Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
"Hanya ini isi kepalamu!"
Byurrrr!!!
Lima kertas berwarna putih dengan bumbu tinta hitam melayang di depan wajah Agnes. Tubuh gadis itu beringsut manakala melihat tatapan tajam dari lelaki di depannya.
Bukan, itu bukan kertas yang berisikan surat perceraian seperti di dalam film, melainkan berkas pengajuan judul skripsinya. Dalam ketakutan Agnes mencoba bertanya pada lelaki yang tak lain dosen pembimbingnya, Fajar Alaska.
"Apa yang salah dari judul ini Pak?"
"Kamu masih tanya?"
Kata orang malu bertanya sesat di jalan, tapi ini? Dalam sekejap Agnes mengepalkan tangan dan ingin segera melayangkan ke wajah lelaki yang akrab disapa Pak Fajar, akan tetapi semua hanya ada di dalam angan-angan gadis berusia 22 tahun itu, sebab jika ia melakukan hal tersebut tentu saja ancaman tidak bisa lulus ada di depan matanya.
Beberapa hari yang lalu Agnes berdoa hingga melakukan sholat tahajud agar mendapatkan dosen pembimbing yang sabar, kalem dan tampan. Sayangnya Yang Kuasa hanya mengabulkan doa terakhirnya, tampan. Bolehkah kini ia protes?
"Kamu sebentar lagi mendapatkan gelar sarjana, tapi kamu mengajukan judul skripsi anak SD?" sambung Fajar.
Hah, anak SD? Sialan, aku mikir itu judul sampai gak makan nasi. Emangnya anak SD bisa bikin skripsi?
Fajar memperhatikan bola mata Agnes tengah menatapnya penuh kebencian, "Kamu tidak terima?"
Tentu saja tidak Bapak Fajar Alaska yang ketampanannya mengalahkan seluruh mahluk adam di Universitas seantero ini.
"Malah melamun, jawab!"
Mendengar nada suara tinggi Agnes langsung menundukkan kepalanya. Sumpah demi apapun gadis itu belum pernah dibentak atau diperlakukan buruk oleh siapapun meskipun gayanya suka pecicilan.
Agnes tahu Fajar memang terkenal dengan sebutan dosen killer yang garangnya melebihi tirex. Saat ia mengetahui dosen pembimbingnya adalah Fajar, gadis itu sudah mengajukan penukaran dosen pembimbing, lagi dan lagi semua sia-sia.
"Maaf Pak, bukan seperti itu mak-maksud saya. Ka-kalau Bapak kurang suka dengan ju-judul yang saya ajukan, sa-saya—"
"Kamu gagu?" sela Fajar yang tidak sabaran.
"Ti-tidak Pak."
Fajar semakin geregetan dengan jawaban yang ia dapatkan. Lelaki itu yang awalnya berada tak jauh dari Agnes kini mulai mendekatinya. Tentu saja hal itu membuat Agnes semakin gugup dan tak berani bersuara.
"Kamu tau saat sidang skripsi ada tiga dosen yang mengujimu? Tidak semua dosen akan bersikap lembut. Kalau mental kamu seperti ini, apa saat sidang nanti bisa lulus?"
"Ten-tentu bisa," jawab Agnes.
"Bisa? Dengan kondisi kamu seperti ini? Aku tekankan lagi tidak akan lulus!"
Setelah berbicara dengan sikap yang dingin Fajar mengangkat tangan kanannya lalu jari telunjuk mengarah ke pintu.
Agnes yang ketakutan sekaligus menyimpan dendam pada sang dosen hanya bisa mempercepat gerakan tangan untuk memunguti kertas yang berhamburan di lantai. Meskipun yang dikatakan Fajar masuk akal, tapi kata terakhir yang mengatakan dia tidak bisa lulus membuatnya sakit hati.
Agnes memang bukan masuk kedalam golongan orang pintar yang bisa mendapatkan peringkat satu terus menerus dalam akademik, akan tetapi ia bisa mendapatkan beasiswa bukankah itu menunjukkan otaknya cukup menjanjikan?
"Saya permisi dulu Pak. Saya jamin akan merubah semua. Dan dalam hitungan dua hari saya pastikan mengajukan judul skripsi sesuai keinginan Bapak," tandas Agnes berlalu keluar dari ruangan sang dosen.
Sementara Fajar terkejut mendengar ucapan dari anak bimbingannya, ia bahkan berpikir apakah Agnes memiliki kepribadian ganda?
Di luar ruangan, Agnes seperti orang gila mengacam-acak rambutnya yang tergerai indah, menyesali apa yang sudah ia janjikan pada Fajar, "Hah, dua hari! Mengajukan judul sesuai keinginan dia? Apa kamu sedang bercanda Agnes?"
"Nenes apa yang kamu lakukan? Kamu kesurupan?" Berta sahabat baik Agnes bergegas menghampiri, takut sang sahabat benar-benar kesurupan.
"Iya, kesurupan jin bujang lapuk tuh." Agnes mengarahkan mukanya ke ruangan Fajar.
