Mira adalah seorang IRT kere, memiliki suami yang tidak bisa diandalkan, ditambah keluarganya yang hanya jadi beban. Suatu hari, ia terbangun dan mendapati dirinya berada di tubuh wanita lain.
Dalam sekejap saja, hidup Mira berubah seratus delapan puluh derajat.
Mira seorang IRT kere berubah menjadi nyonya sosialita. Tiba-tiba, ia memiliki suami tampan dan kaya raya, lengkap dengan mertua serta ipar yang perhatian.
Hidup yang selama ini ia impikan menjadi nyata. Ia tidak ingin kembali menjadi Mira yang dulu. Tapi...
Sepertinya hidup di keluarga ini tak seindah yang Mira kira, atau bahkan lebih buruk.
Ada seseorang yang sangat menginginkan kematiannya.
Siapakah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rina Kartomisastro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Begitu Januari selesai tampil, acara pun ditutup. Anna juga sudah pamit terlebih dulu. Namun masih banyak yang belum pulang.
Janu pun tampak sibuk meladeni permintaan para wanita sosialita itu untuk berfoto bersama.
"Mira, gak ikutan foto juga?"
"Gak. Makasih."
Yaelah, foto sama Janu segala. Udah bosen kali! Jaman SMA, dia yang sering maksa ngajakin foto bareng. Masak sekarang aku yang minta foto?!
"Eh, gimana kalau besok kita janjian main golf yuk, " seru wanita yang mengenakan berlian sebesar upil naga.
"Boleh," sahut si mantel bulu. "Kamu ikutan juga dong, Mira? Biar cepet sembuh. Oke?"
Aduh, mana gak bisa maen golf. Kalau maen golok sih, bisa dibicarakan baik-baik.
"Jangan bilang kamu juga lupa cara main golf?"
"Ehm... itu--"
"Mbak Mira, saya gak punya banyak waktu lagi. Bukannya kita harus meeting?"
Tiba-tiba saja, Januari menghampiri dan menyela obrolan mereka.
"Meeting?"
"Iya, buat acara Mbak Mira minggu depan."
Mira belum paham maksud Januari, sampai pria itu memberi tanda dengan menggedikkan kepalanya.
"Oh iya! Saya baru ingat. Pergi dulu ya, semua. Daaahh."
***
Saat ini Mira sudah berada di dalam mobil Janu. Tadi Janu memberikan tawaran untuk mengantarnya pulang lantaran Mira tampak bingung bagaimana menghubungi penghuni rumah.
Bahkan Janu membuat Mira berhasil membuka ponselnya sendiri, setelah beberapa hari ponselnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Tiba-tiba wanita itu merasa sangat bodoh. Bisa-bisanya ia tidak tahu kalau ponsel canggihnya itu bisa dibuka dengan face ID.
"Nu, makasih udah bantuin aku ya. Eh, Januari maksudnya. Haha..."
Januari tampak berpikir sambil memiringkan kepala. "Sorry, tapi anda selalu mengingatkan saya dengan seseorang."
Deg.
"Bukankah di dunia ini kita punya tujuh kembaran?"
"Maksud saya bukan wajah. Wajah kalian sangat beda jauh."
Sialan! Jadi maksud kamu wajah asliku gak secantik wanita ini, Nu?!
"Ah, mungkin saya cuma kangen dia."
Deg.
Kamu kangen aku, Nu?
"Pacar kamu?"
"Bukan, cuma teman waktu SMA."
"Kok bisa keinget dia? Teman SMA kan banyak."
"Dulu saya pernah suka dia."
Mendengar jawaban Janu yang di luar ekspektasi, membuat Mira terbatuk-batuk karena tersedak air liur sendiri.
"Are you okay? "
Mira buru-buru mengangguk, "Gak apa-apa."
Janu menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang Graha Agung Paripurna.
"Sampai sini aja, biar aku jalan sendiri ke dalam. Makasih ya, Januari. Oya, panggil aku Mira aja. Gak usah pakai Mbak. Kita kan seumuran."
"Oke, Mira."
Mira baru mau melangkah keluar mobil, sebelum Janu menahan pergelangan tangannya.
Pria itu buru-buru melepaskan tangan, saat Mira memberinya tatapan kaget.
"Maaf," katanya. "Boleh kita tukeran nomor?"
Dih, kenapa nih duda genit banget sama istri orang?
"Biar kalau sapu tangannya udah bisa dikembalikan, gampang dihubungi."
"Oke, boleh."
***
Mira berjalan dari depan gerbang menuju rumah yang berjarak sekitar 200 meter. Tadinya penjaga gerbang mempersilahkan Mira menaiki mobil golf yang ada di sana.
Tapi Mira menolak. Ia ingin berjalan sambil memperhatikan taman bunga di sekitarnya. Kata Ida, bunga-bunga itu dirawat oleh Mira sebelumnya.
Langkah Mira terhenti tepat di depan air mancur. Ben baru saja keluar dari mobilnya dengan setelan jas seperti biasa.
Pria itu lantas mendekati Mira. Namun belum juga Mira bicara, Ben menarik tangan Mira dengan kasar.
Dihempaskannya tubuh Mira saat mereka sudah berada di dalam kamar tidur.
"Siapa yang mengijinkan kamu datang ke acara itu?"
Mira tersentak. Baru kali ini ia mendengar Ben membentaknya.
"Aku diajak Mona," jawab Mira takut-takut.
"Mulai sekarang, kamu tidak boleh pergi kemana pun tanpa ijin dariku!"
"K-kenapa?"
"Kamu sedang sakit, Mira. Tingkahmu bisa saja menimbulkan masalah buatku!"
"B-baik."
Ben menghela napas, seolah menenangkan diri. "Tadi siapa yang mengantarmu pulang? Kenapa bukan pengawal yang nemenin kamu?"
"Kata Mona, dia gak mau ada pengawal ikut."
"Siapa yang antar pulang?"
"Januari."
"Bukan waktunya bercanda. Sekarang aja bulan Oktober, kenapa bisa tiba-tiba jadi Januari?"
"Nama orangnya memang Januari. Dia penyanyi yang katanya jadi bintang tamu di acara minggu depan."
"Oh, Januari itu. Kenapa dia yang antar?"
"Mona tiba-tiba menghilang dari lokasi. Sementara aku lupa cara menghubungi orang rumah. Aku gak tau cara pakai hp-nya. Kebetulan Januari menawarkan diri untuk mengantarku pulang, jadi aku terima aja. Daripada aku gak bisa pulang--"
Mira tak lagi melanjutkan kalimat saat Ben tiba-tiba memeluknya.
"Itulah kenapa aku melarangmu pergi tanpa ijinku. Aku takut kamu kenapa-kenapa, Mira. Jangan diulangi lagi ya?"
Sebenarnya Mira ingin sekali melepas pelukan itu, tapi Ben adalah suami dari pemilik tubuh ini. Jadi ia memilih pasrah saja.
"Iya, Ben. Maafkan aku."
Maafkan aku udah nipu kamu. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya keluar dari tubuh ini.
***