“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapannya menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.
Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.
“Om sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa! menikah!
Satu setengah jam kemudian ...
Perbelanjaan asupan gizi untuk Ezra sudah selesai, tidak perlu berlama-lama di supermarket, Jihan dan Fathi sama-sama tidak tahan kalau jalan berbarengan kayak berasa aneh. Tapi demi kepentingan bocah ganteng ini jadi sangatlah terpaksa.
Lagi-lagi Fathi mendengkus sebal melihat kantong belanjaan bawaannya, selain isinya susu, diapers dan snacknya Ezra terselip lah ... eh bukan terselip lagi tapi begitu banyak cemilan milik Jihan mulai dari chiki, biskuit, coklat. Bukannya Fathi tidak punya uang buat membelikannya, tapi memang dasarnya benci dengan Jihan jadi yang berhubungan dengan Jihan bikin dia semakin kesal.
Bu Kaila sudah masuk terlebih dahulu ke rumahnya dengan dahinya mengernyit karena melihat ada mobil milik orang tua Fathi, tumben pikir Bu Kaila datang di siang hari dan tanpa memberikan kabar terlebih dahulu, agar dia bisa menyambut kedatangan besan kaya-nya tersebut.
Sebenarnya bukan hanya Bu Kaila yang tampak heran, tapi Fathi sendiri juga heran kenapa ada mobil papanya terparkir rapi di halaman rumah mantan mertuanya. Kalau Jihan sendiri dia sih santai aja dengan batita di dalam gendongannya dia menyusul langkah ibu dan pria itu.
Di dalam rumah tampaklah kedua orang tua Fathi sedang bercengkerama dengan bapaknya Jihan. Dan Bu Kaila langsung menyapa mereka berdua.
“Cucu Oma, kemari sayang ... Oma kangen sama Ezra,” pinta Mama Erina. Jihan yang mengendong Ezra langsung memberikannya pada wanita tua tersebut.
Bik Yun, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Jihan setelah menyuguhkan minuman untuk tamu tuan rumahnya bergegas mengambil tentengan dari tangan Fathi, lalu pria itu ikutan duduk bersama, sementara Jihan yang merasa tidak ada urusan pengen ke kamarnya yang ada di lantai dua.
“Jihan duduk dulu di sini,” pinta Ayah Iqbal melihat anak bungsunya sepertinya ingin meninggalkan ruang tamu.
“Iya Yah,” jawab Jihan patuh, lalu mendaratkan bobotnya di atas sofa dekat keberadaan ibu dan ayahnya.
“Mama, Papa tumben ke sini tidak kasih kabar dulu. Kalau tahu begitu tadi bisa janjian denganku berangkatnya,” ucap Fathi.
“Sebenarnya sudah lama ingin ke sini, tapi kamu tahu sendiri di rumah sakit lagi banyak pasien,” jawab Papa Gibran, selain pemilik rumah sakit papanya Fathi salah satu dokter spesialis anak.
“Fathi kebetulan kamu sedang di sini, jadi ada yang ingin Papa sampaikan padamu. Dan sebelumnya Papa dan Mama juga sudah bicarakan dengan orang tua Embun. Di sini kami datang lagi untuk mempertegasnya kembali,” lanjut kata Papa Gibran, menatap lekat putra sulungnya.
Tunggu sebentar, Jihan terlihat memicingkan netranya saat melihat meja tamu, begitu banyak bawaan yang ada di atas meja tamu selain cangkir teh yang diantar oleh Bik Yun.
Bu Kaila sudah tahu apa yang ingin dibahas oleh besannya tersebut, lantas dia pun menatap suaminya dan dijawab dengan anggukkan pelan. Di sini pun tidak hanya Jihan yang heran namun Fathi juga sama.
“Fathi maksud Papa dan Mama datang ke sini, ingin melamar Jihan sebagai istrimu—“
“APA!” sela Jihan dan Fathi serempaknya dengan seruan yang tinggi, sebelum Papa Gibran menyelesaikan pembicaraannya.
“Jihan, Fathi tolong jangan disela dulu, dan tolong dengarkan baik-baik,” pinta Papa Gibran dengan tenangnya.
Bibir Jihan sebenarnya sudah mau merepet aja, enak sekali bilang mau ngelamarnya buat jadi istri mantan kakak iparnya, dunia rasanya sedang bercanda dengan kehidupannya.
