Setelah mati secara tiba-tiba, Kazuma Hiroshi, seorang programmer jenius, terlahir kembali di dunia lain sebagai seorang World Breaker, kelas terkuat dengan kekuatan yang tak terbatas. Dilengkapi dengan kemampuan manipulasi mana dan sistem yang bisa ia kendalikan layaknya sebuah game, Kazuma segera menyadari bahwa kekuatannya tidak hanya luar biasa, tetapi juga berbahaya. Dalam dunia penuh monster, sihir, dan ancaman dari Reincarnator lain, Kazuma harus belajar memanfaatkan kekuatannya dengan bijak dan menghadapi musuh yang mengincar kehancuran dunia barunya. Petualangan epik ini menguji batas kekuatan, strategi, dan kemanusiaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. Bayang-Bayang Pengkhianatan
Pagi berikutnya, udara dingin yang menyelimuti kota Rutherham terasa menusuk tulang. Meski matahari mulai terbit, sinarnya seakan tidak mampu menghangatkan jalan-jalan kota yang sepi. Kazuma dan Sylvia memutuskan untuk meninggalkan kota lebih awal, dengan rasa waspada yang semakin meningkat setelah pertemuan misterius kemarin.
Mereka berjalan di sepanjang jalan utama menuju pintu keluar kota. Kazuma tidak bisa berhenti memikirkan pria berjubah gelap yang muncul di perpustakaan. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya—kenapa pria itu begitu mudah menghilang? Apakah dia benar-benar bekerja untuk Penjaga Keseimbangan? Atau ada kekuatan yang lebih besar bermain di balik layar?
"Dia akan muncul lagi," kata Sylvia tiba-tiba, memecah keheningan. "Orang-orang seperti dia tidak akan berhenti sampai mereka yakin kita tidak lagi menjadi ancaman."
Kazuma menatap Sylvia. "Apa kau yakin kita siap menghadapi mereka?"
Sylvia tidak segera menjawab. Ia tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kita harus bersiap. Namun, aku tahu seseorang yang bisa membantu kita memahami lebih banyak tentang Penjaga Keseimbangan. Dia orang yang memiliki banyak informasi, meskipun aku tak yakin apakah dia akan membantu kita dengan sukarela."
"Siapa orang itu?"
"Namanya Arven," jawab Sylvia, nada suaranya terdengar waspada. "Dia adalah mantan anggota Penjaga Keseimbangan."
Kazuma berhenti melangkah. "Mantan anggota? Kenapa kau tidak menyebutkannya sebelumnya?"
Sylvia menghela napas. "Karena mendekatinya berisiko. Arven meninggalkan Penjaga Keseimbangan dengan cara yang buruk. Mereka menganggapnya sebagai pengkhianat, dan dia harus hidup dalam persembunyian selama bertahun-tahun. Tapi dia adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana kelompok itu bekerja dan apa yang mereka rencanakan."
Kazuma merasa ragu. Membawa mantan anggota Penjaga Keseimbangan ke dalam rencana mereka bisa berarti membuka pintu bagi pengkhianatan. Namun, di sisi lain, informasi dari orang dalam seperti Arven bisa menjadi kunci untuk memahami bagaimana mereka harus melawan.
"Kita tidak punya pilihan lain," lanjut Sylvia. "Jika kita ingin selangkah lebih maju dari mereka, kita harus mengambil risiko ini."
Dengan berat hati, Kazuma mengangguk. "Baik. Di mana kita bisa menemukannya?"
---
Perjalanan mereka menuju tempat persembunyian Arven memakan waktu beberapa jam. Mereka harus melewati hutan gelap di luar Rutherham, yang kabarnya dipenuhi oleh binatang buas dan jebakan magis. Sylvia tampak tenang, namun Kazuma bisa merasakan ketegangan di udara.
Di tengah hutan, mereka akhirnya sampai di sebuah pondok kayu yang tersembunyi di balik pepohonan lebat. Sylvia mengetuk pintu dengan ritme tertentu, dan setelah beberapa saat, pintu terbuka sedikit, memperlihatkan sepasang mata tajam yang mengawasi mereka dari celah sempit.
"Sylvia," suara pria itu terdengar pelan namun penuh kewaspadaan. "Kau gila datang ke sini."
