NovelToon NovelToon
The Monster: Resilience

The Monster: Resilience

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:984
Nilai: 5
Nama Author: Gerhana_

Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.

Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.

Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?

Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 18: Serayu

Pagi yang cerah memulai hari baru bagi kelompok Wira. Setelah bermalam di tempat Pak Andri, mereka kini kembali bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Mobil yang penuh dengan perbekalan dan semangat baru mulai meninggalkan rest area yang sudah memberikan mereka sedikit perlindungan semalam.

Wira berdiri di luar mobil, menatap Pak Andri yang memegang rokok di tangan. “Kami akan pergi sekarang, Paman,” katanya sambil mengangguk.

Pak Andri mengangguk kecil. “Hati-hati di jalan, anak muda. Monster dan manusia... dua-duanya sama-sama berbahaya.”

Wira tidak menjawab, hanya menatap Pak Andri sejenak sebelum berbalik menuju mobil. Nora yang berdiri tidak jauh darinya tersenyum tipis pada Pak Andri. “Terima kasih untuk segalanya, Pak. Jaga dirimu juga.”

Pak Andri hanya tersenyum samar. “Kalian juga.”

Teman-teman Wira, termasuk Flora, Rizki, dan Meyrin, berpamitan dengan ramah sebelum akhirnya semua naik ke mobil. Mesin menyala, dan perjalanan pun dimulai lagi.

Pagi telah tiba. Setelah semalam bermalam di rest area bersama Pak Andri, kini Wira dan timnya bersiap untuk melanjutkan perjalanan mereka. Udara pagi terasa sejuk, namun ada ketegangan yang tersisa dari pembicaraan semalam.

Wira berdiri di samping mobil, memeriksa kondisi kendaraan sekali lagi sebelum berangkat. Ia menatap Pak Andri yang berdiri tak jauh darinya. “Kami akan pergi sekarang,” kata Wira singkat.

Pak Andri mengangguk pelan, matanya menatap mereka dengan serius. “Hati-hati di jalan, anak muda. Ingat, bahaya tidak hanya datang dari monster... tapi juga dari manusia.”

Wira hanya diam, membalas tatapan itu dengan anggukan kecil. Ia mengerti maksud Pak Andri tanpa perlu penjelasan lebih lanjut.

Nora, yang berdiri di dekat pintu mobil, tersenyum tipis pada Pak Andri. “Ah, kau juga, Pak. Jaga dirimu baik-baik, ya.”

Pak Andri balas tersenyum. “Kalian juga. Semoga perjalanan kalian lancar.”

Satu per satu anggota tim berpamitan, lalu mereka semua masuk ke mobil. Mesin dinyalakan, dan perjalanan pun dimulai.

Di dalam mobil, suasana awalnya sunyi. Meyrin duduk di pangkuan Flora, memandangi pemandangan luar dengan rasa ingin tahu yang besar. Sementara itu, Wira duduk di kursi depan bersama Bima, yang fokus mengemudi.

Setelah beberapa menit, Wira membuka percakapan. “Rizki, kau bisa membuat bom kriogenik lagi di sini?” tanyanya sambil melirik ke belakang.

Rizki, yang sedang memeriksa alat-alat di tasnya, menggelengkan kepala. “Itu tidak mungkin. Semua alat-alatnya ada di markas, dan kita tidak bisa membawanya. Peralatannya terlalu berat.”

Bima, yang mendengar itu, berkata sambil tetap fokus pada jalan. “Kalau begitu, kita harus bijak menggunakannya. Bomnya tinggal dua.”

Wira mengangguk kecil, lalu bertanya lagi, “Berapa radius maksimumnya?”

Rizki menjawab cepat, “Sekitar lima meter. Tapi akan jauh lebih efektif jika digunakan di dalam ruangan.”

Nora, yang duduk di belakang, angkat bicara dengan nada tenang. “Mungkin untuk sekarang, kita harus lebih fokus menghindari Ruo daripada melawannya.”

