Arya Perkasa seorang teknisi senior berusia 50 tahun, kembali ke masa lalu oleh sebuah blackhole misterius. Namun masa lalu yang di nanti berbeda dari masa lalu yang dia ingat. keluarga nya menjadi sangat kaya dan tidak lagi miskin seperti kehidupan sebelum nya, meskipun demikian karena trauma kemiskinan di masa lalu Arya lebih bertekad untuk membuat keluarga menjadi keluarga terkaya di dunia seperti keluarga Rockefeller dan Rothschild.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chuis Al-katiri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Kembali Menjadi Anak-anak
Bab 22: Kembali Menjadi Anak-anak
Sabtu pagi, 18 Februari 1984, suasana sekolah Arya tidak seperti biasanya. Biasanya penuh canda tawa dan semangat khas anak-anak kelas 5 SD, tetapi pagi itu, teman-teman Arya terlihat lesu dan murung. Arya menyadari ini adalah dampak dari persidangan yang mereka jalani kemarin. Meskipun DreamWorks memenangkan gugatan, pengalaman menghadapi pengadilan ternyata memberikan tekanan besar bagi sahabat-sahabatnya.
Di sela jam istirahat, Arya mendekati Mitha yang duduk diam di sudut kelas sambil menggambar di buku catatannya. Di sisi lain, Abdi hanya memainkan pulpen di mejanya tanpa suara, sementara Saka yang biasanya penuh ide dan canda, tampak termenung memandang ke luar jendela.
Arya menarik napas panjang. Sebagai pemimpin di antara mereka, ia merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Ia tahu mereka masih anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecil dengan bermain dan belajar, bukan menghadapi tekanan dunia orang dewasa.
“Aku minta maaf,” kata Arya akhirnya, memecah keheningan.
Mitha menoleh. “Untuk apa? Ini bukan salah kamu, Arya.”
“Tapi semua ini terjadi karena aku mengajak kalian ke dunia ini. Aku tahu kalian merasa takut dan lelah,” Arya menjawab lirih.
Abdi menunduk. “Kami tidak menyalahkanmu, Arya. Hanya saja, kemarin itu menakutkan. Aku nggak pernah berpikir kita harus menghadapi orang yang ingin mengambil kerja keras kita.”
Saka menambahkan, “Aku jadi sadar dunia ini nggak seindah yang aku kira.”
Arya terdiam. Ia tahu, persidangan kemarin bukan hanya membuka mata mereka tentang kekejaman dunia, tetapi juga merampas sepotong kepolosan masa kecil mereka.
***
Sepulang sekolah, Arya berbicara dengan Sulastri. Ia merasa perlu melakukan sesuatu untuk mengembalikan semangat teman-temannya.
“Ibu, aku ingin mengundang teman-teman dan keluarga mereka untuk piknik minggu depan. Aku pikir, kita semua butuh waktu untuk bersantai,” ujar Arya.
Sulastri tersenyum mendengar inisiatif putranya. “Itu ide yang bagus, Arya. Ibu akan membantu mengatur semuanya. Kita bisa mengadakan piknik di desa transmigrasi milik keluarga kita. Pemandangannya indah, dan suasananya akan membuat mereka rileks.”
Dengan dukungan penuh dari Sulastri dan Brata, Arya mulai merencanakan acara piknik tersebut. Ia meminta bantuan Mitha untuk mendesain undangan sederhana yang dibagikan ke teman-teman mereka di sekolah.
***
Minggu pagi, bus keluarga Arya tiba di depan rumah masing-masing sahabatnya untuk menjemput mereka bersama orang tua mereka. Keluarga Abdi yang sederhana tampak terkejut sekaligus senang dengan undangan ini. Ayah dan ibu Abdi, yang biasanya sibuk di ladang, mengenakan pakaian terbaik mereka untuk acara tersebut.
Saka dan orang tuanya juga sudah siap. Ayah Saka, seorang kepala dinas pendidikan di Kabupaten Musi Banyuasin, terlihat bangga karena putranya diundang sebagai salah satu tamu kehormatan. Sementara itu, keluarga Mitha yang tinggal bertetangga dengan Arya, berangkat bersama-sama dari rumah.
Setibanya di desa transmigrasi, suasana yang hangat menyambut mereka. Hamparan sawah yang hijau, bukit kecil di kejauhan, dan udara segar memberikan rasa tenang yang jarang mereka rasakan di kota.
***
Acara piknik dimulai dengan makan bersama di bawah pohon besar yang rindang. Sulastri dengan hangat menyambut keluarga sahabat-sahabat Arya. Ia berbicara dengan lembut, menjelaskan apa saja yang telah dikerjakan anak-anak mereka selama ini.
