Ara adalah seorang personal asisten Garvi, hubungan mereka cukup unik. Terkadang terlihat layaknya kawan sendiri tapi tak jarang bersikap cukup bossy hingga membuat Ara lelah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga
💙💙💙💙
"Ingat, kamu saya kasih cuti cuma besok. Jadi begitu kelar acara langsung balik ke Jakarta, kalau tidak saya jemput kamu langsung dari rumah kamu."
Nada bicara Garvi terdengar tidak main-main. Namun, Ara justru menanggapinya dengan kekehan ringan. Tangannya sedang sibuk memilih arloji merk brand mana yang harus dipakai pria itu esok hari. Padahal untuk pilihan seperti ini Garvi bisa memilihnya sendiri, tapi sepertinya pria itu terlalu malas untuk sekedar memilih jam tangan. Maklum, koleksi jam tangan pria itu tidak sedikit jadi wajar kalau Garvi malas memilih sendiri.
"Zahra, saya serius."
"Iya, Pak," jawab Ara singkat. Ia sedang malas berdebat, lagi pula ia juga tidak berminat kalau seandainya harus ketinggalan pesawat.
Setelah selesai memilih jam tangan mana yang harus dipakai Garvi. Ara kemudian menarik laci yang berisi dasi. Namun, dengan gerakan cepat pria itu menutup laci itu kembali sambil menggeleng.
"Loh, kenapa, Pak?" tanya Ara heran.
"Terakhir kamu tinggal cuti, saya mau coba pake sendiri tapi tetap nggak bisa, waktu berharga saya malah terbuang percuma. Jadi mending nggak usah dipilihkan sekalian, toh, nggak bakal dipakai juga."
"Mau coba belajar lagi, Pak?" tawar Ara. Ia melirik jam tangan sekilas. Masih ada waktu sebelum penerbangannya.
Garvi menggeleng tanpa minat. "Mending kamu langsung ke bandara biar nggak telat. Saya nggak minat belajar pake dasi, kan sudah ada kamu."
"Tapi kan tidak selamanya ada saya, Pak."
"Kamu berencana berhenti kerja sama saya?"
Ara gelagapan. "Ya, untuk sekarang sih belum, Pak. Tapi nanti kalau saya menikah, tentu saja suami saya tidak akan mengizinkannya."
Garvi menyipitkan kedua matanya, tidak suka dengan jawaban gadis itu.
"Kamu ada pacar? Kamu ada rencana menikah dalam waktu dekat? Kontrak kamu masih lama loh sama saya."
Ara semakin gelagapan. "Pak, santai, Pak, santai. Pertama saya nggak ada pacar, kedua saya juga tidak ada rencana mau memutuskan kontrak secara sepihak, dan yang terakhir, yang paling penting, saya belum ada rencana buat menikah dalam waktu dekat. Bapak paham?"
Garvi tidak langsung menjawab. Pria itu terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Ara sampai harus repot-repot memanggil bosnya itu berkali-kali, sampai akhirnya pria itu berhasil membuyarkan lamunannya.
"Zahra," panggil Garvi tiba-tiba.
Kedua pasang mata itu bertemu dan saling bersitatap secara intens. Garvi dapat melihat sorot penuh kegugupan yang dialami gadis itu.
"Ya, Pak?"
"Kamu percaya nggak kalau saya bilang saya nggak bisa hidup tanpa kamu?"
Ara tertawa lalu mengangguk. "Percaya, Pak."
Kini giliran Garvi yang mengangguk. Pria itu lalu menegakkan tubuhnya seraya berjalan keluar ruangan. Tanpa perlu banyak berpikir Ara langsung menyusul keluar. Ia meraih tasnya lalu pamit pergi.
"Perlu saya antar?" tawar Garvi.
Tidak, tidak, Garvi memang sebaik ini. Meski tidak jarang bosnya itu bertingkah menyebalkan, tapi sebenarnya Garvi memang sebaik ini. Tanpa sungkan Ara pun langsung menerima tawaran pria itu. Meski baik, Garvi bukan tipe yang suka memaksa, hanya dalam beberapa hal tertentu pria itu akan berubah menjadi sesosok yang pemaksa. Jadi kalau tadi dia tidak langsung mengiyakan maka dapat dipastikan kalau sekarang Garvi masuk ke dalam kamar dan bukannya memimpin dirinya keluar dari unit apartemen pria itu.
"Jangan lupa kembali," pesan Garvi sebelum membiarkan Ara turun dari mobilnya. Sambil tersenyum gadis itu mengangguk dan mengiyakan.
💙💙💙💙
Ara dan Jihan duduk bersebelahan di bangku teras rumah Ara. Ia baru sampe di Semarang setengah jam yang lalu, ia bahkan belum sempat berganti pakaian dan masih mengenakan pakaiannya tadi.
"Maafin aku ya, Ra," bisik Jihan nyaris tidak terdengar.
Perempuan itu menunduk sambil menahan tangisnya. Sedangkan Ara masih tetap bergeming. Pandangan gadis itu terlihat menatap lurus ke depan. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
"Aku sebenernya malu banget buat ketemu kamu, rasanya kayak nggak pantes banget aku ada di sini. Tapi mungkin kalau aku nggak ke sini, kamu pasti akan lebih marah lagi. Makanya aku nekat ke sini."