"Kita butuh bantuanmu, Arven," Sylvia menjawab tegas. "Kami tahu kau masih memegang informasi tentang Penjaga Keseimbangan."
Pintu terbuka lebar, memperlihatkan sosok pria berusia paruh baya dengan wajah kasar dan rambut acak-acakan. Mata Arven menatap Kazuma dengan curiga. "Dan siapa bocah ini? Reincarnator?"
Kazuma merasa sedikit terganggu dengan cara Arven memanggilnya, tapi dia menahan diri untuk tidak berkomentar. Sylvia melangkah masuk, diikuti oleh Kazuma, dan Arven segera menutup pintu di belakang mereka.
Di dalam pondok, suasananya suram dan sempit. Hanya ada beberapa perabot sederhana dan perapian kecil yang menyala di sudut ruangan. Arven duduk di kursi kayu, menatap mereka dengan ekspresi campuran antara penasaran dan waspada.
"Apa yang kau inginkan, Sylvia?" Arven bertanya langsung, suaranya dingin. "Aku sudah lama keluar dari urusan Penjaga Keseimbangan. Kalau mereka tahu kau datang ke sini, aku bisa mati."
Sylvia mendekat, tatapannya serius. "Mereka sudah tahu. Mereka sedang mengawasi kami, dan itu berarti mereka mungkin juga tahu di mana kau berada. Kami butuh informasi darimu sebelum semuanya terlambat."
Arven tertawa kecil, namun tidak ada humor di dalamnya. "Tentu saja. Mereka tidak pernah berhenti memburu pengkhianat seperti aku. Tapi kenapa aku harus membantu kalian? Aku sudah cukup menderita karena Penjaga Keseimbangan."
Kazuma, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, akhirnya angkat bicara. "Karena mereka akan terus mengejar orang-orang seperti kami. Reincarnator. Jika kau membantu kami, mungkin kita bisa menghentikan mereka untuk selamanya."
Arven menatap Kazuma tajam, seolah menilai apakah kata-katanya tulus atau hanya omong kosong. Setelah beberapa saat, Arven berdiri dari kursinya dan berjalan menuju jendela kecil di samping pondok. Dia menatap keluar, seolah mencari sesuatu di kejauhan.
"Mereka tidak bisa dihentikan," kata Arven pelan, nadanya lebih suram. "Penjaga Keseimbangan bukan hanya sekumpulan orang. Mereka adalah sebuah ideologi, sebuah kekuatan yang mengakar dalam dunia ini. Mereka sudah ada jauh sebelum kau, sebelum aku, sebelum Sylvia."
"Apa maksudmu?" tanya Kazuma bingung.
Arven berbalik, tatapannya tajam. "Penjaga Keseimbangan percaya bahwa dunia ini harus dijaga dari kekuatan yang terlalu besar, termasuk kekuatan Reincarnator. Mereka pernah melihat apa yang terjadi ketika seorang Reincarnator kehilangan kendali. Hancurnya kerajaan, jatuhnya peradaban, dan kekacauan yang tak bisa dihentikan. Mereka akan melakukan apa saja untuk menghentikan itu terulang kembali."
"Tapi aku tidak berniat menghancurkan dunia," Kazuma membela diri.
Arven tersenyum dingin. "Mungkin tidak sekarang. Tapi kekuatanmu bisa tumbuh di luar kendalimu, bocah. Itu yang mereka takutkan."
Kazuma terdiam. Apa yang Arven katakan membangkitkan kembali rasa takut yang ia rasakan ketika membaca Kitab Reinkarnasi. Ada bagian dari dirinya yang mulai meragukan apakah ia benar-benar bisa mengendalikan kekuatannya sendiri.
Sylvia mengambil langkah maju. "Arven, kami tidak meminta kau bertarung bersama kami. Kami hanya ingin tahu kelemahan mereka. Bagaimana cara kita bisa melawan mereka."
Arven menatap Sylvia lama sebelum akhirnya mendesah. "Kalian gila, tapi aku suka orang yang nekat. Baiklah, aku akan membantu kalian. Tapi kalian harus tahu, Penjaga Keseimbangan bukanlah musuh biasa. Mereka bergerak di balik bayangan, memanipulasi kekuatan politik dan militer. Kalian harus sangat berhati-hati."
Kazuma dan Sylvia saling bertukar pandang, merasa lega namun juga semakin waspada. Arven mengeluarkan gulungan kertas dari salah satu rak kayu di pondoknya, lalu membentangkannya di atas meja. Peta itu menunjukkan berbagai lokasi penting di kerajaan ini—tempat-tempat yang mungkin menjadi markas tersembunyi Penjaga Keseimbangan.
"Mulai dari sini," kata Arven, menunjuk satu titik di peta. "Ini adalah salah satu markas utama mereka. Jika kalian ingin tahu lebih banyak tentang rencana mereka, itu tempat pertama yang harus kalian datangi."
Kazuma menatap titik di peta dengan tekad yang semakin kuat. "Kami akan ke sana."
Arven mengangguk pelan, namun tatapannya tetap waspada. "Dan berhati-hatilah. Penjaga Keseimbangan punya mata di mana-mana. Mereka bisa menjadi siapa saja."
Setelah Arven menunjukkan markas utama Penjaga Keseimbangan, suasana dalam pondok menjadi semakin tegang. Kazuma merasakan tekad yang semakin membara, namun kekhawatiran tentang apa yang akan mereka hadapi mulai menghantui pikirannya. Arven telah memperingatkan mereka bahwa Penjaga Keseimbangan bukanlah kelompok biasa, dan bahwa setiap langkah yang mereka ambil harus sangat hati-hati.
“Kapan kita akan bergerak?” Kazuma bertanya, menatap Sylvia yang sedang memeriksa peta.
“Kita harus segera pergi,” jawab Sylvia tanpa ragu. “Jika mereka tahu kita sudah tahu lokasi ini, kita tidak punya banyak waktu. Setiap detik berarti.”
Arven mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran. “Kalian sadar apa yang kalian hadapi, kan? Markas itu bukan sekadar tempat persembunyian biasa. Mereka memiliki banyak anggota yang siap mati demi menjaga rahasia mereka. Kalau kalian ketahuan, mungkin tidak ada jalan keluar.”
Kazuma menarik napas dalam-dalam. “Kami sudah siap mengambil risiko itu.”
Arven menatap Kazuma sejenak, lalu mengangguk. “Kalau begitu, aku akan memberikan satu hal terakhir untuk membantu kalian.” Dia berjalan menuju laci di pojok ruangan, menarik keluar sebuah kotak kecil. Saat dia membukanya, sebuah batu kecil yang berkilauan muncul. Cahaya aneh memancar dari dalamnya, seolah-olah menyimpan kekuatan misterius.
“Ini adalah Batu Ilusi,” jelas Arven. “Dengan batu ini, kalian bisa menyembunyikan diri dari deteksi magis selama beberapa waktu. Ini akan memberikan kalian kesempatan untuk masuk tanpa terdeteksi, tapi ingat, efeknya hanya sementara. Gunakan dengan bijak.”
Sylvia mengambil batu itu, matanya menyiratkan rasa terima kasih. “Ini sangat membantu, Arven. Kami akan memastikan tidak ada yang tahu kau terlibat.”
Arven menggeleng pelan. “Aku tahu risikonya. Kalau kalian berhasil, mungkin aku juga bisa bebas dari bayang-bayang Penjaga Keseimbangan. Jadi, ini juga untuk keuntunganku sendiri.”
---
Malam itu, Kazuma dan Sylvia memulai perjalanan mereka menuju markas yang ditunjukkan oleh Arven. Hutan di sekitar mereka gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang sesekali menembus celah dedaunan. Suasana sepi, namun Kazuma merasa ada sesuatu yang mengawasi mereka. Mungkin itu hanya paranoia setelah peringatan Arven, tapi dia tidak bisa menghilangkan perasaan waspada itu.
“Bagaimana kalau rencana ini gagal?” tanya Kazuma pelan saat mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang sempit.
“Kita harus percaya bahwa kita bisa melakukannya,” jawab Sylvia, meskipun suaranya terdengar serius. “Tidak ada jaminan dalam pertempuran ini. Tapi kita punya tujuan, dan itu cukup untuk membuat kita tetap maju.”
Kazuma mengangguk, meskipun rasa takut terus menghantuinya. Ia tahu bahwa sebagai Reincarnator, ia memiliki tanggung jawab besar. Namun, semakin dalam ia memasuki dunia ini, semakin sulit baginya untuk memahami di mana posisinya. Apakah dia benar-benar seorang pahlawan? Ataukah kekuatan yang ia miliki suatu hari nanti akan menghancurkannya?
