Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KAMU BAHAGIA?
"Nad, gimana Maya?" tanya Sania pada Nadia, terdengar sedikit berbisik, tetap bisa didengar jelas oleh Marsha diujung ruang tamu.
Marsha yang baru saja dari beres-beres diruang tamu dan hendak ikut bergabung dengan para wanita yang sedang bersantai diruang tengah otomatis berhenti melangkah mendengar mertuanya menanyakan soal Maya.
Sania merasa ikut tidak enak soal kaburnya Maya, karena bagaimanapun itu diakibatkan perjodohan dengan anaknya. Walau sebenarnya ia pun tidak pernah memaksa, semua akan dilanjutkan atas persetujuan dua belah pihak keluarga.
Diawal memang kabar dari keluarga Zlatan mengatakan setuju baik dari pihak keluarga dan juga anaknya, jadi tentu yang paling merasa tidak enak adalah Nadia sekarang, seolah-olah ia telah berbohong dengan pernyataan persetujuan Maya tapi ternyata berbeda dengan kenyataan.
"Maaf ya, San." lirih Nadia, masih merasa bersalah.
"No, no, no. Aku nggak bahas soal perjodohan ganti atau apapun yang berhubungan dengan itu. Marsha adalah menantu yang baik. Aku pure ingin tahu perkembangan Maya aja, aku mengerti bagaimana rasanya kehilangan anak, Nad." Sania berkata sambil menepuk-nepuk lembut punggung tangan Nadia yang sudah digenggamnya.
Nadia tersenyum haru, ia bersyukur memiliki besan seperti Sania yang begitu pengertian dan baik hati.
"Terakhir kali kabarnya ada di Vietnam, tapi entah bagaimana nggak sampai 24 jam orang Hana sudah kehilangan jejaknya, iya kan Han?" Nadia menatap Hana memastikan, Hana mengangguk mengiyakan.
"Nggak tau Maya dapat kabar atau info dari mana," Hana mengangkat kedua bahunya, ia tampak berpikir. "Tapi dia baik-baik aja Mbak, orangku sempat mengirimkan fotonya saat di Vietnam kemarin, sekitar seminggu yang lalu. Sepertinya ia benar-benar belum mau pulang." Hana menjelaskan.
"Kalau kalian butuh bantuan bilang aja ya," kata Sania sungguh-sungguh.
"Nggak perlu repot-repot San," tolak Nadia, "Biarkan aja toh sepertinya memang Maya belum mau pulang, tahu dia baik-baik aja aku udah bersyukur." sambungnya dengan tersenyum simpul.
"Jangan sungkan-sungkan, pokoknya kalau memang perlu bantuan kabari, oke." ucap Sania tegas, ia menunjukkan bahwa ia benar-benar tulus membantu.
"Terima kasih banyak San, kamu udah terlalu banyak membantu keluarga kami." jawab Nadia lembut.
Marsha menghela napas berat, ia berbalik badan sudah eneg mendengarkan para Ibu-ibu membahas Maya yang membuat rencana hidupnya berubah haluan.
"Cih, kalau perlu nggak usah balik-balik tuh orang!" kekinya.
Dengan kesal ia kembali keruang tamu, mungkin duduk-duduk tidak jelas disana sampai bosan atau lebih baik mencoba mengitari taman umum yang persis diseberang depan rumahnya.
"Bisa-bisanya masih di fasilitasi, dia yang buat semua semakin kacau, perusahaan dan aku jadi korban utama dari ulah bodohnya." Marsha benar-benar benci pada Maya sekarang, ditambah lagi ia baru tahu kalau orang tuanya memberikan uang dengan nilai yang tidak tanggung-tanggung pada Maya agar tetap bisa menjalankan kehidupan dengan baik diluar sana.
Sekarang apa, setelah dia terima uang itu dari orang kepercayaan Hana yang mencarinya, justru ia kabur lagi kan. Tentu hal itu tidak akan Nadia ceritakan pada Sania.
"Dua miliar? Come on dia pikir daun tinggal dipetik!"
Marsha terus menggerutu tentang Maya dan kesalnya pada kedua orang tuanya yang menurutnya tidak adil. Langkahnya semakin cepat karena saking kesalnya, "Gue disini sebagai alat agar uang itu bisa keluar dan dengan enaknya dia yang menikmati?! Oh Tuhan ini nggak ad─"
BRUKK!
"Aw!" Marsha meringis mengelus-elus wajahnya, ia mendongak menatap Reno yang sudah didepannya dengan tatapan khawatir.
"Kamu nggak apa-apa, Sha?!" Reno mencoba menyingkirkan tangan Marsha yang masih mengelus-elus antara hidung dan jidatnya. Marsha bergeming, ia sedikit tertunduk karena merasa canggung.
"Mana yang sakit?" tanya Reno masih khawatir, karena cukup keras Marsha menabraknya.
"Nggak ada, maaf kak Marsha yang salah, jalan nggak lihat-lihat." lirih Marsha, ia masih tertunduk dengan mata yang melihat ke segala arah tapi tidak berani menatap Reno didepannya.
Wangi Reno yang kembali menyeruak membangkitkan rindu terpendamnya kembali bergelora, ingin rasanya ia memeluk Reno didepannya kini, tapi rasa canggung yang muncul karena status pernikahannya dan juga pertengkaran terakhir mereka membuat Marsha tidak berani apa-apa selain diam ditempat.
Cukup lama mereka berdiam diri dengan posisi seperti itu, tangan Reno kini menyisir rambut Marsha yang sedikit berantakan karena menabraknya tadi, ia tersenyum simpul.
"Nggak apa-apa kayaknya, cuma kaget aja ya?" Reno berkata lembut, sudah seperti Reno yang dulu, Reno yang dirindukan Marsha.
Marsha masih diam, matanya belum berani menatap Reno. Ia ingin pergi tapi kakinya berat untuk melangkah, ia ingin bicara banyak dengan Reno, tapi mulutnya serasa terkunci. Bahkan untuk melihat dalam hitungan detik saja ia tidak berani.
Pemandangan itu cukup menyita fokus Alan yang berada tidak jauh dari posisi Marsha dan Reno di garasi depan, ia sudah disana saat Marsha menabrak Reno. Perhatian dan rasa canggung Marsha tampak jelas dimata Alan.
Alan menurunkan beberapa barangnya dari mobil yang tertinggal dirumah lama dan dibawa oleh supir Damar yang tadi sekalian mengantarkan Damar kerumahnya saat pagi, namun ia baru sempat mengambilnya sekarang.
Awalnya ia tidak terlalu menggubris saat melihat Marsha yang hendak keluar pintu utama dan menabrak Reno, namun perhatian Reno dan rasa canggung yang ditunjukkan oleh Marsha itu membuatnya bertanya-tanya dan berujung memperhatikan lebih seksama.
Ada rasa tidak senang di hatinya saat melihat itu semua, cemburu? Atau hanya tidak suka karena Marsha adalah istrinya, miliknya? Ia tidak terlalu yakin dengan perasaannya sekarang, yang jelas ia tidak suka.
"Kenapa?" tanya Alan yang sudah berjalan kearah Marsha dan Reno, yang masih bergeming didepan pintu.
"Nggak apa-apa," jawab Marsha gelagapan, serasa kepergok sedang selingkuh.
"Ini nabrak," Reno justru menjawab apa adanya dengan santai, ia pun langsung memberi jarak agar Alan yang hendak masuk bisa leluasa.
Pernyataan mereka secara bersamaan namun berbeda jawaban itu semakin membuat Marsha salah tingkah, kini ia juga tidak berani menatap Alan karena rasa takut dan bersalah.
Alan meletakkan box di pangkuannya kelantai, lalu memandangi Marsha dan memegang dagunya dengan lembut, menggeser ke kiri dan ke kanan dengan pelan untuk melihat dan memastikan wajah istrinya baik-baik saja.
Marsha tidak menolak ia membiarkan Alan melakukannya, jantungnya berdebar tidak berani menatap suaminya walau sudah sengaja Alan menatap matanya, ketika bertemu Marsha dengan cepat memalingkannya.
"Nggak apa-apa, masih cantik." ucap Alan santai seraya mengelus lembut puncak kepala Marsha, ia kemudian mengambil boxnya dilantai, "Ayo tolong bantu Mas sebentar beresin ini." kata Alan pada Marsha membuat gadis berambut coklat gelap itu mengangguk dan berbalik dengan cepat.
"Kami tinggal dulu," ucap Alan datar pada Reno, sekilas matanya menyorot tajam lalu pergi meninggalkannya dan diikuti oleh Marsha dari belakang.
Reno menghela napas panjang dan berat, ia hanya bisa memperhatikan pasangan itu hilang dibalik pintu berwarna navy, kamar mereka.
Reno yang berniat masuk rumah pun jadi mengurungkan niatnya, dengan cepat ia berbalik dan kembali masuk kedalam mobilnya yang terparkir tidak jauh dipinggir jalan depan rumah.
Ia mengeluarkan ponselnya menatap room chat bersama Marsha yang sudah lama tenggelam, dengan perasaan yang tidak banyak berharap akan dibalas ia pun memberanikan diri.
Reno: [Sha, kamu bahagia?]
Send. Setelah mengirimnya, Reno kembali menyimpan ponselnya dan tanpa pamit ia langsung menancap gas pulang kerumahnya yang hanya berjarak beberapa blok dari sana.
***