Nisa anak sulung dari lima bersaudara, dipersunting oleh pria bernama Akil, Nisa berharap pernikahannya membawa perubahan pada keluarganya, Setelah sah sebagai suami istri, Akil memboyong Istrinya (Nisa) kerumah orangtuanya. Di pondok Mertua Nisa banyak menghadapi problem rumah tangga, kesabarannya runtuh setelah 11 tahun berumah tangga, bahkan Ia merasa rumah tangganya belum terbentuk. Hingga suatu ketika Nisa memutuskan untuk mengalah dan kembali ke rumah orangtuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahmadaniah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Setelah membersihkan sisa pecahan piring dengan wajah tertunduk, Nisa perlahan melangkah menjauh, mencari tempat di mana ia bisa menarik napas dan meredakan debar hatinya. Dia memasuki salah satu ruangan kosong milik kerabat suaminya dan menutup pintu di belakangnya. Akhirnya, dalam kesunyian itu, dia tak bisa menahan tangisnya lagi. Air matanya mengalir deras, mencurahkan rasa malu, bersalah, dan tekanan yang menghimpit dadanya.
Tiba-tiba, suara pintu yang terbuka membuatnya mendongak. Akil masuk, raut wajahnya tampak bingung dan khawatir. Tanpa berkata apa-apa, ia mendekati Nisa, menunduk dan meraih tangan istrinya dengan lembut.
"Tidak apa-apa sayang,ini sepenuhnya bukan salahmu," katanya dengan suara lembut.
Nisa menarik napas dalam, lalu menggeleng pelan, matanya masih sembap. “Aku... aku merasa bersalah, Mas. Aku telah mempermalukan Ibu... Semua ini gara-gara kecerobohanku,” ucapnya sambil menyeka air matanya.
Akil menggeleng, berusaha menenangkan istrinya. “Ini bukan salahmu, sayang. Kamu sudah sangat berhati-hati. Hanya kebetulan yang tak bisa dihindari. Jangan menyalahkan dirimu.”
Namun, sebelum Nisa bisa merespons, suara langkah cepat terdengar, dan Sahrah, kakak ipar Nisa, masuk ke ruangan itu dengan tatapan tajam.
“Sudah seharusnya kamu lebih hati-hati, Nisa. Ibu sangat malu karena kejadian itu,” sindir Sahrah, suaranya terdengar tegas dan menyudutkan.
Nisa semakin menundukkan kepala, merasa semakin terpojok. Tetapi saat itu juga, Fatir, adik iparnya yang lebih muda, tiba-tiba muncul di pintu. Fatir melangkah maju, berdiri di antara Nisa dan Sahrah, berusaha melindungi Nisa.
“Mbak Sahrah, itu bukan sepenuhnya kesalahan Mbak Nisa. Anak-anak yang berlarian tadi, termasuk anakmu, yang membuat Mbak Nisa tersenggol. Kita semua lihat bagaimana Mbak Nisa sudah berusaha hati-hati,” kata Fatir dengan nada serius, membela Nisa tanpa ragu.
Sahrah melotot pada Fatir, tetapi sebelum dia bisa membalas, ibu mertua Nisa muncul di ambang pintu, wajahnya memerah karena amarah. Melihat Nisa yang menangis dan dikelilingi oleh anggota keluarga, ia semakin marah.
“Nisa! Jadi, sekarang kamu di sini, bersembunyi setelah membuat keributan di acara ini? Kamu tidak hanya ceroboh, tapi juga merepotkan!” suaranya meninggi, membuat orang-orang yang berada di luar pintu mulai berkumpul dan berbisik-bisik.
Akil, yang sejak tadi memperhatikan, segera berdiri dan memposisikan dirinya di antara Nisa dan ibunya. “Ibu, sudah cukup,” kata Akil dengan tegas, suaranya menggetarkan ruangan kecil itu. “Ini hanya kejadian tak sengaja. Nisa sudah berusaha sebaik mungkin.”
Mendengar pembelaan Akil, Ibunya tampak terkejut. Namun, ia masih terlihat marah dan merasa tersinggung. Akil pun mengambil napas dalam-dalam, mencoba menahan amarahnya. Ia meraih tangan Nisa dan berbisik lembut, “Ayo, kita pulang.”
Akil menatap ibunya sejenak, lalu berkata, “Kami permisi dulu, Bu. Kami pulang lebih awal.” Tanpa menunggu jawaban, ia menggenggam tangan Nisa erat-erat, membawanya keluar dari ruangan itu dan menuju pintu keluar, meninggalkan kehebohan yang masih terdengar di belakang mereka.
Dalam perjalanan pulang, Akil berusaha menenangkan Nisa, yang masih menahan tangis di belakang punggungnya. Ia berusaha meraih tangan istrinya dengan lembut, memberikan kekuatan pada Nisa yang terluka oleh perlakuan keluarganya sendiri.
