“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan
Arini masih memeluk Raka. Ia tidak pernah menyangka klien online pertama kalinya adalah Raka. Dulu Arini sangat ingin sekali bertatap muka dengan klien yang bersama Yosan itu, tapi selalu saja gagal. Kegagalan itu yang berulang kali karena Raka yang memang tidak mau bertemu langsung dengan Arini. Ia hanya butuh support dari Arini saja, karena Raka tahu Arini kariernya masih bagus sekali di bidang konselor itu. Sebetulnya bukan hanya konselor pernikahan saja. Arini yang memang menyandang gelar Psikolog Anak, juga kerap ada klien yang konsultasi masalah anaknya. Tidak salah Juna bisa ditaklukkan oleh Arini, padahal Juna dulu anak yang sangat pendiam, sering tantrum tanpa sebab, tapi setelah dekat dan mengenal Arini, dia menjadi lebih baik.
Raka masih berada di pelukan Arini. Nyaman, itu yang Raka rasakan. Bahkan Arini pun merasakan kelegaan dalam hatinya saat memeluk Raka. Mungkin karena Arini ada teman yang senasib dengannya, bedanya Raka yang diselingkuhi istrinya.
“Daddy .... kok peluk-peluk Tante Arin! Jangan dong! Tante Arin itu punya aku!” teriak Juna dengan suara terengah-engah karena berlari. Melihat Daddy nya memeluk Arini, Juna segera berlari menghampiri mereka. Ia tak terima tantenya itu dipeluk Daddy nya.
“Ih kamu gangguin Daddy saja?” ledek Raka.
“Habis Daddy main peluk-peluk Tanteku! Jangan, Tante Arin milikku!”
“Sini-sini jangan marah-marah gitu? Sini peluk Tante.” Arini merentangkan tangannya di depan Juna.
“Daddy sembarangan peluk orang! Sana peluk cewek-cewek Daddy saja! Mana ceweknya gak ada yang cantik lagi!” ucap Juna.
“Sial, kartu kuningku kebuka!” umpat Raka lirih, dan masih terdengar Arini.
“Cewek? Memang Daddy punya cewek?” tanya Arini penasaran.
“Punya, gonta-ganti lagi!” jawabnya dengan memandang Raka kesal.
“Juna ... kamu ini kok gitu? Memang cewek siapa?”
“Itu kemarin di kantor Daddy, ada Tante Mayang, terus kemarinnya ada Tante Siska juga, terus siapa lagi itu, yang kemarin-kemarinnya? Udah gitu ceweknya lagi dipangku Daddy lagi! Makanya aku marah Daddy peluk-peluk Tante Arin!Daddy sudah kena Virus cewek-cewek itu soalnya!”
“Raka ... jadi--?” ucap Arini dengan menggelengkan kepalanya.
“Rin ... aku bisa jelasin!”
“Raka .... kamu ini punya anak lho? Anakmu pintar, kalau mau bawa cewek ya jangan diperlihatkan kemesraanmu?”
“Bu—bukan gitu, Rin! Dia main nyelonong saja masuk ruangan kantor!”
“Ah udah ah, aku mau pergi main lagi, ini urusan orang dewasa!” Juna beranjak dari pangkuan Arini, lalu dia main lagi dengan teman-temannya.
Arini masih tidak percaya, ternyata benar kata Heru selama ini. Raka suka bawa perempuan ke kantor. Juna juga bilang begitu.
“Jangan marah ya, Rin? Sumpah aku Cuma bawa dia buat ....”
“Buat apa?!” potong Arini kesal.
“Ya buat ngilagin penat, buat merelaksasikan otot-otot yang kaku, yang selama ini tidak pernah di relaksasikan?” jawab Raka tanpa dosa.
Plak!!!
Arini memukul lengan Raka dengan keras. Gemas sekali dengan Raka, ingin sekali dia mencabik-cabik Raka, tapi dia sadar, siapa dirinya dan pantas Raka begitu, karena sudah lama menduda.
“Sakit, Arini!”
“Kamu sih suka main perempuan!”
“Sumpah aku gak sampai dalam, Rin! Cuma main-main di luar saja, aku kan bilang buat merelaksasi otot yang lama tegang!”
“Sama saja, Ka! Ternyata kamu begitu, ya?”
“Rin jangan marah dong? Masa kamu marah sih? Iya jujur aku sering sewa perempuan, buat gitu saja, pegang-pegang saja, Rin! Gak serius dan gak aku masukkan ke hati! Kalau udah aku pakai ya gak bakal aku pakai lagi!”
“Tetap saja kamu itu buaya! Sama saja seperti Heru!”
“Beda dong! Dia kan main perempuan sampai ditidurin dan hamil! Lha aku, paling aku pegang, itu pun gak sampai pegang bawahnya. Dia hanya aku suruh buat ngurutin nih adik kecil. Ya di emutin juga sih? Aku bosan main solo, Rin!”
“Kesal aku sama kamu, marah aku sama kamu!” umpat Arini.
“Rin ... paham dong, aku kesepian, aku pengin begitu. Tiga tahun bukan waktu yang singkat, Rin.”
