Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Serba Salah
Pikiran Supar melayang ke insiden beberapa bulan lalu, ketika seorang pemuda dari desa sebelah memberanikan diri mendekati Airin meskipun sudah diperingatkan. Akibatnya, pemuda itu dihajar habis-habisan oleh anak buah Wongso, sampai tubuhnya terkapar dan harus dirawat di rumah sakit selama sebulan penuh.
Supar bergidik ngeri mengingat kejadian itu. la tahu betul tak ada yang berani melaporkan Wongso. Juragan itu terlalu kuat, terlalu licik. Dengan kekayaannya, ia mempekerjakan para tukang pukul setia yang siap melampiaskan kemarahan Wongso kapan saja, tanpa meninggalkan jejak yang bisa menjeratnya secara hukum.
Supar menghela napas panjang. Ia hanya bisa berharap hari ini tidak berakhir dengan kekerasan, meskipun dalam hati kecilnya, ia tahu Wongso pasti akan melakukan sesuatu untuk menunjukkan siapa yang berkuasa di desa itu.
Supar menatap jalanan yang ia lalui, merenung dalam diam. "Sebenarnya aku tidak senang menjadi mata-mata juragan Wongso, dan aku kasihan pada Airin," gumamnya dalam hati. "Tapi aku harus menafkahi anak dan istriku. Lagian, meskipun aku berhenti bekerja menjadi mata-mata juragan Wongso, dia pasti akan memperkerjakan orang lain. Jadi, apa bedanya?"
Supar merasakan perasaan berat dalam dadanya. Meskipun ia tahu bahwa apa yang dilakukannya tidak benar, ia merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Setiap hari, ia harus menahan diri untuk tidak terbawa oleh perasaan belas kasihnya terhadap Airin, karena ia sadar bahwa pilihan-pilihan yang ia buat selalu berkaitan dengan bertahan hidup, bukan dengan kebenaran atau keadilan.
Ia menatap jalanan yang berdebu, seakan mencari petunjuk atau jawaban, tetapi yang ada hanya suara deru mobil yang ia kendarai. Supar tahu ia hanya mengikuti arus kehidupan yang lebih besar, meskipun ia tak sepenuhnya setuju dengan cara-cara yang harus ditempuh.
***
Langit sudah gelap, diselimuti awan pekat yang menghalangi cahaya bintang dan bulan. Suara binatang malam mulai terdengar bersahut-sahutan, menciptakan irama sunyi yang khas. Jangkrik berbunyi tanpa henti, sesekali diselingi oleh suara burung hantu dari kejauhan.
Di sebuah rumah sederhana di pinggir desa, lampu temaram menerangi ruangan kecil. Angin malam membawa hawa dingin, menyusup melalui celah-celah pintu dan jendela kayu yang tertutup rapat.
Airin duduk di dekat Kaivan dengan sebuah mangkuk sup hangat di tangannya. Aroma harum rempah memenuhi ruangan. Ia menyesap sendok, memastikan suhunya pas sebelum menyodorkannya ke arah Kaivan. Entah bagaimana reaksi Kaivan jika ia tahu bahwa Airin lebih dulu menyesap sendok itu sebelum menyuapinya.
Bagi pria itu, kedekatan fisik dengan wanita asing selalu mengusik ketenangannya, terutama mengingat prasangka yang selama ini tertanam dalam pikirannya, bahwa banyak wanita hanya mengincar kemewahan, nama besar, dan kekuasaan keluarganya. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Airin memperlakukannya, meski ia tetap sulit menepis kecurigaan yang selama ini mengakar.
"Pelan-pelan, Kak. Supnya masih agak hangat," ucapnya lembut.
Kaivan mengangguk kecil, membuka mulutnya. Ia makan dengan tenang, meski sedikit canggung karena bergantung sepenuhnya pada Airin.
"Rasanya... enak," komentar Kaivan setelah beberapa sendok.
Airin tersenyum tipis. "Hanya sup sederhana. Tapi syukurlah kalau kamu suka."
Setelah beberapa suapan, Airin mengambil gelas kecil di meja dan beberapa pil yang sudah ia siapkan sebelumnya. "Sekarang minum obatnya dulu, ya. Ini yang diminum setelah makan."
Kaivan meraba-raba sedikit, tapi Airin cepat-cepat memegang tangannya, meletakkan pil di telapak tangan Kaivan. Sentuhan lembut itu membuat Kaivan diam sejenak, namun ia tak berkata apa-apa dan langsung menelan pil itu.
"Ini... airnya," lanjut Airin, sedikit tergagap, membantu menyodorkan gelas ke bibir Kaivan.
Kaivan minum air itu dengan perlahan. Setelahnya, ia bersandar lelah di kursi, merasa tubuhnya mulai sedikit lebih ringan. "Terima kasih, Airin. Kau... sangat sabar."
