Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13 : Alat-alat Buatan Arya
Raisha mengikuti Arya memasuki ruang yang terletak di ujung lorong, melewati pintu besi berwarna abu-abu yang sebelumnya tidak ia sadari ada. Begitu mereka melangkah masuk, sebuah pemandangan luar biasa terbentang di hadapannya.
Ruangan kali ini penuh dengan rak-rak yang dipadati peralatan dan prototipe, dengan desain modern dan tampak begitu rapi. Meskipun tetap memiliki aura “gudang” karena beragam alat elektronik rongsokan yang juga tersusun di sisi lain.
Namun, yang benar-benar menarik perhatian Raisha adalah beberapa alat canggih bahkan ada juga benda-benda yang tampak atraktif. Semuanya dipajang pada rak khusus. Alat-alat itu berkilau seperti sedang dipersiapkan untuk sebuah misi serius.
“Ini… karya kamu semua?” tanya Raisha sambil menyentuh sebuah alat berbentuk sarung tangan yang tergeletak di meja.
Arya mengangguk sambil tersenyum, “Iya, beberapa aku desain sendiri, beberapa lainnya hasil modifikasi alat-alat yang sudah ada. Aku coba tambahkan teknologi baru agar lebih efektif.”
Raisha memandang sarung tangan itu dengan penuh penasaran. Benda tersebut tampak sederhana dengan bodi campuran antara kain kevlar khusus dan logam matte hitam.
“Coba pakai dan arahkan ke dinding itu dan tekan tombol merah!” saran Arya.
Raisha memakai dan mengarahkan sarung tangan itu lalu menekan tombol merahnya. Tiba-tiba gelang itu memancarkan tali seukuran kawat dua milimeter yang ternyata bisa memanjang. Sementara kepala logamnya yang berputar kencang menembus dinding dan membuka membuat semacam cengkraman kuat.
Arya dengan cepat menjelaskan, “Itu pelontar tali. Meski tipis, tali baja khusus ini bisa menahan beban hingga satu ton. Aku merancangnya untuk situasi mendesak, seandainya… ya, seandainya seseorang butuh melintasi tempat yang tinggi atau butuh pegangan kuat ke objek yang cukup jauh”
“Berapa meter ini bisa menggapai objek?”
Arya menatap Raisha sejenak lalu menjawab, “Maksimal dua ratus meter.”
Raisha tampak kagum. “Sejauh dua ratus meter? Ini persiapan lapangan yang ekstrim.”
Arya tersenyum kecil. “Memang. Tapi, sebenarnya aku bahkan belum pernah benar-benar mengujinya di lapangan.”
Raisha menatap Arya dengan senyum penuh arti. “Berarti ini kesempatan bagus untuk mencobanya.” Arya tampak tersenyum ragu, tapi matanya berbinar dengan rasa bangga yang tidak ia tutupi.
Raisha kemudian beralih pada sarung tangan satu lagi “Kalau sebelah kiri?” tanyanya sambil memutar-mutar benda itu di tangannya.
“Oh, itu pemotong kaca jarak jauh,” jawab Arya. “Jika kau menekannya, alat itu akan melepaskan pemotong kecil yang berputar. Pemotong ini bisa dikontrol hingga ratusan meter jauhnya, dan hasil potongannya bisa disesuaikan ukurannya dengan layar digital di sini.”
Raisha tampak semakin tertarik, senyumnya kian melebar.
“Berapa maksimal ketebalan kaca yang bisa dipotong?”
“Menurut perhitungan ku, paling jauh masih bisa memotong hingga ketebalan satu sentimeter, semakin dekat semakin besar daya potongnya.”
“Gila! Boleh kucoba?”
Arya mengangkat bahu sambil tersenyum, “Silakan. Sudah ada selembar kaca bekas di sana untuk latihan.”
Raisha memasang sarung tangan kiri di tangan kirinya, lalu mengutak-atik pengaturan digital untuk menyesuaikan ukuran diameter potongan.
Kemudian, dia menekan sebuah tombol sambil mengarahkan tangannya, dan alat pemotong melesat dengan presisi sempurna menuju kaca di sudut ruangan. Dengan putaran secepat kilat pemotong berputar, menciptakan lingkaran sempurna dengan ukuran yang dipilih.
“Luar biasa!” serunya Raisha, penuh rasa puas.
“Dalam kondisi darurat ini bisa digunakan untuk memotong kaca gedung dan kamu bisa melintas dari satu gedung ke gedung lain menggunakan sarung tangan ini, tanpa cedera, semoga saja.”
“Semoga?” tanya Raisha berkernyit.
“Sudah kubilang, aku belum benar-benar mengujinya, bahkan aku sedikit takut.”
“Kamu membuat ini, tapi tidak pernah benar-benar mengujinya?” tanya Raisha sambil memandang Arya.
Arya hanya tersenyum sambil menggaruk kepala. “Itulah gunanya ada kamu di sini.”
Raisha memutar mata, tapi tak bisa menyembunyikan senyumnya. Rasanya aneh menyadari Arya, si penjual asuransi yang kelihatannya biasa saja, sebenarnya menyimpan sisi yang begitu unik dan bahkan agak misterius. Tidak hanya punya ide brilian, tapi juga punya kemampuan teknis yang tak main-main.
Setelah mencoba beberapa alat lainnya, Arya menunjuk ke sebuah pintu kecil di pojok ruangan. “Itu workshop-ku. Di sana aku biasa mengolah besi dan plastik. Ada alat las, pemotong besi, dan drill. Bahkan aku punya printer 3D olah logam dan plastik untuk mencetak bagian-bagian kecil yang aku perlukan.”
Raisha mengangguk pelan, merasa semakin kagum. Dalam diam, ia menatap ruangan penuh alat-alat canggih dan proyek-proyek yang belum terselesaikan. Di benaknya, ia tahu bahwa sosok Arya ternyata lebih dari sekadar yang ia duga. Ada lebih banyak potensi dan kejeniusan di balik wajah kalemnya.
“Kalau kamu serius, kita bisa lanjutkan tes alat-alat ini,” Arya menawarkan dengan ekspresi serius, meskipun ada sedikit binar kebanggaan yang tampak di matanya.
Raisha menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Ya, aku pikir, itu ide yang bagus.”
Setelah beberapa alat yang dicoba, Raisha memperhatikan sebuah kotak kecil dengan layar digital dan tombol-tombol di sudut rak. “Ini apa?” tanyanya, memiringkan kepalanya sambil mencoba membaca label pada alat itu.
Arya mendekat dan menjelaskan dengan nada ringan, “Oh, itu alat deteksi gelombang elektromagnetik yang pernah kubuat. Sebenarnya, aku belum pernah melihat alat ini benar-benar bereaksi. Hanya untuk iseng saja.
“Tapi, bisa dicoba kan?”
“Ya, tinggal tekan saja tombol on,” sahut Arya.
Tanpa menunggu jawaban, Arya menghidupkan alat itu. Tiba-tiba, suara nyaring muncul dari alat tersebut. Bunyi bip-bip, seperti detektor yang menangkap sesuatu. Mata Arya melebar karena terkejut.
“Biasanya alat ini nggak pernah berbunyi seperti ini,” gumamnya, lebih pada dirinya sendiri.
Raisha mendekat untuk melihat lebih dekat ke alat itu, namun semakin dekat ia berada di samping Arya, bunyinya malah semakin kencang. Arya memperhatikan layar kecil alat itu yang menunjukkan lonjakan deteksi gelombang.
“Tunggu sebentar,” Arya berkata cepat, dengan mata tetap terpaku pada alat. “Coba kamu menjauh.”
Raisha menurut, perlahan melangkah mundur beberapa meter. Benar saja, bunyinya menurun hingga akhirnya alat itu kembali hampir hening, bahkan benar-benar hening setelah melewati jarak dua meter.
Arya menatap Raisha dengan alis terangkat. “Sepertinya tubuhmu memancarkan gelombang elektromagnetik.”
Raisha mendekat lagi, dan suara alat itu kembali melonjak.
Arya mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. “Ini aneh,” gumamnya sambil mendekati Raisha. “Tunggu, mungkin ada sesuatu di tubuhmu, atau… pakaianmu.”
Raisha tersentak sejenak, kemudian meraba lehernya, menyentuh kalung yang ia kenakan: kalung bermata metal pipih yang selalu ada di lehernya. Matanya bertemu dengan Arya, keduanya seketika menyadari bahwa mungkin kalung itulah sumber dari gelombang yang dideteksi alat Arya.
“Bisa kamu lepas kalungnya?” pinta Arya.
Raisha melepas kalungnya dan memposisikan pada suatu tempat kemudian diubah, menyebabkan perubahan pada suara bip-bip alat itu.
“Tak salah lagi, kalungmu memancarkan gelombang,” Arya berkata dengan suara terkejut namun penuh antisipasi. “Aku tidak tahu pasti bagaimana, tapi alat ini menangkap sesuatu dari benda itu.”
Raisha menatap kalungnya sejenak, lalu kembali melihat Arya. “Aku tidak tahu bahwa kalung ini bisa melakukan hal seperti itu,” katanya, agak bingung.
Arya mengangguk, matanya penuh rasa ingin tahu. “Sepertinya lebih dari sekadar perhiasan biasa.”
Raisha hanya mengangguk samar, merasa pikirannya berputar, menghubungkan fakta-fakta yang muncul. Ini bukan kalung biasa.
Arya menatap Raisha dengan tatapan serius. “Aku rasa ini bukan kebetulan,” Arya berpikir sejenak, “Aku rasa… aku rasa… benda ini yang membuat kita tak terpengaruh kendali Dr. Brain?”
Raisha tak menjawab, hanya berdiri dalam diam, berusaha meresapi kenyataan yang baru saja mereka temukan.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!