NovelToon NovelToon
Contracted Hearts

Contracted Hearts

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Nikah Kontrak / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Chu-Chan

Lyra terpaksa cuti dari pekerjaannya untuk menjenguk neneknya yang sakit di kota N, hanya untuk menemukan bahwa neneknya baik-baik saja. Alih-alih beristirahat, Lyra malah terlibat dalam cerita konyol neneknya yang justru lebih mengenalkan Lyra pada Nenek Luna, teman sesama pasien di rumah sakit. Karena kebaikan hati Lyra merawat nenek-nenek itu, Nenek Luna pun merasa terharu dan menjodohkannya dengan cucunya, seorang pria tampan namun dingin. Setelah nenek-nenek itu sembuh, mereka membawa Lyra bertemu dengan cucu Nenek Luna, yang ternyata adalah pria yang akan menjadi suaminya, meski hanya dalam pernikahan kontrak. Apa yang dimulai sebagai perjanjian semata, akhirnya menjadi permainan penuh teka-teki yang mengungkap rahasia masa lalu dan perasaan tersembunyi di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chu-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 12

Semakin jauh mereka melangkah, gang yang mereka masuki semakin sempit dan gelap. Melihat situasi itu, Lyra segera menghentikan langkahnya. Nalurinya menyuruhnya untuk berbalik dan keluar dari sana, tetapi sayangnya jalan keluar sudah diblok oleh pria-pria asing yang menghadang mereka. Lyra menggenggam erat tangan Aira, merasakan ketakutan sahabatnya melalui jemarinya yang gemetar.

"Lyra," panggil Aira lirih, hampir tidak terdengar di tengah ketegangan.

"Berdirilah di belakangku," pinta Lyra tegas sambil menarik tangan Aira, memposisikannya di belakang tubuhnya yang lebih kecil namun terlihat tangguh.

Salah satu pria maju selangkah, bibirnya melengkung dalam seringai sinis. "Kalian mau lari ke mana lagi?"

Lyra melirik ke sekeliling dengan cepat, matanya menyapu setiap sudut gang sempit itu. Sebuah potongan pipa berkarat tergeletak di sampingnya, dan tanpa ragu, Lyra meraihnya. Ia berdiri tegak dengan kedua tangannya menggenggam pipa itu erat, tubuhnya bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

"Serahkan gadis itu, aku akan melepaskanmu," ucap pria itu, nadanya meremehkan.

Lyra melirik sekilas ke arah Aira yang berdiri kaku di belakangnya.

"Apa mungkin Aira pernah menyinggung orang-orang ini? Atau... dia seorang putri kaya raya yang menjadi target penculikan?" pikir Lyra, mencoba mencerna situasi yang tidak masuk akal ini.

"Ini kejahatan. Kalian sedang melakukan penculikan, dan tahu kan hukuman berat menanti kalian?" suara Lyra terdengar tenang, namun penuh ancaman.

Pria itu tertawa pendek, jelas tidak terintimidasi. "Baiklah, kalau kau tidak mau menyerahkan gadis itu, jangan salahkan kami jika kami bertindak kejam."

"Bagaimana bisa aku membawa diriku ke situasi seperti ini? Rasanya aku ingin menyerah saja dan pulang. Tapi, sialnya, tubuhku justru memilih melawan," batin Lyra sambil menarik napas panjang.

Beberapa pria maju mendekatinya. Namun Lyra, yang telah menguasai bela diri sejak kecil, tidak semudah itu ditaklukkan. Dengan cekatan, ia menghindari serangan mereka, lalu menghantamkan pipa yang dipegangnya ke arah salah satu pria dengan kekuatan penuh. Ia terkejut sekaligus lega melihat keterampilannya akhirnya berguna di dunia nyata.

Satu per satu, para pria itu tumbang. Nafas Lyra memburu, tetapi ia tidak terluka. Ia menatap tajam sisa preman yang masih berdiri, mengangkat pipanya lagi sambil berkata, "Majulah jika kalian ingin kuhajar."

