Naas, kemarin Ceren memaksa hatinya untuk menerima Gilang, si teman sekolah yang jelas-jelas tidak termasuk ke dalam kriteria teman idaman, karena ternyata ia adalah anak dari seorang yang berpengaruh membolak-balikan nasib ekonomi ayah Ceren.
Namun baru saja ia menerima dengan hati ikhlas, takdir seperti sedang mempermainkan hatinya dengan membuat Ceren harus naik ranjang dengan kakak iparnya yang memiliki status duda anak satu sekaligus kepala sekolah di tempatnya menimba ilmu, pak Hilman Prambodo.
"Welcome to the world mrs. Bodo..." lirihnya.
Follow Ig ~> Thatha Chilli
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MDND ~ Bab 17
Bersama dengan hati yang mendadak khawatir, Ceren mempercepat langkahnya sembari mengedarkan pandangan siapa tau berpapasan sebelum ia benar-benar sampai di toilet.
"Lang!" namun hingga ia berada di depan bilik toilet, Ceren tak jua menjumpai Gilang, dari sana ia cukup dibuat kebingungan karena toilet terbagi menjadi dua gender, dan tak mungkin jika ia nyelonong masuk toilet pria.
Yang dilakukan Ceren adalah berdiri menunggu Gilang, karena ia yakin Gilang masih berada di dalam sana, "ini si Gilang bok3r atau nanem granat sih? Lama amat..." Ceren mulai mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Gilang.
***
Gilang membasuh wajahnya berharap rasa segar kembali menyerbu rasa-nya. Jujur saja, raganya terasa lelah, please raga! Jangan sekarang! Disaat ia tengah menikmati waktu bersama seseorang yang baru saja ia temukan untuk sang hati. Ayolah, bekerja samalah!
Ia berkali-kali menghela nafas dan menundukan kepala, membiarkan cairan kental merah itu meluncur bebas dari hidungnya. Mungkin saat ini beberapa pengunjung pria yang sama-sama berada dalam toilet menatapnya keheranan, namun ia tak peduli akan itu. Segera saja ia memutar kran dan membasuh wajahnya lagi, ketika tetesan da rah mulai berkumpul di wastafel sana.
Ddrttttt----
...Bojo anyar 💞...
...Memanggil.........
Gilang menatap wajahnya di cermin barang sejenak, dan langsung berlalu menahan rasa sakit yang mendera, agar Ceren tak menunggu lebih lama lagi.
Ceren langsung menoleh ketika pintu toilet pria terbuka, namun bibirnya melengkung kecewa saat mendapati bukan Gilang yang keluar.
"Ck. Lang...Gilangggg!" teriaknya tak peduli jika mendapatkan tatapan mengejek orang-orang yang berkata bahwa gadis ini tak waras karena teriak-teriak sendiri di depan pintu toilet pria.
Wajah yang tersenyum geli itu basah kuyup.
"Kamu mandi?!" tanya Ceren.
Gilang hanya terkekeh, "niatnya cuma cuci muka, agak panas ya, disini?" ucapnya sama sekali tak membuat Ceren terkesan dan justru membuat gadis ini mengerutkan dahi dengan sorot mata getir.
"Loh, makanan kita mana? Udah pesen kan?" tanya Gilang melihat tangan Ceren yang bebas tak jua mendapat jawaban dari Ceren.
"Kamu lagi ngapain?" tanya nya nanar, "ngga usah nyari-nyari alesan buat bohong...." lantas Ceren meraih paksa tangan Gilang dan tersenyum miring, "panas, hm..."
"Kamu sengaja nunda kemo kamu cuma buat jalan sama aku? Biar apa? Kita ke rumah sakit sekarang." ajak Ceren menarik tangan Gilang agar keluar dari gerai menuju parkiran.
"Cer..." panggil Gilang tergusur oleh tarikan Ceren keluar dari gerai, keduanya berjalan sedikit cepat menuruni eskalator, membelah para pengunjung mall lain.
"Ceren," panggilnya lagi, namun Ceren seolah tuli dan lebih memilih sibuk mengomel, "bodo banget! Udah tau mesti kemo malah ngajak jalan!"
"Jalan tuh bisa kapan-kapan, punya suami sebe go ini!" omelnya lagi, Gilang tidak marah, hanya kini ia tersenyum getir, awalnya ia berharap jika Ceren orangnya, maka ia akan baik-baik saja saat ia sedang dalam kondisi begini, tapi rupanya Ceren mulai menganggapnya ada sebagai seseorang yang patut diperhatikan.
"Ceren!" panggilnya lagi lirih namun tak keras.
"Apa?!" kini gadis itu menoleh dengan tatapan sengit dan membentak, ia marah Gilang mengesampingkan kesehatannya, namun sejurus kemudian ia membeliak panik, "astaghfirullah!" lelehan merah itu rupanya masih mengucur dan kini justru terjadi di depan Ceren.