Bibir Ara terlihat mulai bergetar. Gadis itu jelas-jelas sedang berupaya menahan diri agar tidak menangis di hadapan sahabat karibnya. Ara pikir orang yang paling ia percaya tidak akan pernah mengecewakannya, ternyata justru membuatnya sekecewa ini. Ara ingin marah sejujurnya, namun, di dalam lubuk hatinya, ia sadar betul ia tidak bisa marah dengan gadis itu. Dan itu membuat Ara bertambah kesal. Bukan kesal terhadap Jihan, melainkan kesal terhadap diri sendiri.
"Kenapa?" tanya Ara.
Jihan terlihat kebingungan. "Hah?"
"Kenapa kamu lakuin ke aku, Han? Sekarang aku minta kamu jujur ke aku, kamu anggap aku apa selama ini, huh? Bukannya kita masih tiap hari saling curhat dan lainnya, lalu untuk keputusan sebesar ini, kenapa kamu nggak pernah bilang-bilang ke aku? Kenapa, Han? Apa seenggak berarti itu aku di hidup kamu sampai kamu tega giniin aku?"
Jihan menggeleng cepat. "Ra, enggak gitu, kamu berarti banget buat aku. Kamu ini sahabat terbaik--"
"Bullshit," potong Ara dengan nada sarkas, "kalau aku emang sahabat kamu, kamu nggak akan giniin aku."
"Aku tahu aku salah. Aku minta maaf, Ra, kamu boleh maki-maki aku atau apapun terserah, tapi, tolong, jangan pernah tinggalin aku."
Emosi Ara semakin meradang. "Aku nggak pernah ninggalin kamu, Han, tapi kamu yang memilih untuk pergi. Kamu nggak jujur sama aku, dan aku anggap itu adalah bukti bahwa kamu yang udah memilih untuk pergi."
"Aku nggak punya pilihan lain, Ra. Ini juga bukan kemauan aku, asal kamu tahu, aku juga terpaksa ngelakuin ini semua. Aku nggak kayak kamu yang terlahir dari keluarga berada, kamu bisa kuliah dan kerja di tempat bagus. Sedangkan aku? Aku harus jadi buruh pabrik demi membiayai adik-adik aku. Aku juga harus melunasi hutang keluarga aku dengan menikah. Aku melakukan ini semua juga karena terpaksa. Kamu pikir ini semua keinginanku? Enggak, Ra. Kalau bisa aku juga mau kayak kamu."
Tubuh Ara seketika langsung menegang. Ia tahu kalau dari segi ekonomi Jihan memang tidak seberuntung dirinya, padahal sejak dulu Jihan termasuk siswa yang pintar. Keduanya sering kali kejar-kejaran peringkat di kelas. Tapi ia tidak pernah tahu kalau keluarganya punya hutang sampai harus membuat Jihan terpaksa membuat keputusan sebesar ini.
Menikah demi menutupi hutang. Terdengar seperti drama di televisi, tapi itu benar-benar terjadi pada sahabatnya sendiri. Dan ia tidak pernah tahu tentang hal ini?
Kalau boleh jujur, kali ini Ara marah. Ia marah dan juga kecewa, kenapa Jihan tidak pernah cerita apapun dan membiarkan dirinya menderita sendirian.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita? Kalau kamu bilang dari awal aku pasti bantu kamu, Han. Udah berapa kali aku bilang, kamu itu nggak sendirian. Kamu punya aku."
"Ini yang nggak aku mau. Karena aku tahu kamu pasti bakal begini. Ini masalah aku, Ra, tanggung jawab aku. Jadi aku harus menyelesaikan semuanya sendiri. Kamu nggak perlu ikut campur."
"Kok kamu ngomong gitu sih, Han?" protes Ara tidak terima, "aku rasanya kayak nggak berguna banget tahu jadi sahabat kamu."
"Kamu jangan pernah mikir gitu, Ra. Kamu itu udah banyak bantu aku, bahkan rasanya kamu udah terlalu banyak bantuin aku. Aku nggak mau repotin kamu lebih dari ini. Karena aku sayang sama kamu, Ra. Kamu satu-sataunya sahabat yang aku punya. Tolong, jangan tinggalin aku. Aku nggak tahu kalau seandainya kamu nggak ada aku bakal gimana. Maafin aku, ya!"
Ara menggeleng dan memilih memeluk gadis itu. "Kamu nggak salah."
"Kamu maafin aku? Kamu udah nggak marah sama aku?"
"Enggak ada alasan aku buat marah sama kamu sebenernya. Aku cuma ngerasa kecewa sama diri sendiri karena nggak bisa cukup kamu percaya buat ceritain semua masalah kamu."
"Maafin aku, Ra, aku janji. Habis ini nggak bakal ada rahasia lagi di antara kita."
"Enggak papa, kamu nggak perlu ceritain semuanya kalau emang menurut kamu nggak perlu. Mulai sekarang aku akan lebih menghargai privasi kamu. Maafin aku karena sempet nuntut kamu untuk cerita semuanya."
"Tapi kalau aku mau cerita boleh kan?"
Ara langsung mengangguk cepat. "Boleh. Boleh banget. Kamu boleh cerita apapun. Mau hal paling random dan aneh sekalipun, aku bakalan tetep dengerin."
"Makasih."
"Sama-sama."
"Tapi, btw, soal calon suami kamu gimana?"
💙💙💙💙
🙏 ...awal yg asyik u baca terus