Flora, yang duduk di samping Nora, tersenyum melihat sikap Nora yang kini lebih tenang. Ia berkata sambil bercanda, “Ah, Nora. Sepertinya kau sudah lebih tenang sekarang.”

Nora hanya tersenyum tipis tanpa menjawab.

Wira kemudian bertanya kepada Rizki, “Sebentar lagi kita akan tiba di Kota Serayu, kan?”

Rizki mengangguk. “Ya, itu benar. Kalau jalannya lancar, kita akan sampai dalam beberapa jam.”

Perjalanan berlanjut dalam keheningan selama beberapa saat. Mereka melewati Kota Banyan yang kini sudah berubah menjadi kota mati. Bangunan-bangunan hancur, jalan-jalan kosong, dan tak ada tanda-tanda kehidupan.

Flora memandangi pemandangan itu dari jendela, lalu bergumam. “Benar-benar seperti kiamat. Orang-orang sudah sulit terlihat di mana-mana.”

Bima menjawab dengan nada berat. “Ya, itu semua karena Ruo. Mereka menghancurkan segalanya.”

Setelah beberapa saat, Flora bertanya dengan nada penasaran. “Sebenarnya, kenapa mereka mengambil indera manusia? Apa yang sebenarnya mereka inginkan?”

Pertanyaan itu membuat semua orang terdiam. Suasana di dalam mobil menjadi semakin sunyi.

Akhirnya, Nora angkat bicara. “Asal mereka juga kita tidak tahu. Kita hanya... diberi peringatan oleh Gougorr di awal serangan mereka.”

Flora menatap Nora dengan kaget. “Jadi, kau juga mendengarnya, Nora?”

Nora mengangguk. “Iya. Itu seperti suara yang masuk langsung ke kepala.”

Wira yang duduk di depan memutar tubuhnya sedikit untuk melihat Nora. Ia tampak terkejut. “Kau juga mendengarnya?”

Flora menyadari sesuatu dan menatap Wira. “Jadi, kau juga mendengar suara itu, Wira?”

Wira mengangguk perlahan. Ia teringat kembali saat-saat pertama serangan terjadi, ketika Gougorr memberikan ancamannya. “Ya. Itu seperti suara yang tidak nyata... tapi terasa jelas di dalam kepala kita.”

Rizki, yang duduk di kursi belakang, menambahkan, “Jika mereka bisa melakukan itu, apakah mungkin ada teknologi atau semacam telepati di baliknya?”

Flora mengernyitkan dahi. “Mungkin telepati? Mereka seperti saling terhubung tanpa berbicara.”

Wira berpikir sejenak, lalu berkata, “Awalnya, telepati terdengar tidak rasional di benakku. Tapi ini masuk akal saat Gougorr mengancam kita pertama kali. Mereka memang makhluk yang merepotkan.”

Di tengah percakapan serius itu, Meyrin, yang sedari tadi hanya diam, akhirnya membuka suara. Suaranya pelan, penuh rasa khawatir. “Apakah kita akan selamat, Kak Flora?”

Flora menoleh dan tersenyum lembut. Ia memeluk Meyrin dengan sayang, lalu berkata, “Tentu saja, Meyrin. Kami semua ada di sini untuk melindungimu. Jangan khawatir, ya.”

Wira menoleh ke belakang, tersenyum kecil, dan menambahkan dengan nada percaya diri, “Jangan cemas, Nona Kecil. Kami semua kuat. Aku tidak akan membiarkan makhluk-makhluk jelek itu menyentuhmu.”

Mendengar kata-kata itu, Meyrin tampak lebih tenang. Senyum kecil muncul di wajahnya.

obil Wira dan timnya kini memasuki Kota Serayu, sebuah kota yang tampak suram dan sunyi. Bangunan-bangunan di sekitarnya sudah hancur, beberapa bahkan hampir rata dengan tanah. Di tengah kota, mengalir Sungai Serayu, sungai besar yang memotong kota ini menjadi dua bagian.

Rizki membuka peta di tangannya dan mulai berbicara. “Untuk melewati kota ini, kita harus menyeberangi sebuah jembatan. Semoga saja jembatannya tidak terputus.”

