Nisa anak sulung dari lima bersaudara, dipersunting oleh pria bernama Akil, Nisa berharap pernikahannya membawa perubahan pada keluarganya, Setelah sah sebagai suami istri, Akil memboyong Istrinya (Nisa) kerumah orangtuanya. Di pondok Mertua Nisa banyak menghadapi problem rumah tangga, kesabarannya runtuh setelah 11 tahun berumah tangga, bahkan Ia merasa rumah tangganya belum terbentuk. Hingga suatu ketika Nisa memutuskan untuk mengalah dan kembali ke rumah orangtuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahmadaniah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Dalam perjalanan pulang, mobil yang dikemudikan Akil melaju pelan di sepanjang jalan berkelok. Nisa duduk di sampingnya, namun pikirannya jauh dari pemandangan indah yang mengelilingi mereka. Meski perasaan bahagia baru saja mereka rasakan sebagai pasangan suami istri, kerisauan yang muncul dari pesan kakak iparnya, Sahra, membayangi kebahagiaan itu.
“Mas, apakah kakak Sahra selalu seperti itu?” tanya Nisa, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun hatinya berdebar.
Akil mengalihkan pandangannya sejenak dari jalan, menatap Nisa dengan penuh perhatian. “Maksudmu?”
“Ya, maksudku tentang kritikannya terhadapmu,” jawab Nisa, menarik napas dalam-dalam. “Dia mengatakan kamu boros. Apakah uang yang kamu gunakan selama ini adalah uang dari kak Sahra ? Aku merasa dia terlalu mencampuri urusan kita.”
Mendengar pertanyaan itu, Akil mengerutkan dahi. “Kak Sahra hanya khawatir, Sayang. Dia punya cara sendiri untuk menunjukkan perhatian. Tapi jangan terlalu dipikirkan. Itu bukan urusanmu.”
Nisa menunduk, merasa tak sepenuhnya yakin dengan jawaban suaminya. Pikiran tentang keuangan dan bagaimana Akil mengelola uangnya terus berputar dalam benaknya. “Tapi, Mas... jika semua ini tentang uang, aku tidak ingin jadi beban. Aku tidak ingin ada masalah antara kita karena campur tangan keluargamu.”
Akil meraih tangan Nisa, menggenggamnya lembut. “Sayang, kita baru saja memulai hidup bersama. Jangan biarkan suara orang lain mempengaruhi hubungan kita. Uang yang ku gunakan itu dari hasil kerjaku sendiri. Kak Sahra mungkin merasa dia punya hak untuk mengatur, tetapi aku akan selalu mencari cara untuk menjaga kita.”
Nisa mengangguk, meski rasa cemasnya belum sepenuhnya sirna. “Aku hanya merasa canggung, Mas. Aku tidak ingin semua orang melihatku sebagai orang baru yang tidak tahu apa-apa.”
“Jangan khawatir. Ini adalah rumah tangga kita, dan aku akan melindungimu,” kata Akil dengan nada meyakinkan, meski Nisa bisa merasakan adanya ketegangan di antara mereka.
Saat mereka melanjutkan perjalanan, Nisa memandangi pemandangan yang berlalu, berusaha mengalihkan pikirannya dari kekhawatiran yang mengganggu. Namun, rasa cemas akan kritikan dari kakak iparnya masih membayang, menimbulkan keraguan dalam hati kecilnya. Dalam diam, ia berjanji untuk berbicara lagi dengan Akil, agar mereka dapat menghadapi setiap tantangan yang datang bersama-sama.
Mobil berhenti di halaman rumah, dan Akil memarkirnya rapi di dalam garasi. Nisa menatap sekeliling, merasakan campuran rasa canggung dan antusiasme saat mereka tiba kembali di rumah yang kini juga menjadi rumahnya. Momen kebahagiaan yang baru saja mereka lalui di perjalanan terasa begitu jauh dari kenyataan yang harus mereka hadapi sekarang.
“Mas, ayo kita masuk,” ajak Nisa, mencoba menyemangati dirinya sendiri.
“Ya, tunggu dulu, kita bawa buah tangan ini,” jawab Akil sambil mengangkat beberapa tas kecil berisi oleh-oleh. Nisa mengangguk, ikut mengambil buah tangan lainnya yang ia siapkan untuk keluarga suaminya.
Ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah, suasana terasa tegang. Nisa menelan ludah, berusaha meredakan cemas yang menggerogoti hatinya. Di ruang tamu, mertua serta kakak dan adik iparnya sudah duduk, menunggu kedatangan mereka. Senyum Nisa melambai, namun ketika melihat raut wajah kakak iparnya yang jutek, hati Nisa bergetar.
“Assalamualaikum, Ibu, ini kami kembali,” sapa Akil, suaranya ceria namun tidak menghilangkan ketegangan di ruangan itu.