Tawa pecah tercetak di bibir Berta, membuat Agnes semakin gila.
"Jangan bilang kamu nantangin tuh dosen?"
"Mau gimana lagi, dia sudah meremehkan aku. Masa dia bilang aku gak akan lulus kalau—"
Berta menunggu jawaban Agnes yang kini menjeda kalimatnya, "Kalau?"
"Isss... Memalukan sekali. Arghhhh!"
Berta tercengang melihat tingkah absurd Agnes. Meskipun persahabatan mereka sudah berjalan hampir 10 tahun, tapi sejauh ini sikap Agnes ini yang paling jauh dari kata normal.
"Apaan sih gak jelas dah!" runtuk Berta yang sudah tidak tahan.
"Kamu tau kan publik speaking aku itu paling bagus diantara yang lain. Tapi, di hadapan dia aku jadi gagu. Arghh... Sialan!" beber Agnes melaju pergi dari tempat itu menuju ke kantin.
Berta masih dengan tawa melekat di bibir mengejar Agnes yang mulai menjauh darinya.
"Eh... Tau gak kenapa kamu bisa gagu di depannya?" tanya Berta setelah keduanya mendudukkan pantat di kursi kantin.
"Tau, gara gara dia garang melebihi tirex yang lagi marah sebab telurnya diambil sama upin ipin," jawab Agnes seenaknya.
"Dih bukan dodol."
"Terus apa?" sahut Agnes acuh tak acuh sambil melihat buku menu.
"Sejauh yang aku tau, meskipun kamu berhadapan dengan dosen killer, kamu gak pernah tuh gerogi ataupun gagu. Inget pak Sugiarto sebelum digantikan pak Fajar? Diakan lebih parah killernya, tapi akhirnya takluk dengan kecerdasan kamu dan gak sampai tuh jadi gagu."
"Terus kenapa aku jadi gagu?" Agnes mengangkat tangan lalu teriak, "Bakso telur sama es campur, Mang."
Berta menggelengkan kepala, sahabatnya ini memang tidak ada anggun-anggunya kalau sudah dalam mood gila.
"Udah jangan geleng geleng begitu kayak gak tau tabiatku aja. Jadi kenapa aku bisa jadi gagu?" tanya Agnes barangkali sahabatnya itu bisa ngasih solusi, gak mungkin dong dia gagu terus menerus dihadapan Pak Fajar.
Jika ingat kejadian barusan Agnes ingin sekali tenggelam saja ke dasar laut. Memang berhadapan dengan Pak Fajar bukan kali pertama, tapi untuk berhadapan sendirian seperti tadi itu yang pertama kalinya.
"Kamu suka sama dia."
Ucapan Berta membuat Agnes tersendak air liur. Suasana kantin yang ramai seakan ikut diam seketika.
"Apa suka? Astagfirullah amit amit tujuh turunan," ucap Agnes sambil mengetuk-ngetuk dahi. "Aku yakin gara gara gak siap aja, apalagi judul skripsi yang aku siapkan ditolak mentah mentah sama dia."
"Dih, gak mungkin gara gara itu langsung gagu. Lagian siapa sih yang gak akan naksir sama pak Fajar. Naksir orangnya ya, bukan sikapnya saat ngajar."
Sejak 2 bulan yang lalu kedatangan pak Fajar memang cukup menjadi perhatian mahasiswi di Universitas itu. Ketampan menyerupai artis hollywood menjadi nilai utama, tidak heran di ruangan dosen itu penuh dengan hadiah, tidak hanya dari kalangan mahasiswi bahkan dosen wanita pun ikut bersaing merebutkannya. Hanya saja tidak ada satu wanita yang bisa dekat dengan dosen tampan itu.
Banyak rumor yang mengatakan jika pak Fajar trauma berkencan karena ditinggal sang kekasih, tidak suka orang bodoh, dan juga suka sesama jenis. Entah dari tiga itu mana yang benar. Intinya lelaki itu jarang berinteraksi dengan kaum hawa.
"Meskipun begitu tetap aja tidak mungkin, Tata. Sudahlah kalau bisa ganti dosen pembimbing aku mau ganti," sahut Agnes.
Agnes yang sudah frustasi tidak melihat kanan dan kiri lagi saat mengatakan kalimat itu. Hingga terdengar suara cukup familiar.
"Saya beri waktu sampai besok. Judul skripsi baru sudah ada di meja saya!"
"Hah, apa?" Agnes menolehkan kepala dan melihat pak Fajar sudah berdiri tegap di sisi kirinya.
"Jam delapan."
"Ta-tapi Pak sa-saya. Pak, sa-saya."
Agnes bingung harus berkata apa, menolak? Tentu saja itu mencari jalan ke neraka, menerima? Mencari jalan kematian. Dirinya seperti makan buah simalakama.
"Saya anggap setuju." Fajar berlalu dari kantin meninggalkan Agnes yang masih kebingungan.
Melihat tingkah dingin dan sombong sang dosen membuat Agnes geregetan ia pun berteriak, "Oke aku jamin besok sudah ada."