seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 31
Setelah mengantar Ayana pulang dari taman kota, Biantara berhenti di depan rumah Raka. Rumah itu dipenuhi cahaya lampu yang hangat, dan dari jendela terdengar suara gelak tawa yang membuat suasana terasa begitu nyaman. Ketika Ayana masuk, Biantara mengikuti, dan pemandangan di ruang tamu membuatnya terkejut.
Di ruang tamu, Zhang Ziyi terlihat sedang bercanda dengan anak-anak Rumi dan Gema, kedua anak Raka. Rumi tertawa terbahak-bahak, sementara Gema tampak terpukau mendengarkan cerita Ziyi dengan mata berbinar. Raka berdiri di sudut ruangan, tersenyum tipis sambil memegang secangkir kopi, menikmati kehangatan keluarganya.
Biantara melangkah masuk dengan alis terangkat
"Ziyi, apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini? Bukannya kamu kembali ke apartemen?"
Ziyi tanpa menoleh, tetap fokus bermain dengan Gema
"Apartemenmu itu terlalu jelek. Dingin, membosankan, dan sama sekali tidak ada hiburan. Aku hampir mati kebosanan di sana."
Biantara mendengus, mencoba menahan tawa. Ziyi memang terkenal dengan kelakuannya yang suka seenaknya, tetapi kehadirannya selalu berhasil menghidupkan suasana.
Mendengar itu Biantara berusaha terdengar tegas, tapi ada nada geli
"Dan kamu pikir tidur di rumah orang lain tanpa izin itu solusi? Bagaimana kalau bang Raka merasa terganggu?"
Raka tersenyum santai, mengangkat bahu
"Tidak apa-apa, Bi. Ziyi justru membuat rumah ini lebih hidup. Anak-anak juga senang dengannya."
Biantara melirik Ayana, yang berdiri di sampingnya dengan senyum kecil. Ayana tampak lebih rileks setelah hari yang melelahkan, meskipun matanya masih menyiratkan kelelahan emosional. Biantara merasa lega melihat senyuman itu.
Ziyi akhirnya menoleh dengan senyum penuh kemenangan
"Lihat? Aku diterima dengan tangan terbuka di sini. Kamu harus belajar dari Raka. Sedikit lebih santai, mungkin?"
Biantara tidak mau kalah, menyilangkan tangan di dada
"Baiklah. Kalau begitu, aku juga akan menginap di sini. Bagaimanapun, aku bagian dari keluarga Ayana, kan?"
Ziyi tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Biantara, sementara Ayana memandang Biantara dengan mata membelalak, setengah kaget setengah malu. Raka hanya menggeleng sambil tertawa kecil, membiarkan situasi berkembang.
Ziyi menyodok Biantara dengan sikutnya
"Wow, wow, wow. Jadi kamu mau saingan denganku soal siapa yang paling akrab dengan keluarga Raka? Silakan, aku siap bersaing."
dengan nada lembut tapi jelas raka terdengar terdengar senang
"Semakin banyak orang, semakin hangat suasananya. Jadi, tidak ada masalah untukku. Tapi kalian harus tidur di ruang tamu, ya."
Gema dengan nada polos berkata
"Om Ziyi sama Om Bi nggak tidur di kamar Rumi aja? Ada tempat tidur lipat di sana."
Seluruh ruangan dipenuhi tawa setelah ucapan polos Gema. Bahkan Biantara yang biasanya kaku tidak bisa menahan senyumnya. malam yang penuh ketegangan berubah menjadi malam yang hangat, dengan kehadiran Ziyi yang humoris dan Biantara yang perlahan-lahan menyesuaikan diri dengan suasana santai.
Ruang tamu itu terasa begitu nyaman, meskipun sederhana. Sofa empuk berwarna krem yang sudah menjadi favorit keluarga menjadi tempat duduk utama, sementara bantal-bantal kecil berserakan, memberikan nuansa santai. Di sudut ruangan, rak buku penuh koleksi novel menarik perhatian Biantara, tetapi ia terlalu lelah untuk membacanya. Lampu gantung di tengah ruangan memancarkan cahaya hangat yang membuat suasana terasa damai.
Rumi dan Gema, yang awalnya semangat bermain dengan Ziyi, akhirnya tertidur di pangkuan Raka. Raka dengan lembut menggendong mereka ke kamar masing-masing, meninggalkan Biantara, Ziyi, dan Ayana di ruang tamu.
Ziyi meregangkan tubuh dan menjatuhkan diri di sofa panjang
"Ah, akhirnya bisa istirahat. Tapi Bi, aku tetap tidak bisa percaya apartemenmu bisa lebih dingin dari ruangan ini."