Airin menggeleng kecil, meski Kaivan tak bisa melihatnya. "Nggak apa-apa, Kak. Anggap saja ini... tugas kecilku."
Kaivan menghela napas, ada kehangatan kecil di hatinya meski ia tetap menjaga sikap dinginnya. "Tapi tidak semua orang mau bersikap sebaik ini pada orang asing, apalagi yang tidak tahu apa-apa tentangku."
Airin terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Mungkin kamu merasa asing di sini, tapi di rumah ini... kamu tidak akan sendirian."
Kaivan mengangguk sedikit, tapi tetap tidak berkata banyak. "Aku akan pergi begitu aku bisa," ujarnya dengan suara yang lebih rendah. Meski ia tampak acuh, Airin tahu bahwa Kaivan tidak benar-benar ingin tinggal lama.
Airin berusaha meredakan ketegangan di antara mereka. “Tidak perlu terburu-buru. Kamu tidak akan bisa pergi dengan kondisi seperti ini. Beristirahatlah dulu sampai pulih.”
Kaivan tidak menjawab, hanya duduk dalam diam. Ia merasa sedikit canggung dengan bantuan yang ia terima, tetapi ada sesuatu yang menghalanginya untuk menolak lebih jauh.
Suara ketukan keras di pintu memecah keheningan di dalam rumah. Airin dan Kaivan sama-sama menoleh ke arah pintu, keduanya tampak terkejut. Dari arah dapur, Nenek Asih muncul sambil mengelap tangannya dengan kain lap, ikut melirik ke sumber suara.
"Siapa yang datang malam-malam begini?" gumam Nenek Asih dengan nada heran, raut wajahnya mulai cemas.
Airin bangkit dari duduknya, jantungnya sedikit berdebar. "Biar aku lihat, Nek," jawabnya, berusaha terdengar tenang.
Nenek Asih mengangguk perlahan, meski tatapannya masih lekat pada pintu. "Hati-hati, Rin," pesannya.
Airin mengangguk, sementara suara ketukan kembali terdengar, lebih keras dari sebelumnya. Dengan langkah pelan namun tegas, Airin berjalan ke pintu. Jantungnya berdebar tak karuan, entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang tak beres. Di luar, bayangan samar seseorang terlihat berdiri di bawah cahaya remang lampu teras.
Sebelum membuka, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dengan hati-hati, Airin mengangkat tangannya untuk meraih gagang pintu, tidak menyadari bahwa malam itu akan membawa perubahan besar dalam hidupnya.
Saat tangannya menyentuh gagang pintu, ia berbisik pelan ke Kaivan. "Kak Ivan, tetap di tempatmu. Jangan bersuara dulu, ya."
Kaivan hanya mengangguk, meskipun ketegangan di wajahnya tak bisa ia sembunyikan.
Airin membuka pintu perlahan, pintu kayu itu berderit halus. Di depannya, berdiri seorang pria kurus dengan ekspresi tegang, matanya melirik tajam ke arah dalam rumah. "Airin," sapa pria itu dengan nada mendesak. "Kenapa pria buta itu masih di rumahmu?"
Airin menelan ludah, tubuhnya menegang. Perasaan tak nyaman semakin menguat, tapi ia berusaha tetap tenang. "Ada apa, Pak Supar? Memangnya kenapa?"
Pria itu tidak menjawab langsung, hanya mendekatkan wajahnya, suaranya lebih pelan namun penuh tekanan. "Juragan tidak suka ada pria di rumahmu."
Nenek Asih berdiri cemas di sudut ruangan, mengintip dengan gelisah ke arah pintu. Suara Supar terdengar samar namun cukup jelas, sementara Kaivan tampak duduk tenang, meski jelas ia sedang menajamkan pendengarannya.
Airin berdiri tegar di ambang pintu, menatap Supar dengan tatapan tidak senang. "Apa urusan juragan dengan orang yang ada di rumahku? Aku sudah melapor pada Pak RT," ucapnya dingin, menandakan ketidaksukaannya akan campur tangan Wongso.
Supar menggaruk belakang kepalanya, tampak serba salah. "Dengar, Airin... Aku hanya menyampaikan pesan juragan. Sebaiknya kau keluarkan pria buta itu sebelum juragan Wongso bertindak," katanya pelan. Ia melirik ke dalam rumah, memastikan tidak ada orang lain yang mendengarnya.
Ada nada ragu dalam suaranya saat ia menambahkan, "Jujur, aku kasihan pada pria-pria yang berurusan denganmu, Rin. Sebagian besar dari mereka... ah, kau tahu sendiri, mereka dihajar juragan sampai babak belur. Aku selalu mencoba memperingatkan mereka untuk menjauh darimu, tapi... banyak yang keras kepala. Dan kau tahu bagaimana akhirnya bukan?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso