Max membawa temannya yang bernama Ian untuk pertama kalinya ke rumah, dan hari itu aku menyadari bahwa aku jatuh cinta padanya.
Mungkinkah dia bisa menjadi milikku meski usia kami terpaut jauh?
note: novel ini dilutis dengan latar belakang luar negeri. Mohon maklumi gaya bahasanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8
Kata-katanya terus terngiang di kepalaku, berulang-ulang. Meskipun aku tahu ini semua karena keputusanku sendiri, itu tidak membuat rasa sakitnya berkurang.
Aku telah kehilangannya, dan rasanya seperti kehilangan segalanya.
Empat jam sebelumnya.
Ponselku bergetar di saku, nama Ian muncul di layar. Aku menelan ludah. Aku sudah menghindarinya sejak tahu soal Harvard, dan sekarang dengan semua kecurigaan ini, aku nggak tahu gimana caranya aku harus menatap matanya.
"Halo?"
"Oh, wah. Akhirnya kamu nggak mengabaikanku. Ada apa, Megan?" Suaranya bikin aku nggak nyaman, seolah cuma aku yang menyembunyikan sesuatu di sini. Aku nggak bisa nahan lebih lama lagi, aku harus ungkapkan semuanya.
"Aku juga mau tanya hal yang sama, Ian. Ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan ke aku?"
"Sampai jumpa setengah jam lagi di tempat biasa."
"Oke."
Aku gugup, sangat gugup. Aku belum benar-benar tahu apa yang akan kukatakan padanya. Oxford? Itu tempat yang bagus, kan? Gimana kalau dia mau pergi dan ini adalah perpisahan?
Ya Tuhan, aku kacau banget.
***
Dia duduk di salah satu meja terakhir, tempatnya ramai banget. Aku memberi isyarat supaya dia ikut aku.
Kami berjalan dalam diam sampai tiba di taman kecil yang agak sepi. Aku duduk di salah satu ayunan dan langsung bertanya, "Kamu suka Harvard, Ian?" Pertanyaanku nggak mengejutkannya.
"Aku menyesal kamu tahu dari orang lain, Megan. Aku memang mau ngasih tahu kamu."
"Jawab aja."
"Harvard adalah impianku, Megan. Tapi sekarang, rasanya itu nggak sepenting dulu."
"Kenapa, Ian? Apa karena aku?"
"Aku cinta kamu, Megan," katanya tanpa mengejutkanku. Aku sudah merasakannya, seperti aku tahu kalau perasaanku juga sama. "Dan aku nggak peduli kalau kamu nggak ngerasain hal yang sama, karena aku tahu kamu suka sama aku, dan itu langkah awal buat kamu mencintaiku."
Kata-kata yang keluar dari mulutku menyakitiku sama seperti menyakitinya.
"Aku nggak cinta kamu, Ian. Maaf, aku nggak bisa balas perasaanmu." Wajahnya sedikit berubah, tapi dia tetap tenang.
"Aku nggak peduli, Megan. Aku cuma mau mencoba."
"Kamu nggak ngerti, Ian. Yang kita punya ini cuma fisik. Aku cuma bersenang-senang sama kamu, dan itu aja. Kamu bukanlah orang yang aku impikan dalam hidupku."
"Kamu cuma bilang begitu karena kamu nggak mau aku ngorbanin mimpiku buat kamu."
Aku tahu itu, itu memang mimpinya. Dan aku bukan siapa-siapa yang bisa ngambil itu darinya.
"Itu sebabnya aku bilang begitu, Ian. Kamu nggak pantas kehilangan mimpimu cuma karena aku. Aku bakal merasa bersalah kalau kamu lakuin itu. Aku nggak mau terikat sama kamu, apalagi kalau nanti aku bosen sama kamu."
"Kamu nggak serius, kan, Megan?" Suaranya terdengar terluka, dan itu bikin aku sakit hati juga, tapi aku tetap pada pendirianku.
"Aku serius, Ian. Aku mungkin bakal pindah ke tempat lain juga, jadi usahamu bakal sia-sia."
Dia mendekat, memegang pinggangku dengan tatapan penuh keraguan.
"Jadi, kamu nggak ngerasa apa-apa sama sekali?"
Ya, aku ngerasain semuanya. Tapi yang keluar dari mulutku malah, "Sama sekali nggak ada."
"Kamu pasti bohong, atau kamu aktris yang sangat hebat."
"Jangan merasa kamu spesial, Ian. Aku bukan tipe cewek yang suka hubungan serius. Aku kayak gini sama semua orang."
"Berhenti. Aku nggak mau tahu soal hubungan kamu dengan orang lain."
"Sama aja, bedanya dengan yang lain aku punya lebih banyak kebebasan. Mereka lebih dewasa, tahu?"
"Megan, serius, aku nggak mau tahu hal-hal itu."
"Aku cuma jujur, Ian. Kamu bukan satu-satunya yang punya hak istimewa dengan aku."
"Cukup! Tolong sedikit sopan, aku nggak mau tahu gimana kamu memperlakukan orang lain dan terus nendang mereka, kayak yang kamu lakuin ke aku!"
"Orang lain nggak perlu dibuat terkesan, mereka nggak kekanak-kanakan kayak kamu!"
"Kalau kamu tahu aku kekanak-kanakan, kamu nggak seharusnya ngeladenin aku dari awal!"
Aku bersyukur tempat itu sepi, karena kami tampak seperti sepasang remaja yang bertengkar.
"Itu kesalahanku, Ian. Aku terlalu penasaran."
"Kamu menyebalkan, Megan."
Kata-katanya bikin kami berdua terdiam. Matanya terbelalak, kaget dengan apa yang baru dia ucapkan. Aku pun terpaku, karena kata-katanya menghantamku lebih keras dari yang kubayangkan.
"Kamu benar, Ian. Aku menyebalkan."
"Megan, aku .... Aku nggak bermaksud begitu ...." Dia mencoba meralat, tapi aku menghentikannya.
"Cukup, Ian." Aku berdiri. "Ini adalah perpisahan." Matanya mulai berkaca-kaca, dan itu menghancurkan hatiku. Tapi aku harap semua ini demi kebaikannya. Aku mencium pipinya, menatap matanya yang selalu membuatku tergila-gila. "Kamu akan berhasil."
Aku melewatinya dengan hati yang berat, mendengar bisikannya, "Selamat tinggal, Megan," saat aku berjalan pergi. Kata-kata itu menyeretku ke titik terendah.