiri, menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”
Naura melemparkan amplop besar yang ia bawa ke meja.
“Ini maksudku! Semua bukti tentang kebohonganmu, tentang siapa kamu sebenarnya!”
Bimo terdiam, matanya menyapu dokumen-dokumen di atas meja. Raut wajahnya berubah menjadi gelap.
“Kamu nggak seharusnya percaya sama orang lain, Naura,” katanya dengan nada rendah.
“Bagaimana aku bisa percaya padamu kalau semua ini jelas menunjukkan bahwa kamu pembohong?!” Naura membalas dengan suara tinggi, tangisnya kembali pecah.
Bimo mendekatinya, mencoba menggenggam tangannya, tapi Naura mundur selangkah.
“Kamu bilang mencintaiku, Mas. Kamu bilang ingin membangun hidup bersama. Tapi apa ini?!”
“Naura, aku bisa jelaskan,” kata Bimo, suaranya terdengar putus asa.
“Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi!” Naura berteriak.
“Semua sudah jelas. Kamu hanya menjadikan aku bagian dari rencanamu, kan? Untuk apa, Mas? Untuk menyenangkan keluargamu? Untuk menyembunyikan kesalahanmu dengan wanita lain?”
Bimo menggeleng, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Naura tahu, tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki situasi ini.
“Aku menyerah, Mas,” kata Naura dengan suara lemah.
“Aku sudah cukup terluka.”
Ia berbalik, melangkah menuju kamar tanpa menoleh lagi pada Bimo.
Malam itu, Naura duduk di kamar, menatap kosong ke luar jendela.
Suara hujan yang kembali turun hanya menambah kesedihan yang ia rasakan.
Pikirannya dipenuhi oleh semua kenangan bersama Bimo, dari saat mereka pertama kali bertemu hingga saat ini, ketika semua cinta itu terasa seperti kebohongan belaka.
Namun, di balik rasa sakit, ada keputusan yang mulai tumbuh di hatinya. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang kebohongan.
Ia harus mencari jalan keluar, meskipun itu berarti meninggalkan orang yang pernah ia cintai dengan sepenuh hati.
Ponselnya kembali bergetar. Kali ini, pesan dari Rani, temannya di kota.
“Naura, aku tahu ini berat. Tapi kalau kamu butuh bantuan, aku selalu ada untukmu. Jangan ragu untuk menghubungi aku, ya.”
Naura memandangi pesan itu dengan air mata yang kembali mengalir.
Ia tahu, ia tidak sendiri. Tapi langkah yang harus ia ambil akan membutuhkan keberanian yang lebih besar dari yang pernah ia miliki sebelumnya.
Dengan tangan gemetar, ia mengetik balasan.
“Terima kasih, Rani. Aku akan menghubungi kamu secepatnya. Aku harus keluar dari ini semua.”
Naura menatap ponselnya lama, merasakan kekuatan kecil yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Ia tahu, jalannya tidak akan mudah. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan di tengah semua kegelapan ini.
Di luar, hujan masih turun deras, seakan menjadi saksi bisu bagi perjuangan seorang wanita muda yang sedang mencari jalan untuk menyembuhkan luka hatinya.
"Aku sudah bicara dengan ibumu, mulai sekarang kamu akan tinggal denganku. Suka atau tidak, kita sudah menikah. Ini keputusanku!" Bimo tiba-tiba muncul dari ambang pintu mengagetkan.
Naura benar-benar terkejut, karena kali ini Bimo memilih diam menunggunya. Tidak pergi dengan amarah seperti hari-hari sebelumnya.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan