Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
Bermaksud menolong seorang pria dari sebuah penjebakan, Hanna justru menjadi korban pelampiasan hingga membuahkan benih kehidupan baru dalam rahimnya.
Fitnah dan ancaman dari ibu dan kakak tirinya membuat Hanna memutuskan untuk pergi tanpa mengungkap keadaan dirinya yang tengah berbadan dua dan menyembunyikan fakta tentang anak kembarnya.
"Kenapa kau sembunyikan mereka dariku selama ini?" ~ Evan
"Kau tidak akan menginginkan seorang anak dari wanita murahan sepertiku, karena itulah aku menyembunyikan mereka." ~ Hanna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Evan terkekeh mendengar ucapan polos Sky. Memikirkan betapa dirinya telah melewatkan masa-masa pertumbuhan kedua anaknya yang menakjubkan.
"Apa kau berteman dengan Ozkan?"
Sky dengan cepat menggeleng. Di lingkungan itu tidak ada seorang pun anak yang mau berteman dengannya. "Dia tidak mau berteman denganku, Daddy."
"Kenapa?"
Sky seketika menunduk dan Evan dapat menebak apa yang membuat Sky tidak punya teman. Lingkungan yang buruk dan mereka memandangnya sebelah mata. Selain itu Hanna memiliki pandangan buruk dari orang-orang sekitar
Melihat wajah sedih Sky, Evan pun memeluknya. "Tidak apa-apa, Nak. Sekarang kau punya Daddy yang akan memberimu apapun."
"Apapun, Daddy?"
Evan mengangguk. "Ya, apapun. Kau boleh minta apapun yang kau mau. Daddy akan berikan apapun itu."
Sky melukis senyum di wajahnya.
"Apa aku boleh makan kebab setiap hari?" Sebuah pertanyaan yang membuat Evan merasa hatinya bagai disayat-sayat. Rasa bersalah itu kian besar. Selama tujuh tahun ia hidup dalam kemewahan tanpa kekurangan apapun, sementara Hanna dan anak-anaknya hidup dalam kekurangan.
"Tentu saja, Nak. Kapan pun kau mau. Di bawah ada seorang koki, kau boleh minta dibuatkan makanan apapun olehnya."
"Daddy ... Apa aku boleh memintaya sekarang?"
"Kau lapar, Nak? Kenapa tidak beritahu sejak tadi?"
Evan baru tersadar, Sky mungkin belum makan apapun sejak siang tadi. Ia lantas mengeluarkan ponsel dari saku jas dan menghubungi Osman.
"Tolong minta mereka siapkan makanan yang enak secepatnya," ucap Evan sesaat setelah panggilan terhubung.
"Baik, Tuan," jawab Osman.
_
_
_
_
Malam sudah larut menyisakan kesunyian. Hanna masih duduk di sisi pembaringan Star. Setelah makan malam, ia tak berpaling sedikit pun dari sisi putrinya.
Pintu kamar terbuka, yang membuat perhatian Hanna sejenak teralihkan. Evan baru saja masuk selepas menidurkan Sky, setelah bercerita tentang banyak hal.
"Kau tidak istirahat?"
"Aku mau menjaga Star. Dia akan menangis saat terbangun."
Evan meraih sebuah kursi dan duduk di hadapan Hanna. Tangannya mengulur, merapikan rambut yang berada di sekitar wajah dan menyelip ke belakang telinga, dan hal itu membuat Hanna berdebar. Dalam hati bertanya, ke mana Ervan Maliq Azkara yang dulu sangat membenci dirinya dan kerap menghinanya dengan kalimat yang kasar?
“Setidaknya kau juga harus istirahat. Lihat, wajahmu sudah mulai pucat. Aku yang akan menjaga Star dan akan membangunkanmu begitu dia mencarimu.”
“Aku akan istirahat nanti."
"Dasar keras kepala."
Hanna menatap Evan. Ia masih memiliki keraguan, apakah tinggal di rumah Evan akan membuat anaknya aman dari jangkauan orang jahat.
"Tadi aku bertemu Cleo di rumah sakit. Dia mengancam akan menyakiti anak-anakku. Bisakah kau melindungi Sky dan Star dari jangkauan Cleo?"
"Kau tenang saja, aku sudah bereskan mereka. Maafkan aku ... Aku baru tahu apa yang selama ini dilakukan Cleo dan ibunya padamu. Mereka menjualmu ke klub malam. Dan bodohnya aku mempercayai saat Cleo mengatakan hal buruk tentangmu."
"Sebenarnya aku tidak peduli pada mereka. Tapi ... kau apakan mereka? Kau tidak membunuh mereka, kan?" Evan terkekeh, tetapi membuat Hanna menatap penuh tanya.
"Aku tidak tahu. Itu urusan Osman dan anak buahnya."
Hanna pun terdiam. Ia tak lagi bertanya apapun meskipun merasa penasaran.
"Hanna, sebenarnya ada yang mau aku tanyakan padamu."
"Apa?"
"Kenapa malam setelah kejadian itu kau pergi begitu saja dan tidak menungguku bangun?"
****