Setelah beberapa jam berjalan dalam diam, mereka akhirnya melihat cahaya kecil di kejauhan—sebuah bangunan besar yang tersembunyi di balik tebing. Markas Penjaga Keseimbangan.
“Kita sudah sampai,” bisik Sylvia. “Gunakan Batu Ilusi itu sekarang.”
Kazuma merogoh sakunya, merasakan permukaan halus batu itu, dan kemudian menekannya sesuai dengan instruksi Arven. Seketika, tubuh mereka dikelilingi oleh aura tembus pandang, membuat mereka tak terlihat di mata siapa pun yang berada di sekitar markas.
“Efeknya hanya bertahan beberapa menit,” kata Sylvia, mengingatkan. “Kita harus cepat.”
Mereka melangkah maju dengan hati-hati, mendekati pintu masuk markas. Beberapa penjaga bersenjata sedang berpatroli di sekitar area tersebut, namun berkat Batu Ilusi, mereka tidak memperhatikan keberadaan Kazuma dan Sylvia.
Saat mereka berhasil memasuki markas tanpa masalah, suasana di dalamnya jauh lebih mencekam. Lorong-lorong gelap yang dipenuhi simbol-simbol kuno menghiasi dinding. Ada aroma kemenyan yang terbakar, menciptakan suasana mistis yang semakin menambah ketegangan.
“Kita harus menemukan ruangan arsip,” bisik Sylvia. “Di sana mereka menyimpan dokumen-dokumen penting. Kita bisa mengetahui rencana mereka dari situ.”
Kazuma mengikuti Sylvia dengan hati-hati. Mereka menyelinap melalui lorong-lorong sempit, menghindari penjaga dan jebakan yang tersebar di sepanjang jalan. Suasana semakin mencekam ketika mereka mulai mendengar suara langkah kaki dari penjaga lain yang berpatroli.
“Di sini,” Sylvia menunjuk sebuah pintu kayu besar di ujung lorong. “Itu ruang arsip.”
Kazuma merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Dia tahu bahwa di balik pintu itu, mereka akan menemukan jawaban yang mereka cari. Tapi dia juga tahu, sekali mereka menemukan jawaban itu, mereka akan menghadapi bahaya yang lebih besar.
“Bersiaplah,” kata Sylvia sambil menarik gagang pintu perlahan.
Saat pintu terbuka, mereka langsung disambut oleh ruangan besar yang dipenuhi rak-rak buku dan dokumen. Di tengah ruangan, sebuah meja besar dengan berbagai peta dan catatan terbentang, tampaknya menjadi pusat dari semua operasi Penjaga Keseimbangan.
Kazuma dan Sylvia segera mulai mencari. Mereka membuka gulungan peta, membaca dokumen, mencari petunjuk tentang rencana kelompok itu. Dan kemudian, Kazuma menemukan sebuah catatan yang membuatnya berhenti sejenak.
“Reincarnator yang Tersisa: Kazuma.”
Dia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Namanya ada dalam daftar itu, diikuti oleh catatan lain tentang kekuatan dan potensi ancaman yang ia bawa.
“Ini bukan hanya tentang menghentikan kita,” Kazuma berkata pelan, tatapannya tertuju pada Sylvia. “Mereka sudah mempelajari setiap langkah kita.”
Sylvia menatap dokumen itu, wajahnya berubah tegang. “Ini berarti mereka tahu lebih banyak dari yang kita bayangkan. Kita harus keluar dari sini sekarang.”
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, pintu ruangan tiba-tiba tertutup dengan keras. Suara deritnya menggema di seluruh ruangan, dan dari bayang-bayang di ujung ruangan, muncul sosok yang tidak asing.
“Sudah kuduga kalian akan datang.”
Kazuma mengenali suara itu. Pria berjubah gelap yang mereka temui di perpustakaan.
“Kalian terlalu banyak tahu sekarang,” pria itu melangkah maju, senyumnya dingin. “Dan sayangnya, itu berarti kalian tidak akan keluar dari sini hidup-hidup.”
Kazuma merasakan dadanya menegang. Mereka terjebak.