Namun, satu pria yang tersisa melangkah mundur ke arah Aira. Dalam sekejap, ia menangkap tubuh Aira dan menempatkan pisau tepat di lehernya. Aira tersentak, wajahnya pucat pasi.

"Lyra," panggil Aira dengan suara gemetar.

Pria itu menyeringai. "Lepaskan pipa itu, lalu angkat tanganmu. Kalau tidak, gadis ini akan terluka."

Lyra tidak punya pilihan. Dengan perlahan, ia meletakkan pipa itu di tanah dan mengangkat kedua tangannya. Tetapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, salah satu preman maju dan melayangkan tamparan keras ke pipinya, membuat wajah Lyra terpelanting ke samping.

"Anak kecil sepertimu berani macam-macam dengan kami?" ejeknya sambil menjambak rambut Lyra dengan kasar, menariknya hingga Lyra merintih kesakitan. Ia kemudian menendang perut Lyra dengan keras, membuat tubuhnya terpental ke tembok.

Darah mengalir dari sudut bibir Lyra. Tubuhnya terasa remuk, tetapi ia tetap berusaha bangkit. Namun, pria itu mendekatinya lagi dan menginjak tangannya dengan brutal.

"Lihatlah, di mana keberanianmu tadi?" tanya pria itu sarkastik, menekan kakinya lebih kuat hingga Lyra menjerit.

"Lyra! Aku mohon, jangan sakiti dia!" jerit Aira dengan tangis histeris.

"Diam!" bentak pria yang memegang Aira sambil menempelkan pisau lebih erat ke lehernya.

"Aku sudah memberi pilihan untuk pergi. Tapi kau, sok jadi pahlawan kesiangan. Ini yang kau dapatkan," pria itu mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum kembali menghantam tubuh Lyra yang sudah lemah.

Di tengah rasa sakit yang menghujam, Lyra hanya bisa memikirkan satu hal. "Apakah ini akhirnya? Jika iya, setidaknya Aira harus selamat," batinnya sebelum pandangannya mulai kabur.

Tiba-tiba, pria yang menodongkan pisau ke arah Aira meringis kesakitan. Sebuah batu melesat tepat ke tangannya, membuat pisau itu terlepas dan jatuh ke tanah.

Aira, yang melihat peluang itu, dengan cepat memungut pisau tersebut. Tangannya gemetar saat ia mengacungkan pisau ke segala arah.

"Jangan mendekat, atau aku akan melakukan sesuatu kepada kalian!" ancamnya, meski suaranya terdengar gugup.

Dari kejauhan, seorang pria muncul. Dialah yang tampaknya telah melempar batu ke arah tangan preman tadi. Tatapan tajamnya membuat para preman langsung memasang sikap waspada.

"Siapa kamu?" tanya salah satu preman dengan suara geram.

Pria itu tersenyum tipis. "Siapa aku? Itu bukan urusan kalian." Dengan gesit, ia langsung melumpuhkan beberapa preman yang mencoba menyerangnya. Tubuhnya bergerak lincah, seolah pertarungan ini adalah hal biasa baginya.

Di saat yang sama, Aira bergegas menghampiri Lyra, membantu sahabatnya yang masih terbaring lemah untuk berdiri. Sementara itu, pria misterius itu terus melawan preman lainnya, sesekali mundur mendekati kedua wanita itu.

"Aku akan membuka jalan untuk kalian," ucapnya dengan nada tegas.

"Pergilah dan cari bantuan. Aku akan menahan mereka di sini, mengulur waktu."

Aira membimbing Lyra yang masih terhuyung-huyung. Meskipun tubuhnya terasa lemah, Lyra enggan meninggalkan pria itu sendirian. Namun, ia sadar bahwa mereka hanya akan menjadi beban jika tetap bertahan di sana. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk pergi.

Sebelum pergi, Lyra menggapai tangan pria itu. Matanya mengamati wajahnya dengan seksama dan teringat sesuatu.