“Anak-anak ini benar-benar luar biasa. Mereka menciptakan game elektronik sederhana dari barang-barang bekas, menjualnya, dan bahkan berhasil mendirikan perusahaan kecil bernama DreamWorks,” kata Sulastri dengan senyum bangga.
Ia kemudian memuji kreativitas dan kerja keras masing-masing anak. “Abdi memiliki jiwa pekerja keras yang membantu tim menciptakan sesuatu yang berfungsi. Saka adalah jenius di bidang elektronik. Dan Mitha, dengan kreativitas seninya, membuat produk mereka lebih menarik.”
Orang tua sahabat-sahabat Arya tersenyum penuh kebanggaan. Ayah dan ibu Abdi merasa haru mendengar anak mereka dipuji. Sebagai petani, mereka tidak pernah menyangka Abdi bisa membantu keluarga di usia muda.
“Abdi, bapak bangga sama kamu,” kata ayahnya, menepuk pundak anaknya. Abdi tersenyum kecil, merasa lega mendapat dukungan dari keluarganya.
Ayah Saka juga tersenyum. “Kamu berbakat, Saka. Jangan pernah ragu untuk mengejar mimpi kamu.”
Sementara itu, orang tua Mitha merasa tenang karena mengetahui putri mereka memiliki sahabat-sahabat yang saling mendukung. “Kami senang Mitha punya teman seperti kalian,” kata ibu Mitha sambil memeluk putrinya.
***
Setelah makan siang, Arya berdiri di depan semua keluarga yang berkumpul. Dengan percaya diri, ia mengumumkan sesuatu yang tidak mereka duga.
“Bulan pertama perusahaan kami cukup sukses. Kami berhasil mendapatkan keuntungan kecil, dan hari ini saya ingin membagikan dividen untuk kita semua,” kata Arya.
Ia menyerahkan amplop kecil kepada masing-masing sahabatnya. Orang tua mereka terkejut, tetapi senang melihat bahwa hasil kerja keras anak-anak mereka benar-benar nyata.
“Ini bukan hanya tentang uang,” kata Arya. “Ini adalah bukti bahwa kerja keras kita dihargai.”
Abdi melihat amplop itu dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Arya.”
Mitha memeluk amplopnya dengan senyum lebar, sementara Saka hanya mengangguk penuh rasa terima kasih.
***
Setelah sesi serius itu, acara berlanjut dengan permainan dan canda tawa. Anak-anak bermain di sekitar bukit, sementara orang tua mereka berbincang dengan santai.
Arya memutuskan untuk bermain sepak bola kecil bersama sahabat-sahabatnya. Di tengah permainan, mereka mulai tertawa lagi, melupakan beban yang mereka rasakan selama persidangan.
“Lihat, Arya ketinggalan bola!” teriak Mitha sambil tertawa.
Arya mengejar bola sambil tersenyum lebar. Ia senang melihat sahabat-sahabatnya kembali ceria.
Di sisi lain, orang tua mereka saling berbincang, menjalin hubungan yang lebih erat. Mereka sepakat untuk terus mendukung anak-anak mereka, tetapi juga mengingatkan mereka untuk tetap bermain dan menikmati masa kecil mereka.
“Kita harus memastikan mereka tidak terlalu terbebani,” kata ayah Saka.
“Iya, mereka masih anak-anak,” jawab ayah Abdi.
***
Sore harinya, sebelum pulang, Arya mengumpulkan sahabat-sahabatnya. Ia tahu mereka telah melalui banyak hal dalam beberapa minggu terakhir.
“Aku memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan di DreamWorks selama satu minggu ke depan,” kata Arya. “Kita semua butuh waktu untuk bermain dan belajar seperti anak-anak lainnya.”
Abdi tersenyum lega. “Terima kasih, Arya. Aku rasa itu ide yang bagus.”
Saka mengangguk setuju. “Aku juga butuh waktu untuk memperbaiki mainan di rumah.”
Mitha menambahkan, “Dan aku ingin menggambar sesuatu yang baru.”
***
Saat bus kembali membawa mereka ke rumah masing-masing, suasana terasa lebih ringan. Tidak ada lagi wajah murung atau beban berat yang terlihat di wajah mereka. Arya merasa puas karena berhasil mengembalikan semangat sahabat-sahabatnya.
Hari itu, Arya belajar sesuatu yang penting. Meskipun dunia bisa kejam, kebersamaan dan dukungan keluarga serta sahabat bisa membuat semuanya lebih baik. Dan meskipun mereka adalah bagian dari DreamWorks, mereka tetaplah anak-anak yang pantas menikmati masa kecil mereka.
kopi mana kopi....lanjuuuuttt kaaan Thor.....hahahahhaa