Flora, yang duduk di sebelahnya, menghela napas. “Ya, semoga saja... Tapi bagaimana kalau ternyata terputus?”

Wira, yang duduk di kursi depan bersama Bima, menjawab santai, “Kalau begitu kita cari jembatan lain.”

Rizki melirik Wira, tampak skeptis. “Ah... aku rasa tidak semudah itu, Wira. Sepertinya kota ini hanya memiliki satu jembatan penghubung. Kalau jembatan itu putus, kita mungkin harus menggunakan kapal untuk menyeberang.”

Flora tampak cemas. “Itu artinya kita harus melanjutkan perjalanan tanpa mobil?”

Wira tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Tenang saja... Di seberang, kita bisa jarah mobil lagi kalau perlu. Hahaha.”

Mendengar itu, Nora, yang duduk di belakang, langsung memandang Wira dengan ekspresi serius. “Wira...”

Melihat tatapan Nora, Wira cepat-cepat melambaikan tangan. “Aku cuma bercanda, Nora. Jangan terlalu serius.”

Mobil terus melaju perlahan, menyusuri jalanan yang rusak. Suasana semakin mencekam dengan keheningan yang hanya diiringi oleh deru mesin. Semuanya tetap waspada, mengawasi setiap sudut jalanan.

Tiba-tiba, dari kejauhan, seorang pria tampak berdiri di tengah jalan. Dia melambaikan tangannya, mencoba menghentikan mobil mereka.

“Berhenti! Berhenti!” teriak pria itu dengan wajah panik.

Bima memperlambat laju mobil dan berhenti beberapa meter dari pria tersebut. Wira menatap pria itu dengan penuh kecurigaan. “Ini tidak terlihat baik,” gumamnya.

Pria itu mendekati jendela sopir dengan langkah gugup. Wajahnya terlihat lelah, dan matanya menunjukkan kepanikan. “Kalian... Bisakah kalian menolong saya?”

Wira langsung memotong. “Maaf, Pak. Kami se-”

Sebelum Wira selesai berbicara, Nora menyela dengan suara penuh empati. “Ya, Pak. Ada apa?”

Wira langsung menepuk kepalanya dengan frustasi.

Pria itu berbicara cepat, suaranya terdengar gemetar. “Anak saya... Dia sakit. Dia demam tinggi. Tolong, adakah di antara kalian yang bisa menolongnya?”

Bima, tanpa berpikir panjang, berkata, “Naiklah, Pak. Tunjukkan jalannya!”

Wira langsung memutar tubuhnya dan berbisik tajam kepada Bima. “Hei, ini jebakan. Kita sebaiknya pergi saja!”

Bima menatap Wira dengan tenang dan berbisik balik. “Jika ini jebakan, aku akan bertanggung jawab.”

Wira mendesah panjang, mengusap wajahnya dengan tangan. “Sialan... Ya sudah!”

Pria itu langsung naik ke dalam mobil, duduk di kursi belakang bersama Nora dan Flora. Ia terus memberikan arah, dan tim Wira pun mengikuti instruksinya.

Mereka tiba di sebuah rumah kecil yang tampak kumuh, di pinggiran kota. Rumah itu dikelilingi reruntuhan, tetapi masih berdiri tegak. Pria itu menunjuk ke arah pintu depan. “Anakku ada di dalam. Tolong cepat!”

Bima dan Nora turun dari mobil terlebih dahulu, sementara Wira menatap rumah itu dengan mata menyipit. Dia mencengkeram lengan Rizki. “Rizki, jaga mobil ini. Kalau ada yang aneh, jangan tunggu aku. Pergi saja.”

Rizki mengangguk pelan, mengerti situasinya.

Wira lalu keluar dari mobil, mengikuti Bima dan Nora yang sudah berjalan menuju pintu rumah. Flora dan Meyrin tetap tinggal di dalam mobil, Meyrin tampak memegang tangan Flora dengan erat.

Ketika mereka masuk, rumah itu gelap dan berbau apek. Pria itu langsung mengarahkan mereka ke sebuah kamar di ujung lorong. “Dia ada di sana! Cepat!”

Nora berjalan lebih dulu, mengabaikan rasa takutnya. Ia mendorong pintu kamar dan melihat seorang anak kecil terbaring di atas kasur lusuh. Wajahnya pucat, napasnya terengah-engah, dan tubuhnya tampak panas.

“Oh, Tuhan...” gumam Nora. Ia langsung berlutut di samping anak itu, memeriksa denyut nadinya. “Dia demam tinggi. Kita butuh air dingin dan kain bersih!”

Pria itu mengangguk cepat. “Air ada di dapur. Saya akan ambilkan kainnya!”

Pria itu berlari keluar, meninggalkan mereka bertiga di dalam kamar. Wira berdiri di ambang pintu, memperhatikan dengan penuh kewaspadaan. “Bima,” panggilnya pelan.

Bima mendekat, berdiri di samping Wira. “Apa?”

“Awasi pria itu. Kalau ini jebakan, aku ingin kita siap.”

Bima mengangguk, mengencangkan cengkeraman pada pistolnya. Sementara itu, Nora terus memeriksa kondisi anak kecil itu, mencoba menurunkan demamnya semampu mungkin.

Di mobil, Rizki memandangi sekeliling dengan gelisah. Ia menyadari betapa sunyi tempat itu. Terlalu sunyi.

“Flora,” panggilnya.

Flora menoleh. “Ada apa?”

“Apakah menurutmu ini... aman?”

Flora menggeleng pelan, menatap pintu rumah dari kejauhan. “Aku juga tidak tahu. Tapi, kita harus percaya pada mereka.”

Meyrin memegang tangan Flora lebih erat, matanya tampak cemas. “Kak Flora, apa kita akan baik-baik saja?”

Flora tersenyum lembut, meski hatinya juga dipenuhi keraguan. “Tentu saja, Meyrin. Kita akan baik-baik saja.”

Kembali ke dalam rumah pria itu kembali dengan kain dan air dingin, menyerahkannya kepada Nora. Ia tampak lebih tenang sekarang, tetapi Wira tetap memandangnya dengan penuh kecurigaan.

“Terima kasih,” kata Nora sambil mengambil kain itu. Ia mulai mengompres dahi anak kecil tersebut.

Pria itu menunduk, tampak penuh rasa syukur. “Kalian... Kalian benar-benar baik. Terima kasih telah membantu kami.”

Namun, Wira tetap tidak lengah. Di dunia yang penuh dengan tipu daya ini, ia tahu bahwa kebaikan pun harus dijalankan dengan kewaspadaan.

“Semoga saja ini bukan kesalahan,” gumam Wira pelan, nyaris tak terdengar.

Sementara Nora terus mengompres dahi anak kecil itu, Bima berdiri di dekat pintu, mengawasi gerak-gerik pria tersebut dengan cermat. Pria itu duduk di kursi kayu tua, wajahnya tampak lebih tenang, tetapi tangannya masih sedikit gemetar.

“Sejak kapan dia sakit?” tanya Nora sambil meremas kain basah untuk menggantinya.

“Dua hari lalu,” jawab pria itu dengan suara serak. “Kami berusaha bertahan dengan sedikit makanan dan air yang kami punya, tapi... dia terus melemah.”

Nora mengangguk pelan, kemudian menatap Wira yang masih berdiri di ambang pintu, waspada seperti biasa. “Wira, aku butuh antiseptik dan obat penurun panas dari tas medis di mobil. Bisa kau ambilkan?”

Wira mendengus kecil, matanya tetap tak lepas dari pria itu. “Bima, kau yang pergi. Aku akan berjaga di sini.”

Bima menatap Wira sejenak, lalu mengangguk dan segera keluar rumah untuk mengambil tas medis.

Bima membuka pintu belakang mobil dan mengambil tas medis yang disebutkan Nora. Saat melakukannya, Rizki berbicara pelan. “Bima, kau merasa ada yang aneh?”

Bima berhenti sejenak, menoleh pada Rizki. “Apa maksudmu?”

“Tempat ini terlalu sunyi. Bahkan untuk kota yang hancur... Terlalu sunyi,” jawab Rizki sambil mengamati jalanan sekitar.

Bima menghela napas. “Ya, aku juga merasakannya. Tapi kita tidak punya banyak pilihan. Kita harus mempercayai mereka... setidaknya untuk sekarang.”

Flora menatap Bima dari kursi tengah, tampak khawatir. “Hati-hati, Bima. Jangan sampai ini jebakan.”

Bima hanya mengangguk, membawa tas medis itu kembali ke dalam rumah.

Bima menyerahkan tas medis kepada Nora, yang langsung mengambil antiseptik dan obat-obatan di dalamnya. Ia memeriksa suhu tubuh anak itu dengan cepat. “Demamnya masih tinggi, tapi dia akan stabil untuk sementara waktu.”

Pria itu mengangguk dengan penuh rasa syukur. “Terima kasih... Terima kasih banyak. Aku tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan kalian.”

Wira, yang tetap diam sejak tadi, kini maju selangkah. “Kau bisa mulai dengan jujur pada kami.”

Pria itu menatap Wira, bingung. “Maksudmu?”

“Kenapa di sekitar sini begitu sunyi? Tidak ada tanda-tanda survivor lain. Tidak ada suara hewan, bahkan suara angin pun hampir tidak terdengar. Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini?”

Pria itu terdiam sejenak, wajahnya tampak tegang. Kemudian, dengan suara pelan, ia berkata, “Itu karena... dia ada di sini.”

Semua orang di ruangan itu langsung terdiam.

“Siapa?” tanya Bima dengan suara tajam.

Pria itu menelan ludah, tampak semakin gelisah. “Ruo...”

Di luar Flora tiba-tiba mendengar suara samar di kejauhan, seperti derap langkah yang berat. Ia menoleh ke arah Rizki. “Kau dengar itu?”

Rizki mengangguk, tangannya langsung meraih pistol di pinggangnya. “Ada sesuatu yang mendekat...”

Meyrin menggenggam tangan Flora lebih erat, matanya mulai berkaca-kaca. “Kak Flora... Aku takut...”

Flora menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri dan Meyrin. “Tidak apa-apa, Meyrin. Kita akan baik-baik saja.”

Sementara itu Wira yang menyadari keanehan segera mengeluarkan granat kriogeniknya dari tas. “Nora, Bima, bersiaplah. Kita tidak bisa berlama-lama di sini.”

Bima langsung mengeluarkan tongkat besinya, sementara Nora dengan tenang merapikan peralatan medisnya. “Aku bisa membawa anak ini,” katanya.

Pria itu langsung bangkit, tampak cemas. “Tidak! Jika kalian keluar sekarang, mereka akan menemukan kalian lebih cepat!”

“Dan jika kita tetap di sini, kita juga tidak akan selamat,” balas Wira tajam. Ia menatap pria itu dengan mata penuh tekad. “Kau dan anakmu bisa ikut bersama kami atau kalian bisa tinggal di sini. Tapi kami akan pergi sekarang.”

Pria itu terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan berat hati. “Baiklah. Tapi... kita harus cepat.”

Saat mereka semua keluar, Rizki sudah berdiri di depan mobil, mengarahkan senapannya ke arah bayangan di kejauhan. Flora memegang Meyrin erat, memastikan anak kecil itu tetap aman.

“Ada yang mendekat!” teriak Rizki.

Wira segera mengarahkan pandangannya ke arah Rizki. “Apa kau yakin itu bukan manusia?”

Rizki menjawab dengan nada tegas. “Terlalu berat... Itu pasti Ruo!”

Wira mendecak kesal. “Sialan dia berjalan seperti bos. Semua masuk ke mobil sekarang!”