“Ish, ogah amat gue nikah sama Om-Om galak begitu, kayak di dunia ini gak ada lelaki lain aja! Emangnya yang nama cowok udah habis apa!” gerutu batin Jihan.
“Selama Embun telah meninggal, Ezra tinggal di sini dan maunya sama Jihan, yang seharusnya Ezra diurus sama kamu sebagai papa-nya. Dan kami selaku opa dan omanya Ezra juga merasa sayang karena Ezra sudah tidak memiliki seorang ibu, tapi melihat Jihan begitu dekat dengan Ezra. Ezra masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu, dan selama Embun tiada Ezra mendapatkan kasih sayang itu dari Jihan.” Papa Gibran jeda sejenak, dan memperhatikan Jihan dan Fatih secara bergantian.
“Sebenarnya ini sudah lama Papa bicarakan dengan orang tua Jihan, dan sudah tidak bisa lama-lama seperti ini keadaannya, apalagi sekarang Jihan sudah lulus sekolah. Jika keadaannya Ezra selalu tinggal di sini, maka semakin lama kamu sebagai papa-nya akan terlupakan, bounding antara papa dan anak semakin renggang. Papa tidak mau hal ini terjadi pada cucu Papa. Dan amat jarang wanita di luar sana bisa menyayangi dan menerima Ezra dengan tulus seperti Jihan. Jadi kami menginginkan kalian besok menikah, ini semua demi Ezra,” ucap Papa Gibran.
Jihan menarik napasnya dalam sampai ulu hari agak ngilu. “Interupis Pah ... eh maksudnya Interupsi Pah!” seru Jihan sambil angkat tangannya, udah kayak di dalam kelas aja si Jihan.
“Ya, Jihan mau interupsi apa?” balas Papa Gibran, semua mata memandang Jihan, jadi grogikan si Jihannya.
“Jadi begini Papa yang ganteng dan Mama cantik, bisa dicancel aja rencananya. Karena menurut feeling Jihan kalau Jihan itu gak akan cocok dan kurang pantas buat jadi istrinya Om Dokter itu. Mungkin aja di rumah sakit ada tante dokter atau perawat yang cocok bersanding sama Om Dokter ini, lagian Jihan juga belum siap menikah soalnya mau lanjut kuliah. Dan sebenarnya Jihan gak pengen punya suami tipe Om-Om begitu, maunya yang sebaya aja umurnya. Terus Papa sama Mama juga harus tahu, Jihan itu pemalas loh, gak bisa masak, dan aduh gak bisa berbenah rumah ... apalagi ngurusin suami ... duh kebayangkan Pah, Mah kalau nanti Om Dokter gak ke urus, nanti Ji—“ Netra Jihan terbelalak, dan menurunkan pandangan ke bagian mulutnya yang sudah dibungkam oleh tangan besar berkulit putih. Loh kapan pria itu berdiri, apa pas Jihan bicara panjang kali lebar barusan.
“Aku bersedia menikahi Jihan besok!” jawab Fathi dengan tegasnya.
“WHAT!” seru Jihan saat mulutnya masih dibungkam, lantas tangannya menepuk-nepuk tangan Fathi agar melepaskan bibir ranumnya tersebut.
“Alhamdulillah,” jawab serempak para orang tua.
“Gak ... gak mau, Jihan gak mau nikah sama Om Dokter!” tolak Jihan netranya sudah hampir ingin menangis sembari beranjak dari duduknya. Lantas Fathi menarik lengan Jihan.
“Aku permisi, akan bicara dulu dengan Jihan,” pamit Fathi.
“Mau bicara apa! Jihan gak mau ngomong!” seru Jihan, tapi lengannya sudah ditarik paksa oleh pria bertubuh besar, tubuhnya terhuyung mengikuti langkah Fathi yang mengajaknya ke lantai dua dan membawanya ke kamar embun, di mana tempat pria itu tidur jika menginap.
Mmm ... kalau ada yang nanya kenapa Jihan panggil Fathi Om bukannya Kak atau Mas Fathi. Karena sudah kebiasaan sejak kakaknya menikah dengan Fathi di saat dia berumur 10 tahun. Bisa dibayangkan jika seusia itu menganggap Fathi itu ya Om-Om bukan kakak, panggilan ipar yang sangat berbeda.
Bersambung ... ✍🏻