Arini diam, Arini mulai memahami apa yang Raka rasakan. Selama hampir dua minggu saja Arini tidak disetuh Heru saja dia merasakan ada yang kurang, dan tiap keinginan itu datang, Arini hanya bisa main solo dengan alat bantu yang biasa digunakan Heru untuk berfantasi dengannya di atas ranjang.
“Kok diam, Rin?”
“Mau ngomong apa lagi, Ka? Kamu sudah begitu ya terserah kamu sih, itu kan hidup kamu, kamu juga kesepian, aku memaklumi dan mewajarkan. Akan tetapi lebih baiknya, kalau lagi bawa perempuan, pastikan pintu ruangan terkunci, jangan sampai Juna lihat, psikisnya keganggu kalau begitu, Ka!”
“Iya, iya ... lain kali enggak akan terulang lagi, gak akan bawa perempuan lagi juga.”
“Halah ngomong doang paling kamu!”
“Sekarang ada kamu, ngapain bawa perempuan lagi? Mau jadi pacarku?”
“Sembarangan! Aku perempuan bersuami, Ka!”
“Biar saja, toh suamimu tidak mengurusi kamu lagi? Suami kamu selingkuh, sampai hamil pula selingkuhannya!”
“Tetap saja aku masih jadi istri orang, Ka! Lagian ada-ada saja kamu! Dulu aku tembak kamu, aku pengin jadi pacar kamu, kamu nolak? Giliran aku bersuami, kamu mau jadi pacarku?”
“Ya dulu kan ....”
“Aku culun, aku jelek? Gitu? Main fisik sih mandangnya? Gitu kan jadinya?”
“Ngejek nih kamu?”
“Ya gak ngejek, ngepasin saja sih?”
“Dasar kamu tuh, ya!”
Raka mengacak-ngacak rambut Arini dengan gemas. Mereka melanjutkan ngobrol sambil mengawasi Juna yang belum mau pulang, karena masih ingin bermain.
“Rin, aku serius lho dengan ucapanku yang tadi?”
“Yang mana, Ka?”
“Yang minta kamu jadi pacarku.”
Arini membuang napasnya kasar. Bisa-bisa Raka meminta dirinya untuk jadi pacarnya. Raka seolah tahu dirinya kesepian, Raka seolah tahu kalau Heru lebih mentingin selingkuhannya daripada dirinya. Memang begitu kenyataannya, dan Raka menyaksikan sendiri saat semalam Arini bertengkar di jalan dengan Heru, Heru malah memilih Nuri.
“Mau gak? Aku butuh seorang untuk mendampingi hidupku, Rin. Aku ingin kamu. Aku serius bicara gini, Rin. Juna juga maunya kamu, dia selalu minta mommy yang seperti kamu.”
“Ka, tahu posisi aku bagaimana?”
“Iya kamu istri orang, tapi suamimu kan begitu?”
“Apa pun yang dilakukan Heru, tetap saja aku masih jadi istri sahnya. Masa aku balas dia selingkuh? Gak baik dong jadinya? Ditambah profesiku sekarang begini, nanti apa kata orang?”
“Ya biarin saja sih? Kalau karier kamu hancur, kamu bisa berkarier lagi? Jadi Ibu Rumah Tangga dan Istriku yang akan aku bahagiakan? Nyonya Raka, itu gelar barumu!”
“Ngasal sekali kamu kalau bicara! Sukanya begitu dari dulu!” cebik Arini.
“Rin, mau ya? Jadi pacarku, jadi istriku, jadi ibu untuk Juna. Meski Juna bukan anak kandungku, aku sayang banget sama dia, dia butuh kamu juga, Rin.”
Arini menggelengkan kepalanya pelan dengan menatap Raka yang terlihat tulus meminta dirinya untuk menjadi kekasihnya, sekaligus calon istrinya.
“Kamu teman aku, seperti yang kamu mau dulu, kita tetap berteman saja. Jaga pertemanan ini sampai kita tua nanti. Itu yang kamu mau dulu, kan?”
“Itu dulu, beda dengan sekarang. Ceraikan Heru, menikahlah denganku, Rin.”
“Enggak, Ka. Aku gak bisa.”
“Ya sudah kita berteman saja. Teman tapi mesra!”
“Eh ... gak bisa begitu dong!”
“Lihat saja, kau pasti akan jatuh cinta padaku lagi, kau akan jadi milikku, Rin!”
Arini tertawa melihat keseriusan Raka. Bisa-bisanya temannya itu ngelantur bicaranya. Meski terlihat serius, tetap saja Arini tidak menganggap serius.
“Pede kamu, Ka! Sudah ah pulang, yuk?”
Raka mengangguk, memang sudah harus pulang, karena mereka sudah lama di taman. Juna juga sudah ingin pulang. Sebelum pulang mereka berfoto bertiga di taman, dengan menggunakan mahkota bunga dan ilalang yang Raka buat. Terlihat seperti keluarga yang bahagia sekali. Mereka mengunggah fotonya ke cerita sosial media mereka. Arini tidak masalah, karena semua orang tahu Raka siapa, dan kedekatan mereka sebagai seorang sahabat pun sudah banyak diketahui orang. Apalagi Raka sering ke kantornya, mengantar Juna yang ingin bertemu dengannya.