Jika tak percaya adanya cinta pada pandangan pertama, Rayyan justru berbeda, karena semenjak melihat Mbak Tyas, dia sudah langsung menjatuhkan hati pada perempuan cantik itu.
Dan dia Rayyan Asgar Miller, yang jika sudah menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan cepat.
"Ngapain masih ngikutin? Kan tadi udah aku bayarin minumannya tah!?"
"Bayarannya kurang Mbak!" Rayyan menyengir lalu menunjukkan sebelah pipinya. "Kiss sepuluh kali dulu, baru aku anggap impas."
"Astaghfirullah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DB DUA TUJUH
"Sore, Pak, King!" Sapaan beberapa orang yang King Miller abaikan.
Lelaki itu berjalan cepat, masuk ke dalam rumah Rayyan tanpa menghiraukan beberapa karyawan cabang yang sedari tadi berjaga di depan.
Salah satunya ada Ervan, dan lelaki itu merutuk karena dia teringat bos bungsu yang sombongnya seperti King Miller barusan.
"Jangan heran, kalo Bos bungsu kita nanti songongnya kayak gitu." Ervan terkekeh kecil sambil bergurau memperingatkan rekannya.
"Iya, kalo Mas Nabeel dan Mas Syahrul mungkin lebih mirip ibunya, lebih ramah, lebih sopan, lebih manusiawi, nggak kayak Bapak sama bungsunya ini."
Pria baju putih itu menimpali, karena dia juga merasa, putra bungsu King Miller lebih sombong dan tak mau disapa. Entah apa alasannya, yang pasti siang tadi dirinya diacuhkan Bos kecilnya.
"Jelaslah ibunya ramah, orang cucunya Kiyai besar, di Semarang," sambut Ervan.
Pria itu manggut- manggut. "Pantesan, lebih ramah, nggak arogan kayak suaminya!"
Sementara pria baju hitam berdecak lidah agar mereka tak membicarakan keluarga bos besarnya terus. "Tapi ya sudahlah, tugas kita menurut, kalo disuruh jaga di sini ya jaga saja sampai diminta pulang, lagian kalo ada kayak gini, kita pasti dapat insentif lebih banyak."
"Iya juga, sih."
...°^\=~•∆•∆•~\=^°...
Di dalam, King Miller baru saja sampai di ruang tengah. Sebelumnya King sudah periksa istrinya, Aisha sudah siuman dan tampak baik bersama Fasha.
Namun, sepertinya Aisha masih terlihat shock karena masih belum bicara. Bahkan, King tak mendapatkan respon yang baik saat bertanya pada perempuan itu.
Di sisi Rayyan Tyas menundukkan wajah, tentu saja dengan hati yang entah ke mana arahnya. Kalut, malut, tak keruan debarnya.
Sebelumnya Tyas memang sudah sempat mengira, jika pernikahan ini sama sekali tak diketahui orang tua Rayyan. Tapi tidak lantas Tyas siap menghadapi kondisi ini.
Di mana ibu mertua kemudian pingsan ketika mengetahui kebenarannya. Dan ayah mertua segera datang dengan cepat dalam keadaan mengusungkan kemarahan.
"Kamu menikah hm?"
Rayyan mengangguk di depan ayah yang melontarkan pertanyaan tersebut dengan nada dingin. Rayyan juga menggenggam tangan Tyas erat; itu dia lakukan demi membuat gadis itu tenang berada di sisinya.
Kalau kemarin dia sendiri, sekarang Tyas ada menjadi tanggung jawabnya. Dan itu janjinya di depan almarhum ayah Tyas.
"Tanpa sepengetahuan Papa?" cecar King.
Rayyan menundukkan kepala segan, tak nyaman, ia juga menggaruk tengkuk, dan menggigit bibir bawahnya. Tak ada secuil pun niat menyepelekan ayahnya, sungguh, tapi ini dia lakukan demi Tyas.
Kalau saja Rayyan bicara ini sebelum menikah, Rayyan pastikan ayah ibunya akan mengasingkannya ke luar negeri. Kalau tidak ke London, California, mungkin Kairo.
Rayyan satu satunya putra King yang tak mau itu terjadi. Tak seperti dua Abangnya, Rayyan lebih suka menuntut ilmu di negaranya.
"Kejadiannya cepat sekali, Pap, kemarin Rayyan nggak sempet..."
"Papa telepon kamu dari pagi sampai malam, asal kamu ingat, Rayyan!" King menyela kilah kata Rayyan sebelum selesai. "Kamu bisa ngomong sama Papa seenggaknya, kan?"
Rayyan tersudut, karena King memang selalu sempatkan waktu untuk chat, telepon, atau bahkan menghubungi Guntur dan Aulkafa hanya untuk mengetahui kabarnya.
Biar kata orang Rayyan masuk ke dalam jajaran mantu yang di blacklist dari semua kalangan menengah ke atas. Dia ini kesayangan, King Miller asal tahu saja.
"Masih kuliah, baru semester dua, kamu sudah main- main begini!" ejek King yang lantas disela putra bungsunya.
"Rayyan nggak main- main, Pap!"
King tertawa sumbang. "Bukanya. Kamu selalu begitu setiap dimarah Papa? Bilang nggak main- main, bilang ini bilang itu!"
"Kali ini serius!" Rayyan bahkan menunjukkan tiga jarinya, lalu dia ralat menjadi dua jari setelah sadar akan typo di tangannya.
"Suwer!"
King menghela napas, saat ini dia sedang berhadapan dengan dirinya. Dan sepertinya itu tidak lebih baik dari pada berhadapan dengan orang lain. "Siapa yang kamu nikahi?"
King sempat menatap gadis seusia putri ketiganya itu dan tak mendapatkan kekurangan jika dilihat dari tampilan. Sopan, santun, tak banyak bicara, juga rapi dalam berpakaian dalam artian menutup aurat.
"Pangesti Ning Tyas orang Semarang. Ayah Tyas sudah tidak ada, beliau meninggal dua mingguan yang lalu, dan sekarang, Tyas cuma punya Rayyan sama satu adik yang sudah mondok di pesantren."
King merubah picingan matanya, agaknya tersentuh dengan putranya. Menikahi Tyas yang sudah tak punya siapa- siapa, jadi ini kah yang Guntur bicarakan kemarin?
Menolong itu baik, itu yang selalu dia ajarkan sedari anak paling badung ini kecil, akan tetapi King menyesalinya, kenapa pula harus menikahi bahkan tanpa izin darinya?
Setiap malam sebelum tidur Aisha terus menceritakan Rayyan, Rayyan dan Rayyan. Harapannya cukup tinggi, dia ingin Rayyan lulus kuliah dan lanjut ke luar negeri.
Bahkan sudah ada gadis shalihah yang ingin dijadikan mantu, kandidat terbaik, dan mungkin akan bisa menjadi seseorang yang membuat Rayyan merubah kepribadiannya.
Tapi itu setelah Nabeel dan Syahrul menikah, bukan sekarang. "Abang kamu, dua duanya belum menikah, Rayyan!" ketusnya.
Rayyan menyelanya. "Papap percaya? Jodoh datang tanpa diduga," ujarnya. "Mau gimana lagi dong? Jodoh Rayyan datang lebih cepat dari pada Mas Abil sama Mas Alul!"
King setuju statement ini, karena dia juga menikahi istrinya dengan kondisi dadakan, tanpa rencana, bahkan diusianya yang masih sangat amat muda.
King menjadi tertawa sekilas setelah teringat akan sesuatu. "Jadi ini alasan kamu mau masuk kantor kemarin, hm?"
Rayyan mengangguk, dia memang sedang mencoba melayakan diri. Memantaskan posisi agar bisa disebut suami: Setidaknya bukan terus bergelar pengangguran.
Derap langkah lembut dari sepatu wanita terdengar, King lekas menoleh, di sana istrinya berjalan bergandengan dengan Fasha keluar dari kamar. "Yank? Sudah baikan?"
"Mimi mau pulang sama Fasha."
"Ngapain pulang?" King mengernyit, sungguh tak paham sama sekali dengan pemikiran istrinya ini. Urusan Rayyan belum selesai.
Aisha melirik putranya. "Mimi sudah nggak dibutuhkan lagi sama Rayyan sekarang, jadi mending pulang," sindirnya.
Rayyan paling takut dibenci ibunya, tapi saat ini juga, mata Aisha seperti tidak menatapnya sebagai seorang anak melainkan orang asing.
"Aisha!" King mengejar Aisha yang kemudian berjalan keluar bersama Fasha. "Tunggu dulu, Yank!"
"Kalo kamu masih mau ngurusin Bungsu, silahkan, King. Kamu ayahnya, tapi aku sudah menyerah!" kata Aisha. Sesungguhnya, dia hanya belum bisa menerima perilaku Rayyan.
"Sembilan belas tahun aku menyayanginya, kan King sembilan belas tahun! Aku dibuat dongkol, marah, kesel, bahkan dia anak yang paling spesial di antara yang lainnya!" keluh Aisha yang baru terucap sekarang.
"Merokok, main selot, taruhan, tawuran, nilai raport selalu merah, tapi Mimi nggak pernah beda bedakan dia dengan yang lainnya!"
Aisha meluruhkan air matanya. "Tapi hari ini, dia bilang dia sudah punya istri," lirihnya.
"Rayyan pikir seorang ibu tidak akan sakit hati diperlakukan seperti orang asing setelah dengan segenap jiwa raga Mimi kerahkan untuk merawat bocah nakal ini?" imbuhnya.
banyak yang suka dan menunggu setiap up dr semua cerita mu.
sukses selalu Thor 🙏🏻😍