Biantara mengangkat alis, lalu duduk di kursi kecil di dekat rak buku
"Setidaknya apartemenku bebas dari suara anak-anak berlarian."
Ayana tersenyum kecil, sambil menata bantal-bantal kecil di lantai
"Mungkin karena kamu terlalu jarang menerima tamu, Bian. Ruangan seperti ini lebih hidup karena ada keluarga."
Biantara tidak menjawab, tetapi matanya melembut saat memandang Ayana yang sibuk memastikan semua orang nyaman. Ia tidak pernah membayangkan akan menghabiskan malam seperti ini—bersama Ayana dan keluarganya, meskipun bukan dalam konteks yang ia harapkan.
Ziyi sambil meletakkan tangan di belakang kepala
"Kalau begitu, mulai besok aku tidak akan pulang ke apartemenmu lagi, Bi. Rumah Raka jauh lebih nyaman. Anak-anak juga lucu. Kurasa aku cocok jadi paman favorit mereka."
Biantara melirik Ziyi dengan pandangan datar
"Kamu tahu, Ziyi, aku bisa membelikanmu apartemen yang lebih besar kalau itu masalahnya."
Ziyi tertawa keras, mengabaikan nada serius Biantara
"Jangan terlalu serius. Kadang kamu harus menikmati hal kecil seperti ini. Lihat Ayana, dia bahkan tersenyum setelah hari yang melelahkan."
Ayana menunduk, menyembunyikan senyumnya. Biantara yang biasanya kaku tampak sedikit terusik dengan komentar Ziyi, tetapi ia tidak membantah. Mereka kemudian mulai menata tempat tidur darurat di lantai—Ziyi di satu sisi sofa, Biantara di sisi lainnya.
Ziyi Tidur dengan gaya seenaknya, satu kaki menjulur ke lantai, sementara tangannya terlipat di dada. Wajahnya yang biasanya penuh humor tampak lebih tenang dalam tidur.
Biantara: Tidur terlentang dengan tangan di belakang kepala. Wajahnya masih menyiratkan ketegangan, tetapi kehadiran Ayana di dekatnya membuatnya sedikit lebih tenang.
Ayana: Tidak ikut tidur di ruang tamu, tetapi sebelum pergi ke kamarnya, ia memastikan bantal dan selimut untuk Biantara dan Ziyi sudah tertata rapi. Saat Ayana berjalan ke kamarnya, ia melirik Biantara sejenak dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Lampu di ruang tamu dipadamkan, menyisakan remang-remang cahaya dari lampu kecil di sudut ruangan. Ziyi sudah terlelap di sofa panjang, tubuhnya tenggelam di antara bantal-bantal kecil yang sempat ia protes sebelumnya. Ia tidur dengan gaya seenaknya—satu kaki menjulur ke lantai, sementara tangannya terlipat di dada. Wajahnya, yang biasa dihiasi dengan senyum lebar dan candaan, tampak lebih tenang dalam tidur. Suara napasnya yang teratur memenuhi ruangan.
Biantara, di sisi lain, belum sepenuhnya terlelap. Ia tidur terlentang di atas kasur lipat di lantai, tangan di belakang kepala, pandangannya menatap langit-langit. Wajahnya masih menyiratkan ketegangan yang tersisa dari hari yang panjang. Namun, ada ketenangan kecil yang mulai merayap ke dalam dirinya, terutama karena Ayana berada di dekatnya, meskipun tidak untuk waktu yang lama.
Ayana, sebelum kembali ke kamarnya, berjalan perlahan memastikan semuanya sudah nyaman. Ia merapikan selimut Ziyi yang setengah terjatuh dan menata bantal tambahan di sekitar Biantara, meski ia tahu pria itu terlalu kaku untuk memanfaatkannya. Saat Ayana melangkah menuju pintu kamar, ia berhenti sejenak, melirik ke arah Biantara.
Tatapannya singkat, tetapi ada kehangatan dan rasa yang sulit dijelaskan. Biantara, yang matanya setengah tertutup, menangkap gerakan itu. Namun, ia tetap diam, memilih untuk tidak memecah momen itu dengan kata-kata. Ketika Ayana menghilang ke dalam kamar, Biantara menghela napas pelan, matanya kini tertutup sepenuhnya.
Ruangan menjadi sunyi. Hanya ada suara napas yang teratur dan suara detak jam dinding yang samar. Meski masing-masing tenggelam dalam dunianya sendiri, ada kehangatan yang tak terucap yang memenuhi ruang itu—sebuah koneksi yang tetap hidup meski dibalut waktu dan jarak.