Nisa ikut menyapa, “Assalamualaikum, pagi, semuanya,” sambil berusaha tersenyum ramah. Ia berusaha menampilkan sikap yang baik, meskipun ia merasa dagunya sedikit bergetar.
Namun, saat ia melangkah lebih dekat dengan buah tangan yang dibawanya, ia melihat ibu mertua dan kakak ipar memperhatikan tas yang ia bawa dengan tatapan datar. Kakak iparnya tidak tampak terkesan, seolah menganggap Nisa membawa sesuatu yang tidak penting. Hatinya sedikit terluka, tetapi ia berusaha menepis perasaan itu.
“Ini ada oleh-oleh dari tempat kami honeymoon,” kata Nisa, berusaha memberi penjelasan sambil tersenyum lebar. “Semoga kalian suka.”
“Terima kasih,” ucap ibu mertua dengan nada datar, tak menunjukkan rasa antusiasme. Kakak ipar Nisa masih menatapnya dengan skeptis, seolah mempertanyakan setiap gerak-geriknya.
Nisa merasa sedikit canggung, namun ia tetap berusaha ramah. Ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari keluarga ini. “Saya harap bisa membantu di rumah juga, kalau ada yang perlu dibantu,” tambahnya, mencoba meredakan suasana.
Akil memperhatikan semua itu, merasakan ketegangan yang melingkupi Nisa. Ia ingin membantu istrinya merasa lebih nyaman, tetapi di saat yang sama, ia tahu bahwa ia harus menghadapi keluarganya yang kadang terlalu kritis.
“Bu, Nisa sudah membantu banyak saat di perjalanan. Kita harus menghargai usaha dia,” ujar Akil, menambah dukungan pada Nisa.
Nisa tersenyum, merasa sedikit lebih tenang dengan dukungan suaminya. Meskipun suasana masih terasa tegang, ia berharap perlahan-lahan bisa mendapatkan tempat di hati keluarganya.
___
Sejak kembali dari honeymoon, Nisa merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Setiap kali Akil mengajaknya pergi, entah itu untuk sekadar berbelanja, makan di luar, atau jalan-jalan, rasa was-was dan cemas sering kali menghampirinya. Ia tidak tahu apakah itu karena kritik dari kakak iparnya atau hanya ketidakpastian akan perannya sebagai istri baru.
Suatu sore, Akil memandang Nisa dengan senyuman ceria. “Sayang, bagaimana kalau kita pergi ke kafe baru di dekat sini? Aku dengar mereka punya kopi enak.”
Nisa menatap suaminya, hatinya bergetar. “Ke kafe?” tanyanya, suaranya terdengar lebih ragu dari yang ia inginkan. “Apakah kita tidak sebaiknya di rumah saja? Kita bisa memasak bersama.”
Akil mengerutkan dahi, sedikit bingung. “Tapi kita baru saja di rumah seharian. Rasanya menyenangkan untuk keluar, bukan?”
“Ya, tapi…” Nisa berusaha mencari alasan. Kenangan honeymoon yang penuh tekanan dan ketegangan masih segar dalam ingatannya. Ketidakpastian dan kritik yang ia rasakan dari keluarganya membuatnya ragu untuk bersenang-senang. “Aku merasa lebih nyaman di rumah. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan di sini.”
“Kenapa kamu jadi merasa seperti ini?” Akil bertanya dengan nada lembut, mencoba memahami perasaan Nisa. “Kamu tidak perlu merasa tertekan. Kita bisa menikmati waktu bersama tanpa mengkhawatirkan orang lain.”
Nisa menarik napas panjang. “Aku tahu, Mas. Tapi setiap kali kita keluar, aku merasa ada yang memperhatikan kita. Seolah-olah aku sedang dinilai. Apa yang mereka katakan di belakang kita…”
Akil menggelengkan kepala, berusaha menenangkan Nisa. “Itu hanya perasaanmu. Kita adalah pasangan suami istri, dan aku ingin kita menjalani hidup ini tanpa takut akan penilaian orang lain. Mari kita coba, yuk. Satu kali saja. Jika kamu tidak nyaman, kita bisa pulang.”
Mendengar perkataan suaminya, Nisa merasa sedikit lega, tetapi perasaan cemasnya belum sepenuhnya menghilang. “Baiklah,” ucapnya dengan enggan, berusaha menguatkan diri. “Tapi jika aku merasa tidak nyaman, kita langsung pulang, ya?”
Akil tersenyum lebar, senang melihat Nisa setuju. “Deal. Aku janji akan membuatmu merasa nyaman. Kita hanya perlu bersenang-senang.”
Nisa mengangguk, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, saat mereka bersiap untuk pergi, rasa was-was itu masih menggelayuti pikirannya. Ia berharap, seiring waktu, perasaannya ini bisa berubah.