Alih-alih langsung pulang ke rumah, Akil mengarahkan motornya ke sebuah jalan yang berujung pada keramaian pasar malam. Lampu-lampu berwarna cerah, suara musik, dan tawa pengunjung memenuhi udara, membawa suasana hangat yang jauh berbeda dari ketegangan yang baru saja mereka alami.
“Mas, kita tidak pulang?” tanya Nisa, suaranya pelan. Matanya yang masih sedikit sembab menatap ke arah keramaian dengan ragu.
“Aku pikir kita perlu sedikit bersantai dulu,” jawab Akil dengan senyum kecil. “Aku ingin kau merasa lebih baik sebelum kita pulang.”
Nisa terdiam, menimbang tawaran itu. Namun, rasa cemas yang terpendam segera muncul. “Tapi... kalau Ibu tahu kita ke sini, dia pasti akan semakin marah, Mas. Apalagi setelah kejadian tadi… dan ditambah kita terlihat seperti menghamburkan uang. Tadi Ibu sempat bercerita dengan ibu-ibu tentang betapa pentingnya berhemat dan tidak boros.”
Akil menggenggam tangan Nisa dan menatapnya penuh keyakinan. “Sayang, dengar. Ini bukan urusan mereka, dan juga bukan urusan Ibu. Aku yang bertanggung jawab atas kebahagiaanmu. Kalau ini bisa membuatmu tersenyum, aku rela melakukan apa saja.”
“Tapi, Mas…” Nisa masih ragu. Bayangan wajah ibu mertuanya yang murka membayang di pikirannya.
Akil tersenyum, meremas lembut tangan istrinya. “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Kita di sini hanya untuk menikmati waktu bersama. Tidak ada salahnya kita menciptakan kebahagiaan kita sendiri bukan?”
Setelah beberapa saat, Nisa akhirnya mengangguk. Mereka mulai berjalan beriringan menyusuri pasar malam. Di sekeliling mereka, anak-anak bermain permainan ketangkasan, pasangan-pasangan tertawa bahagia, dan penjaja makanan menawarkan camilan-camilan lezat.
Sesekali, Akil membeli camilan untuk mereka berdua, membiarkan Nisa menikmati setiap suap tanpa rasa bersalah. Mereka berjalan bergandengan tangan, menikmati suasana malam yang penuh warna. Perlahan, senyum di wajah Nisa mulai kembali, dan dia merasakan beban di hatinya sedikit demi sedikit memudar.
Akil pun akhirnya melihat Nisa tersenyum. “Nah, ini yang aku inginkan. Senyum indah dari seorang istri yang kucintai,” katanya sambil mengedipkan mata, membuat Nisa tersipu.
“Terima kasih, Mas… Aku merasa lebih baik sekarang,” kata Nisa sambil menggenggam tangan suaminya lebih erat.
Di bawah gemerlap lampu pasar malam, mereka melupakan sejenak masalah dan tekanan yang ada di rumah, menikmati kebersamaan yang sederhana tapi begitu berarti. Mereka tahu, mungkin ada tantangan menunggu mereka ketika pulang nanti, tetapi untuk malam ini, mereka membiarkan diri mereka tenggelam dalam kebahagiaan kecil yang mereka ciptakan bersama.
Di tengah suasana pasar malam yang semakin ramai, Akil dan Nisa tertawa pelan sambil mencicipi camilan yang baru saja mereka beli. Untuk sesaat, beban hati mereka terasa lebih ringan. Namun, tiba-tiba ponsel Akil berdering. Layar ponsel menampilkan nama Sahrah, kakak perempuannya.
Akil menghela napas sejenak, kemudian menjawab panggilan tersebut, sementara Nisa memandangnya dengan rasa penasaran dan sedikit cemas.
“Halo, Mbak?” Akil berbicara pelan, tetapi nada tegang terdengar jelas.
Setelah telepon ditutup, Nisa memandang Akil dengan penuh kecemasan. “Apa yang Mbak Sahrah katakan?” tanyanya dengan suara pelan.
Akil menatap Nisa, lalu menghela napas panjang. “Kita mungkin harus pulang lebih cepat, sayang. Mbak Sahrah khawatir kalau Ibu semakin marah. Dia bilang akan menahan Ibu agar tidak terlalu kecewa saat kita tiba.”
Nisa mengangguk perlahan, rasa senangnya yang tadi mulai pudar. “Aku tidak ingin membuatmu kesulitan, Mas. Aku tahu Ibu mungkin tidak akan suka kita berada di sini.”
Akil meraih tangan Nisa, menenangkannya. “Jangan khawatir, ini bukan salahmu. Yang terpenting adalah kamu bisa merasa aman. Ayo kita pulang, tapi ingat, ini bukan karena aku menyesal membawamu ke sini. Aku hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja ketika kita kembali.”