Semua orang bergerak cepat, namun suara langkah berat itu semakin mendekat. Bayangan besar mulai terlihat dari arah reruntuhan, memperlihatkan sosok Ruo dengan kulit seperti logam, matanya merah menyala, dan tubuhnya penuh luka yang tampaknya belum sepenuhnya sembuh.

Wira memicingkan matanya, mengamati Ruo yang tubuhnya penuh luka. “Dia... sepertinya baru saja bertarung dengan seseorang,” gumamnya pelan.

Namun, tidak ada waktu untuk berpikir lebih jauh. Ruo itu tiba-tiba mulai berlari ke arah mereka dengan kecepatan mengerikan. Wira langsung berteriak, “GAS! BIMA!”

Bima segera menekan pedal gas dengan penuh tenaga. Suara mesin meraung, mobil melaju kencang meninggalkan debu di belakang mereka. Tapi tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Ruo, dengan kekuatan yang luar biasa, mencengkram sebuah bongkahan beton besar yang tergeletak di pinggir jalan. Dengan satu ayunan brutal, ia melemparkan bongkahan itu jauh ke depan.

Wira dan teman-temannya menatapnya dengan mata terbelalak. Bongkahan itu mendarat dengan keras, memblokir jalan tepat di depan mereka.

“BRAK!!!”

Mobil berhenti mendadak. Bima mencengkeram setir dengan erat, sementara Meyrin menjerit kecil di belakang.

“APA-APAAN BAJINGAN ITU?!” seru Wira dengan napas tertahan.

Flora memegang Meyrin erat, sementara Rizki memandang ke depan dengan rahang mengatup. “Kita tidak bisa kabur!” teriak Bima, frustasi.

Wira menatap granat kriogenik di tangannya, pikirannya berpacu. Dalam hati ia bergumam, Apakah harus kugunakan sekarang? Tidak ada pilihan lain.

Dia mengambil napas panjang, lalu berbicara dengan tegas. “Hei, kalian! Tetap di mobil! Bima, siapkan mobil ini untuk tancap gas saat aku selesai!”

Bima mengangguk tanpa ragu. “Mengerti.”

Flora mencoba menghentikannya. “Tunggu, Wira! Ini berbahaya! Kau tidak bi-”

Namun, Wira tidak mendengarkan. Ia sudah membuka pintu dan melompat keluar, menenteng granat kriogenik di tangannya. Kini Wira berdiri tegak. Matanya penuh keberanian, meskipun dadanya berdebar keras. Ia menatap Ruo yang mendekat dengan langkah berat, matanya merah menyala menatap langsung ke arahnya.

“Ayo maju, bajingan jelek!” teriak Wira.

Ruo merespons tantangan itu. Tubuh logamnya berkilauan di bawah cahaya matahari sore, dan ia berlari dengan kecepatan penuh ke arah Wira.

Wira memegang granatnya erat, jari-jarinya siap menarik pin. “Ayo… sedikit lagi...” gumamnya sambil memantapkan langkahnya.

Namun, tiba-tiba sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Ruo, yang awalnya terlihat akan menyerang dengan membabi buta, tiba-tiba berhenti. Matanya menatap granat kriogenik di tangan Wira. Tampaknya, ia menyadari bahaya dari benda kecil itu.

“Apa?...” bisik Wira, matanya melebar terkejut.

Ruo mundur beberapa langkah, lalu dengan gerakan cepat, ia melompat menjauh ke arah kegelapan. Langkahnya yang berat menghilang di antara reruntuhan, meninggalkan keheningan yang mencekam. Wira berdiri terpaku di tempatnya, granat masih tergenggam erat di tangan. Ia menghela napas panjang dan bergumam, “Dia sudah tahu...”

1
Uryū Ishida
Sejujurnya aku gak percaya bakal suka ama this genre, tapi author bikin aku ketagihan!
Gerhana: Terimakasih, tunggu eps selanjutnya yah
total 1 replies
Jell_bobatea
Penulisnya jenius!
Gerhana: Terimakasih
total 1 replies
kuia 😍😍
author, kamu keren banget! 👍
Gerhana: Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!