Gilang segera menyeka itu dengan lengan jaketnya yang bebas sementara tangan lainnya masih digenggam Ceren, "ngga apa-apa, Ren. Aku ngga apa-apa."
Ceren melepaskan tangan Gilang dengan sorot mata syok dan tak tau harus berbuat apa, bahkan kini netranya sudah berkaca-kaca.
"Yuk pulang." Ajak Gilang bergantian.
~Ceren~
Bahkan di kondisi begini Gilang masih mau terlihat tegar di depannya, seolah peristiwa ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan padahal ia saja sudah kelimpungan panik. Entah ia yang so hebat atau memang pemikiran Gilang selalu seegois itu.
"I'm only create memory, Ren."
Kata-kata itu terus terngiang di dalam otak dan pendengaran Ceren, hingga tak terasa kini rintik hujan sudah melanda hatinya di dalam sana.
Karena aku kepala keluarga, aku imamnya, aku suami, maka aku yang harusnya berperan melindungi dan mengambil kendali.
Diantara rasa sakit yang mendera ia masih memimpin langkah menuju parkiran. Berkali-kali Ceren membuang nafas berat, tak kuat untuk tak melelehkan cairan panas dari matanya. Hatinya terasa terpukul hebat melihat Gilang seperti ini.
"Lang," panggilnya lirih dengan nada bergetar, namun Gilang nampak tegap menggenggam tangannya di samping Ceren, "aku ngga apa-apa, sayang..." ia tersenyum, "boleh aku panggil sayang?"
Ceren justru sudah berurai air mata meskipun kemudian tangannya segera menghapus itu karena sadar tempat.
Langkah cepat itu kemudian berubah menjadi berlari kecil sampai parkiran, Ceren bahkan dengan refleks berteriak pada pak Yana, "pak Yana, bukain pintunya!"
Pak Yana yang terbangun dari lelapnya, memaksa kesadarannya melihat kondisi lemah Gilang, "ya Allah gusti!"
"Pak, ke rs..." ujar Ceren setia menggenggam Gilang di sampingnya.
"Siap non," angguknya segera menginjak pedal gas, melaju keluar parkiran.
Sepanjang jalan baru kali ini Ceren menangisi seseorang selain dari ibunya, "ck. Jadi cengeng gini gue!" dumelnya menyerot air hidungnya yang tiba-tiba menumpuk menutupi jalur nafas, sehingga terasa sesak sampai dada, disini ia baru bisa menumpahkan beban berat yang sejak tadi ia bendung.
"Maaf," ujar Gilang masih sempat-sempatnya cengengesan, "salahku."
"Iya. Emang salah kamu! Salah kamu yang deketin aku, salah kamu yang maksain perasaan kamu ke aku, dan salah kamu sekarang aku ngga tega sama kamu, jadinya...." Ceren tak mampu lagi berkata-kata dan justru menangis sesenggukan di depan Gilang.
"Kamu menerima kehadiranku..." tembak Gilang diangguki Ceren cepat.
"Aku sudah terima hubungan kita." Jawab Ceren membenarkan.
"Makin berat buat aku kalo gitu," gumam Gilang, tangannya terulur meraba pipi Ceren, "mana Ceren yang aku kenal, Ceren yang tegar...dihukum mas Hilman sama pak Erlangga aja kamu justru ketawa-tawa? Ceren yang ngga cengeng dan nolak aku berkali-kali."
"Berisik." Ceren mendengus menyeka air matanya.
Ceren mendorong kursi roda dan menemui dokter spesialis yang menangani Gilang sampai detik ini.
"Aduhhh, kenapa bisa lupa Gilang?" tanya nya menyipit. Pria berjas putih itu rupanya sudah menunggu Gilang sejak tadi, untung saja ia mau bersabar menunggu demi Gilang dan keluarga Prambodo. Ia segera menelfon Hilman yang kebetulan teman semasa kuliah di kampus kuning hanya saja berbeda jurusan itu, saat menemukan jadwal Gilang terabaikan oleh sang pasien.
"Eh," ia tersenyum geli saat menemukan pengantar Gilang adalah sosok gadis cantik dengan wajah sembab.
"Cieee, siapa Lang?" godanya sembari mempersiapkan seluruh peralatan yang diperlukan ke ruang tindakan.
Gilang mengulas senyuman, "istriku mas."
Ceren hanya diam meskipun ia menyipit risih, rasanya disaat begini tak penting mengatakan ia siapa...
Keano paham tentang siapa Ceren, Hilman sudah bercerita sebelumnya.
"Dok, barusan Gilang mimisan itu wajar?" tanya Ceren.
Keano semakin menyipit karena tersenyum, "ya ngga wajar. Itu artinya pembuluh da rahnya pecah kan?" jawab Keano balik bertanya, "oke, kita ke ruang tindaman untuk cuci da rah, mau ikut?" tanya nya pada Ceren.
Namun belum Ceren menjawab, Keano sudah merangkul pundak gadis ini, dokter sipit itu agak mendorongnya agar ikut, "sebagai istri harus dampingin, biar Gilangnya semangat."
Dan yang selanjutnya terjadi adalah alat-alat untuk tindakan cuci da rah sudah terpasang sesuai tempatnya begitupun Gilang yang berbaring di ranjang ruangan.
"Boleh dikasih makan minum kan dok?" tanya Ceren lagi.
"Boleh, tapi terbatas ya. Biasanya bu Ambar bawa cemilan buat Gilang..." dokter Keano sudah menancapkan jarum di lengan Gilang.
Minimnya pengetahuan Ceren tentang ini, membuatnya kebingungan. Namun diantara kebingungannya ponselnya kembali bergetar tanda seseorang memanggil Ceren.
"Hallo?"
(...)
Setelah ijin pada Gilang, Ceren keluar dari ruangan Gilang demi menemui Hilman yang menyusul ke rumah sakit.
Langkah Ceren seiring dengan langkah Hilman yang menyusuri selasar koridor gedung B, dari kejauhan Hilman melihat gadis itu berjalan sedikit cepat, "itu dia, ck."
Wajahnya terpasang datar seperti biasanya, dingin dan bikin orang muak duluan memandang duda satu anak ini.
Ceren berdehem saat bertemu Hilman, cukup dibuat bingung, mesti panggil pak atau mas. Maka ia mengambil inisiatif jika diluar jam sekolah maka, kata mas sepertinya cukup hangat menyambut sang kakak ipar.
"Mas,"
"Kamu sama Gilang abis darimana? Saya cari di sekolah katanya sudah pulang." Hilman menyerahkan paper bag berisi cemilan sesuai apa yang tadi ia ucapkan di telfon.
Ceren meringis tak enak pada si bapak kepsek yang bahkan masih memakai kemeja lengan panjang yang tergulung hingga siku itu. Hanya saja sepatu pantofel yang biasa ia pakai sudah berganti menjadi sendal jepit, Ceren tebak jika Hilman masih berada di sekolah dan langsung mengurus adik kecilnya itu yang kabur saat harus menjalani kemo.
"Gilang ngajak jalan, mas..." Ceren menerimanya dari tangan Hilman yang membuatnya mau tak mau bersentuhan tangan dengan sang kakak ipar, "mas masih di sekolah? Maaf ngerepotin."
Terdengar lengu han berat dari si bapak kepsek yang memasukan tangannya ke saku celana itu, "iya. Tuh kamu tau. Saya masih sibuk, memangnya kamu tidak tau jadwal kemo Gilang, ibu ngga ngomong?"
Ceren mengernyit tak terima, "ibu ngomongnya jadwal kemo Gilang besok, mas. Gilang juga ngga bilang apa-apa..."
"Lain kali jangan nanya tentang Gilang ke ibu, tanya ke saya saja langsung. Ibu kadang suka pelupa...mana Gilang?"
Ceren mengangguk paham, sebenarnya ia sudah geram sekali, kakak iparnya itu berbanding 180 derajat dari Gilang yang terlampau manis. Dia itu definisi sisa geledek semalem! Bawaannya nyamber galak terus! Bikin orang lain ketar-ketir berhadapan dengannya, hihh!
Ya di ruangan lah masa di bar!
"Di ruang tindakan." Jawab Ceren.
Tanpa menunggu Ceren selesai bicara, Hilman melewatinya begitu saja demi melihat Gilang barang sejenak dan Ceren berjalan di belakang Hilman.
Mulutnya sudah komat-kamit menyumpahi kakak iparnya itu sambil memandang penuh intimidasi dari belakang. Namun saat ia asik dengan pikiran jahatnya itu, Hilman tiba-tiba bersuara.
"Saya tau kamu lagi nyumpahin saya galak, jangan pikir saya ngga tau."
Ceren memundurkan wajahnya dan berdecih, Njirrrr serem.
"Engga. Mas jangan suudzon dulu!"
"Saya ngga suudzon, hanya berucap sesuai pengalaman..." jawab Hilman, Ceren yang memang dasarnya tak mau kalah kembali menyahut, "berarti pengalaman mas tuh, nyumpahin orang langsung di belakangnya dong!"
"Cih, kamu jalan di samping saya, biar saya tau kalo kamu lagi nyumpahin saya." pintanya ketus.
Hingga akhirnya keduanya justru berjalan bersampingan menuju ruangan Gilang dan membuat situasi menjadi canggung.
.
.
.
.
.
.
happy ending buat pasangan mas bodo dan cerenia, happy selalu bersama keluarga...makasih mbk sin, udah bikin novel yg greget kayak maa bodo
next, going to the next novel, gio adik bontotnya mas tama ya
kopi sudah otewe ya..