Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Rayuan yang Membelenggu
Suasana di rumah sakit sangat tamai. Meski begitu terasa begitu sunyi bagi Naura.
Hujan deras mengguyur desa, menciptakan irama monoton yang terdengar menenangkan tetapi juga menekan perasaan.
Keputusan yang ia buat semalam masih terus mengganggunya. Bimo telah memaksanya membuat pilihan berat demi menyelamatkan ayahnya.
Namun, keputusan itu juga membuatnya merasa seperti kehilangan dirinya sendiri.
Malam itu di depan kamar rawat inap sanv Ayah, Naura tampak gugup yang bahkan tak berhenti mondar-mandir menunggu pemeriksaan dokter.
Tak lama kemudian Bimo muncul dari kejauhan dengan langkah tergesa-gesa.
"Naura, bagaimana kondisi Ayahmu?" tanyanya.
Naura terkejut dengan kedatangan Bimo. Sebelum ini gadis ini tidak pernah merasa sedikitpun diperhatikan oleh suaminya.
Namun berbeda dengan hari ini. Bimo datang menjenguk. Ia bahkan datang ditemani seorang sopir pribadi yang membantu membawa beberapa oleh-oleh.
"Masih diperiksa, Mas. Semoga saja tidak terjadi apa-apa," sahut Naura.
Gadis itu terlihat lesu, kurang tidur akibat wara-wiri dari kota ke desa. Keadaan memaksanya sigap saat dibutuhkan oleh keluarganya.
Bagaimana tidak? Naura adalah anak satu-satunya yang juga menjadi tulang punggung keluarganya.
Tak lama kemudian seorang berjas putih yang diyakini sebagai dokter yang merawat Ayah Naura keluar ruangan ditemani dua orang perawat.
"Permisi, Dok. Bagaimana kondisi beliau?" tanya Bimo.
Dari caranya berbicara, ia terkesan sopan dan sangat santun. Membuat siapapun yang diajak bicara segan.
"Sudah membaik. Hanya saja, saya sarankan jangan terlalu banyak pikiran. Jangan juga dibuat kaget. Biar bisa cepat pulih," ungkap sang dokter. Kemudian berjalan melewati Naura dan juga Bimo yang masih berdiri di ambang pintu.
"Ayo temui Ayah!" ajak Bimo.
Tangannya seketika meraih jemari lentik Naura, lalu melenggang dan duduk tepat di kursi yang berada di dekat ranjang.
Bimo merasa iba menyaksikan Ayah Naura tampak terlelap dengan wajah lelah sembari menahan sakit. Terlihat dari caranya merintis dan sesekali meringis sambil sesekali meraba dadanya sendiri.
Bahkan, beberapa peralatan medis masih menacap di bagian dada dan anggota tubuhnya yang lain. Seperti apa kondisinya? Parah? Mungkin.
Menyaksikan kondisi Ayahnya membuat Naura kembali membuka hati untuk Bimo—suaminya.
"Naura, mungkin sebaiknya kita duduk di luar. Ayah sedang istirahat, kita hanya akan mengganggunya jika berada di dekat sini." Bimo langsung beranjak berdiri, kemudian menggenggam tangan Naura.
Ini kali pertamanya perasaan Naura yang sebelumnya hancur oleh pengakuan para wanita yang mengaku dekat dengan suaminya sedikit membaik.
Wajahnya terlihat lebih tenang. Meskipun tampak masih pucat pasi karena lelah.
"Kamu gak lapar? Kita makan dulu sambil nunggu ibu kamu," bujuk Bimo berusaha memecahkan keheningan.
"Nanti ibu nyari, katanya tadi cuma sebentar," tolak Naura yang kemudian memilih untuk duduk.
Bimo mendengkus pendek, kemudian ikut duduk menunggu. Mungkin saja ini adalah salah satunya caranya merayu.
Sementara sang sopir tampak duduk bersandar menunggu, dengan beberapa bingkisan yang sebelumnya di bawa yang masih berada di sebelah sopir itu duduk.
Tanpa mereka sadari, tak lama kemudian ibu Naura kembali sambil menenteng beberapa barang belanjaan.
Sang sopir akhirnya memilih berdiri, seakan sengaja mendahului tuannya untuk mengambil alih membawakan barang belanjaan ibu Naura.
"Bu, permisi ... maaf, Naura belum makan, bolehkah saya ...."
Bimo belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tapi sudah disambut senyum sumringah dan anggukan kepala oleh ibu Naura.