"Kau... pria yang kutabrak tadi saat aku berlari dari kejaran mereka," ucapnya dalam hati.

Dengan tangan gemetar, Lyra melepas kalung yang selalu ia kenakan dan meletakkannya di tangan pria itu.

"Anggap ini jimat pelindung. Aku selalu memakainya saat menghadapi sesuatu yang sulit. Bertahanlah, aku akan kembali membawa bantuan," ujarnya lirih.

Setelah itu, Aira dan Lyra berlari meninggalkan gang sempit itu, mencari pos polisi terdekat. Tak butuh waktu lama, mereka menemukan sebuah pos polisi setelah keluar ke jalan besar. Dengan panik, mereka melaporkan kejadian tersebut dan meminta polisi untuk segera membantu pria yang telah menyelamatkan mereka.

Beberapa petugas polisi bergegas menuju lokasi yang dijelaskan oleh Lyra dan Aira. Sementara itu, kedua gadis tersebut diminta menunggu di kantor polisi. Seorang polwan datang untuk mengobati luka-luka di tubuh Lyra.

Tak lama kemudian, kabar datang bahwa polisi berhasil meringkus preman-preman itu. Namun, pria yang mereka ceritakan tidak ditemukan di lokasi. Yang tersisa hanyalah para preman dalam keadaan terikat.

Saat Lyra dan Aira masih merenungkan kejadian itu, seorang pria paruh baya tiba-tiba memasuki kantor polisi dengan wajah cemas. "Aira! Aira!" panggilnya dengan nada penuh kekhawatiran.

Aira segera mengenali suara itu. "Ayah!" serunya sambil berlari ke arahnya. Gadis itu memeluk pria tersebut erat, dan sang ayah membalasnya dengan pelukan yang hangat. Tetesan air mata terlihat di sudut mata pria itu, menunjukkan betapa takut dan khawatirnya ia.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil mengusap kepala Aira.

"Iya, Ayah. Aku baik-baik saja," jawab Aira, lalu menunjuk ke arah Lyra. "Lyra yang melindungiku, tapi sekarang dia terluka."

Sang ayah menatap Lyra dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Nak Lyra. Aku benar-benar berhutang budi padamu."

Setelah semua laporan selesai, polisi akhirnya mengizinkan mereka pulang. Aira meminta ayahnya untuk mengantar Lyra ke rumah sakit, tetapi Lyra menolak dengan lembut.

"Aku hanya ingin pulang. Aku akan baik-baik saja," ujarnya sambil tersenyum, meski Aira tahu sahabatnya sedang menahan rasa sakit.

Melihat tetap Lyra ngotot, ayah Aira menawarkan untuk mengantarnya pulang. Dengan rasa terima kasih, Lyra menerima tawaran itu.

Di dalam mobil, Aira menggenggam tangan Lyra erat. Kepalanya bersandar pada bahu Lyra, terlelap pulas seolah tak ingin jauh darinya. Lyra menatap wajah Aira yang tenang dalam tidurnya, menyadari betapa melelahkan hari ini bagi sahabatnya itu. Tanpa mengganggu Aira, Lyra membiarkannya bersandar, memandang keluar jendela.

Pikirannya melayang kepada pria yang tadi menyelamatkan mereka. Ia merasa belum sempat mengucapkan terima kasih, tetapi ia telah memberikan kalung kesayangannya sebagai simbol rasa terima kasihnya.

“Maafkan aku,” suara berat memecah keheningan.

Lyra menoleh ke depan, melihat ayah Aira, pria paruh baya yang duduk di kursi penumpang depan.

“Ibu Aira meninggal saat ia masih kecil,” pria itu melanjutkan dengan nada penuh penyesalan.

“Sejak itu, Aira berubah. Dia tidak pernah menunjukkan kesedihan di depanku, selalu berusaha terlihat ceria. Padahal, aku tahu ia memendam semuanya sendiri. Aku terlalu sibuk dengan urusan sebagai gubernur. Mungkin, dia merasa tak ingin membebaniku lebih lagi.”

Penjelasan itu membuat Lyra terdiam. Ia kini paham mengapa Aira begitu independen dan tertutup. Tatapannya beralih kepada Aira yang masih tertidur di bahunya, bibirnya bergerak pelan, menggumamkan, “Dasar gadis bodoh.”

Ayah Aira melanjutkan ceritanya, mengenang insiden penculikan yang pernah dialami Aira.

“Beberapa tahun lalu, dia diculik oleh sainganku. Mereka mengurungnya di sebuah hotel dan mengancamku. Saat itu, aku baru mencalonkan diri sebagai gubernur. Dengan bantuan koneksi, aku menemukannya. Aku membawanya keluar dengan menutup wajahnya dengan jaket, tetapi ternyata seseorang memotret kami. Rumor kejam mulai beredar, menyebut Aira menjual dirinya kepada pria tua. Aku mencoba menjelaskan, tapi Aira menolak. Dia takut identitasnya sebagai anak gubernur terungkap. Akhirnya, aku memindahkannya ke sekolah baru.”

Mendengar kisah itu, Lyra menyesali prasangkanya selama ini. Dalam hati ia berbisik, “Ternyata, semua yang dia lalui jauh lebih berat daripada yang kupikirkan.”

Ayah Aira tersenyum tipis, mengenang hari-hari ketika Aira mulai bersahabat dengan Lyra. “Aira sering menceritakanmu kepadaku, Lyra. Katanya, kau gadis berwajah datar yang selalu ada untuknya. Aku lega dia akhirnya punya teman dekat.”

Ucapan itu membuat pipi Lyra memerah malu. Ia tak menyangka dirinya menjadi topik pembicaraan Aira.

“Terima kasih sudah melindungi Aira,” lanjut pria itu dengan tulus. “Aku harap kalian bisa terus berteman baik.”

Lyra mengangguk pelan, menjawab dengan suara lembut, “Aku akan menjaga Aira, Paman. Bahkan, aku ingin mengajarinya bela diri agar dia bisa melindungi dirinya sendiri.”

Setelah percakapan singkat itu, mereka tiba di depan kontrakan Lyra. Saat Lyra hendak membangunkan Aira, gadis itu menggeliat pelan dan membuka matanya.

“Oh, maaf, aku membangunkanmu,” ujar Lyra.

“Sudah sampai?” tanya Aira sambil mengucek matanya.

“Iya, sudah. Aku akan turun,” balas Lyra.

Namun, Aira meraih tangan Lyra dengan manja. “Kamu nginap di rumahku saja, ya?” pintanya dengan nada merengek.

Lyra tersenyum canggung dan mencoba menjelaskan bahwa ia harus pulang. Namun, Aira tak mau menyerah. Gadis itu memberikan ide brilian.

“Kalau begitu, aku saja yang menginap di tempatmu!” Dengan tatapan manis yang tak bisa ditolak, Aira berhasil membuat Lyra menyerah.

Akhirnya, Lyra menyadari pesona Aira. Di balik sikap kuat dan mandirinya, Aira bisa begitu manja kepada orang yang dipercayainya. Tidak hanya Lyra, bahkan ayahnya pun tak mampu menolak permintaannya.

Sejak saat itu, menginap di rumah Lyra menjadi kebiasaan bagi Aira. Tak jarang, ia tinggal hingga berbulan-bulan. Karena tak ingin merepotkan, ayah Aira bahkan membayar uang kontrakan Lyra penuh hingga lulus sekolah. Persediaan makanan pun selalu tersedia. Bagi Lyra, sahabatnya itu memang gadis yang merepotkan, tapi ia jadi tertolong karena ia tidak perlu memikirkan uang untuk hidup sehari-hari lagi.

***Flashback End***

1
Yuliasih
kpn nie d up nya...
Yuliasih
keren
Chu-Chan
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!