Hanzel Faihan Awal tak menyangka jika pesona janda cantik penjual kue keliling membuat dia jatuh hati, dia bahkan rela berpura-pura menjadi pria miskin agar bisa menikahi wanita itu.
"Menikahlah denganku, Mbak. Aku jamin akan berusaha untuk membahagiakan kamu," ujar Han.
"Memangnya kamu mampu membiayai aku dan juga anakku? Kamu hanya seorang pengantar kue loh!" ujar Sahira.
"Insya Allah mampu, kan' ada Allah yang ngasih rezeky."
Akankah Han diterima oleh Sahira?
Yuk pantengin kisahnya, jangan lupa kasih bintang lima sama koment yang membangun kalau suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BTMJ2 Bab 8
"Alhamdulillah, dagangan Ibu sudah habis. Ayo pulang, Nak. Udah mau maghrib," ujar Sahira.
Wanita itu terlihat begitu senang sekali, karena kue yang dia kelilingkan sudah habis tak tersisa. Dua hari ini mendapatkan untung yang lumayan, jarang-jarang dia seperti ini.
"Alhamdulillah, karena dagangannya udah habis semua, Cia boleh minta emam nasi padang gak, Bu?"
"Boleh, Sayang. Sesekali boleh, mau pake lauk apa?"
"Mau pake rendang aja cukup, takutnya nanti duitnya abis."
"Iya, Sayang."
Akhirnya Sahira membeli 2 bungkus nasi padang saat perjalanan pulang, keduanya melangkahkan kaki mereka dengan senyum yang mengembang di bibir.
Namun, saat tiba di depan kamar kontrakannya, senyum di bibir Sahira menghilang. Dia melihat ada Dion yang sedang berdiri di depan kamar kontrakannya, pria itu terlihat sangat tampan tapi menyebalkan untuk Sahira.
"Sa, udah pulang?" tanya Dion yang langsung menghampiri Sahira dan juga Cia.
Dion bahkan terlihat hendak mengusap pipi Cia, tetapi dengan cepat Sahira menarik putrinya agar bisa menjauh dari pria itu.
"Sayang, Ibu mau bicara dulu sama Om-nya. Kamu masuk ke dalam dulu, ya." Sahira mengusap lembut puncak kepala putrinya, lalu dia memberikan keranjang kue miliknya yang sudah terisi 2 bungkus nasi padang.
"Siap, Bu."
"Ini kuncinya, Sayang."
"Ya," jawab Cia yang langsung mengambil kunci kamar kontrakan dari tangan Sahira.
Setelah memastikan putrinya masuk ke dalam kamar kontrakan mereka, barulah Sahira berbicara kepada Dion.
"Apa maksud tujuan anda datang ke sini?"
"Sa, aku minta maaf atas kejadian yang dulu. Aku sudah menuduh hal yang tidak tidak kepada kamu, aku tahu kalau Alicia adalah anak kita. Kembalilah padaku, kita pasti akan hidup bahagia."
Dion tidak mungkin langsung meminta anak itu untuk hidup bersama dirinya dan juga istrinya, dia yakin kalau Sahira tidak akan memberikannya. Terlebih lagi, dulu dia tidak mengakui kehamilan Sahira karena perbuatannya.
"Bahagia?" tanya Sahira dengan senyum mengejek di bibirnya.
"Ya, jika kita hidup bersama pasti akan bahagia."
"Lalu, bagaimana dengan istri kaya kamu itu? Apakah kamu akan menceraikannya?"
"Nggak dong, Sa. Biarkan dia juga tetap menjadi istri aku, agar hidup kita bisa bahagia dengan gelimangan harta."
"Maaf, tapi saya bukan wanita yang gila harta. Lagi pula hubungan kita sudah berakhir semenjak malam itu, malam di mana kamu menceraikan aku dan mengatakan kalau aku adalah seorang wanita ja lang."
"Sa, maaf. Setidaknya izinkan aku untuk dekat dengan anak kita," ujar Dion sambil melangkahkan kakinya untuk menggenggam tangan Sahira. Namun, wanita itu dengan cepat menghindar.
"Maaf, tapi Cia hanyalah anak aku. Aku yang mengandungnya, aku yang melahirkannya, aku yang menyusui dan aku yang mencari uang untuk membiayai hidupnya. Jadi, mohon anda jangan datang lagi untuk mengganggu kehidupan kami."
Awalnya Dion ingin berpura-pura menjadi orang yang baik dan mendekatkan diri kepada Sahira, tetapi melihat Sahira yang sepertinya tidak bisa ditipu, Dion menjadi murka juga.
"Cih! Wanita miskin belagu, mau diberi kebahagiaan saja tidak mau. Lihat saja, Sahira. Aku pasti akan mengambil anak itu dari kamu," ujar Dion.
"Mohon maaf, Bapak Dion yang terhormat. Cia adalah putri kesayangan saya, anda tidak berhak mengambil dia begitu saja."
"Aku bapaknya, lagi pula aku ada uang yang banyak. Aku pasti akan dengan mudah mengambil anak itu, lihat saja Sahira!"
"Tidak akan bisa, karena walau bagaimanapun juga saya ibunya. Cia pasti akan tetap bersama dengan saya," ujar Sahira dengan hatinya yang mulai khawatir karena memang dia tidak punya kuasa dan tidak punya apa-apa.
"Cih! Terlalu percaya diri, lihat saja. Aku pasti akan mengambil anak itu dalam waktu 2 minggu," ujar Dion.
Setelah mengatakan hal itu, Dion langsung pergi begitu saja dari sana. Sedangkan Sahira nampak menangis karena begitu takut kalau pria itu benar-benar akan mengambil putrinya.
"Ya Tuhan, tolong lindungi aku dan juga Cia. Aku tidak ingin dijajah oleh pria seperti itu lagi, Aku tidak ingin pria itu mengambil putriku. Tolong jangan pisahkan aku dengan Cia, Tuhan."
Sahira menangis karena begitu sedih, dia merasa tidak berdaya dengan keadaannya yang seperti ini. Wanita itu sampai menangis sambil bersimpuh di atas tanah, dia sungguh takut kehilangan putrinya.
Tanpa Sahira tahu, Hanzel sejak tadi melihat apa yang sedang terjadi. Hanzel datang tepat di saat Sahira datang, dia ingin mengunjungi wanita itu dan juga Cia. Dia membawakan makanan untuk kedua wanita cantik berbeda usia itu.
"Mbak, jangan nangis." Hanzel memberikan sapu tangan miliknya kepada Sahira.
Sahira mendongakkan kepalanya, dia sedikit kaget karena ternyata yang memberikan sapu tangan kepada dirinya adalah Hanzel.
"Terima kasih," ujar Sahira sambil mengusap air matanya.
"Mbak, aku mau ngomong serius sama Mbak. Bisa?"
"Ngomong aja," ujar Sahira.
Hanzel duduk dapat di samping wanita itu, pria itu lalu memberikan makanan yang sudah dia bawa kepada Sahira.
"Ada apa sih? Kenapa kamu melihat aku dengan begitu serius?"
"Menikahlah denganku, Mbak. Aku jamin akan berusaha untuk membahagiakan kamu," ujar Han.
Sahira mengernyitkan dahinya dengan dalam, dia merasa tidak percaya kalau Hanzel saat ini sedang mengajak dirinya untuk berumah tangga. Hanzel terpaut usia yang begitu jauh dari dirinya, Sahira saat ini sudah berusia tiga puluh tahun.
"Memangnya kamu mampu membiayai aku dan juga anakku? Kamu hanya seorang pengantar kue loh!" ujar Sahira.
Sahira sengaja mengatakan hal itu, bukan ingin merendahkan pria itu, tetapi dia takut kalau pria itu akan menyesal karena sudah menikah dengan dirinya.
"Insya Allah mampu, kan' ada Allah yang ngasih rezeky."
"Tapi, aku ini hanya orang miskin. Seorang janda, punya anak satu lagi. Nanti jadi beban loh buat kamu," ujar Sahira lagi.
"Tak apa, Insya Allah aku akan berusaha untuk mencari uang yang banyak agar Cia dan Mbak bahagia sama aku."
"Han, masalahnya tidak sesederhana itu. Aku memiliki masa lalu yang buruk, mantan suamiku saja datang dan berkata akan merebut putriku. Memangnya kamu sanggup menghadapi pria itu?"
"Insya Allah sanggup," jawab Hanzel.
Sahira merasa kalau Hanzel itu memang benar-benar masih anak-anak, karena berkata sanggup untuk menghadapi seorang Dion yang merupakan pengusaha besar.
"Tapi, sepertinya masalahnya akan lebih rumit lagi. Karena ayahku tidak akan mau menikahkan aku dengan pria manapun," ujar Sahira.
Dia tidak akur dengan kedua orang tuanya, wanita itu sudah dibuang dan pastinya kalau dia ingin menikah akan susah. Karena tidak ada ayah yang akan menikahkan dirinya.
"Bisa, Mbak. Nanti aku akan minta restu langsung kepada kedua orang tua Mbak, yang penting Mbak nerima lamaran aku dulu. Aku akan mengurus semuanya," ujar Hanzel.
"Han! Kamu itu bisa berpikir dengan jernih nggak sih? Dion itu bukan tandingan kamu, kedua orang tua aku juga pasti tidak akan mau bertemu denganku, apalagi untuk menikahkanku dengan kamu."
"Santai, Mbak. Jangan ngotot kaya gitu, aku sudah bilang akan mengurus semuanya. Sekarang aku tanya dulu, Mbak mau gak nikah sama aku?"
Sahira menghela napas berat, wanita itu tidak mengetahui kalau Hanzel adalah keturunan dari Pramudya. Dia berpikir kalau pria itu pasti tidak akan mampu menikahi dirinya.
"Kalau kamu bisa membiarkan Cia tetap hidup dengan aku, kalau kamu bisa mendapatkan restu dari kedua orang tuaku, aku akan menikah dengan kamu."
"Oke! Deal ya?" ujar Hanzel sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Deal!" ujar Sahira sambil membalas uluran tangan pria itu.