"Sudah, sana pergi. Biar ibu yang jaga Bapak. Malam ini kalian menginap di rumah saja ya?" Ibu Naura yang baru saja saling bertatapan dengan sang sopir akhirnya bertanya untuk memastikan.
"Baik, Bu," jawab Bimo cepat.
Ia bahkan tidak butuh persetujuan Naura. Mungkin ia sudah menganggap gadis itu sudah memaafkan dirinya. Terlebih ia sudah menunjukkan perilaku baik dua hari terakhir.
"Saya antar," kata sang sopir menawarkan jasa dan berbicara dengan kepala tertunduk.
Seolah sengaja memberikan kesan, jika Bimo sangat dihormati oleh beberapa anak buahnya.
"Tidak perlu, kamu cari saja penginapan dekat sini. Saat mau keluar berdua saja dengan istri saya," tandas Bimo.
"Ya, Pak." Lalu sopir itu pergi meninggalkan rumah sakit setelah membawa masuk oleh-oleh untuk keluarga Naura yang sejak tadi teronggok di kursi tunggu.
****
Beberapa menit berselang, setelah Bimo dan Naura sampai di lahan parkiran. Pria itu berlari mendekati mobilnya, membukakan pintu untuk Naura.
"Silahkan Nau," katanya lengkap dengan tangan membentuk gestur mempersilahkan.
Ia sangat paham bagaimana caranya membuat wanita nyaman. Perdetik itu. Kepercayaan narkoba kembali pulih.
Wanita mana yang tidak suka diperlakukan sebagai seorang putri di kerajaan?
Setelah Naura masuk, Bimo langsung menginjak pedal gas. Membawa istrinya berkeliling jalanan pedesaan.
"Naura, mau coba hilangin penat enggak?" tanyanya ragu-ragu.
Gadis itu menoleh dengan ekspresi bingung.
"Mau, tapi caranya gimana?"
Bimo langsung menepi, setelah itu ia memasang seatbelt untuk istrinya. Jarak keduanya sangat dekat, aroma harum parfum Bimo menguar kuat. Membuat gadis di sisinya terbius dalam waktu sesaat.
Kemudian, mobil mulai melesat diiringi teriak ketakutan Naura. Seruan panik itu sesekali membuat Bimo menurunkan kecepatan mobil, walaupun beberapa menit setelahnya ia kembali melesat melewati jalanan desa yang sepi.
Suara teriakan, perlahan berubah diselingi tawa yang berderai.
"Aku tahu rasanya dikecewakan, Naura. Ya, aku dulu bahkan sempat inginkan menghilang dari kecurangan dunia, di saat itu kamu datang mengubah sudut pandangku. Jangan tinggalin aku, Nau," rayu Bimo yang kemudian memelankan laju mobilnya dan menepi di deretan pedagang kaki lima.
"Tergantung bagaimana cara mas memperlakukan aku," sahut Naura kemudian.
*
Bima menyodorkan segelas teh hangat kepadanya, wanita kesayangannya kini duduk menunggu pada kap mobil di pinggir jalan.
Bisa jadi ini adalah pertama kalinya Naura merasa begitu dekat dan dimana oleh suaminya.
Jemari gadis itu masih gemetar menahan ketakutan akibat ulah suaminya baru saja. Hingga isi gelas nyaris tumpah akibat terguncang.
Bimo yang sigap langsung menggenggam buku jemari lentik itu, sengaja membantunya memegangi gelas kaca yang sebenarnya masih panas.
Bimo pikir, istrinya akan marah disentuh begitu. Bahkan kemungkinan terburuknya melempar gelas atau menamparnya.
Kemudian ia terhipnotis oleh kecantikan Naura saat gadis dengan wajah kacau itu mengangkat pandangan kepadanya.
"Mas, Bimo."
"Ya, Nau," sahutnya cepat.
"Boleh ya, aku kerja lagi. Hanya untuk menghilangkan setres," katanya. Membuat senyum di wajah Bimo akhirnya memudar.
"Kita bicarakan lagi nanti. Makan bakso atau nasi goreng dulu yuk!" ajak Bimo mencoba mencairkan suasana.
Selanjutnya keduanya menyantap makan malam mereka sambil menikmati angin.
Bimo bahkan merelakan kap mobilnya menjadi tempat duduk ternyaman, menjadi saksi salah satu kebaikan Bimo sambil menikmati angin malam.
Pilihan itu terasa seperti belenggu yang semakin menjerat hati dan pikiran gadis itu. Meski begitu ia merasa damai sejenak. Naura menutup matanya, mencoba mencari jawaban. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan