Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.
Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Tersembunyi
Hari hampir gelap saat Rafael memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Dia harus sampai di rumah sebelum malam tiba. Dia tidak ingin menghadapi pertengkaran lain dengan papanya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, Rafael akhirnya sampai di depan rumah. Dia menghela napas lega. ‘Syukurlah, Papa belum pulang,’ pikirnya, carport tidak ada mobil papa meski langit sudah mulai gelap. Dia merasa sedikit lega—setidaknya untuk sementara, dia tidak perlu menjelaskan apa yang baru saja dia lakukan.
Tapi saat Rafael turun dari motor dan mulai berjalan ke halaman depan, sesuatu yang aneh terjadi. Di sudut matanya, dia menangkap bayangan—sesuatu yang membuat darahnya mendadak membeku.
Dia menoleh, dan jantungnya nyaris berhenti. Di sana, tepat di pojok halaman, berdiri topeng yang baru saja dia buang ke sungai. Topeng itu terlihat sempurna, seolah-olah tidak pernah basah, tidak pernah disentuh oleh arus sungai. Topeng itu menatap lurus ke arahnya, diam, tapi mengintimidasi. Mata kosong yang gelap itu kembali memancarkan teror yang sama seperti sebelumnya.
Rafael merasa tubuhnya menegang. “Gak mungkin… gue udah buang lo…”
Namun, seolah mendengar, topeng itu bergerak. Tidak ada tangan yang menyentuhnya, tapi topeng itu melayang, bergerak mendekat ke arah Rafael. Rafael melangkah mundur, suara detak jantung Rafael semakin keras, memekakkan telinganya. Nafasnya mulai tersengal, kepanikannya meningkat saat topeng itu terus mendekat, seperti benda hidup yang berniat mengejarnya.
Benda itu terus mendekat, seolah tidak terpengaruh oleh fakta bahwa Rafael sudah membuangnya ke sungai. Ketika punggung Rafael menabrak motornya yang terparkir di belakangnya, dia tersentak dan kehilangan keseimbangan, membuat tubuhnya bergoyang.
Rafael semakin panik. Tidak ada lagi tempat untuk mundur. Dengan ketakutan, dia berbalik dan berlari menuju gerbang rumah. Namun, saat pintu gerbang terbuka dan Rafael berlari keluar ke jalan, tiba-tiba sebuah motor melaju kencang.
Rafael yang terlalu fokus pada rasa takutnya, tidak sempat memperhatikan motor itu. Brak! Tabrakan terjadi dengan cepat. Rafael terhuyung, tubuhnya terdorong ke belakang dan terjatuh keras ke aspal. Pandangannya seketika kabur, dan rasa nyeri menjalar dari tubuhnya. Dunia di sekitarnya berputar, dan dalam beberapa detik, segalanya menjadi gelap.
Saat suara benturan keras terdengar, tetangga di sekitar langsung tersentak. Orang-orang yang sedang lewat cepat-cepat menoleh, dan dalam sekejap mata, mereka melihat Rafael tergeletak di jalan dengan tubuh terluka parah, darah mengalir dari kepalanya.
“Ya ampun! Itu anaknya Pak Adrian!” seru seorang ibu yang langsung mengenali Rafael.
Orang-orang langsung berkerumun, sebagian mulai panik melihat kondisi Rafael yang tak bergerak.
“Siapa yang nabrak?! Kok langsung kabur?! Ada yang lihat nggak?” teriak salah satu tetangga, melirik ke arah jalan yang kini kosong, si pengendara motor yang menabrak Rafael sudah melesat pergi.
“Astaga, ini parah banget. Kita harus bawa dia ke rumah sakit!” tambah seorang bapak dengan nada cemas.
“Momongan bik Minah ini!” kata yang lain, mengenali Rafael yang sering terlihat di sekitar rumah itu.
Tetangga-tetangga mulai bergerak cepat. Sebagian mencoba mengangkat Rafael dengan hati-hati, sementara yang lain mulai mencari bantuan.
Salah seorang tetangga berlari ke pagar rumah, berteriak memanggil, “Bik Minah! Bik Minah! Keluar cepat, Rafael kecelakaan!”
Bik Minah, yang sedang berada di dalam rumah, mendengar teriakan panik itu dan segera berlari keluar. Begitu dia melihat kerumunan dan Rafael yang tergeletak tak sadarkan diri, tubuhnya langsung lemas.
“Ya Allah, Rafael!” pekiknya dengan wajah pucat.
Para tetangga segera bertindak. Dengan hati-hati, mereka mengangkat tubuh Rafael dan membawanya ke mobil salah satu warga untuk segera dibawa ke rumah sakit. Bik Minah hanya bisa memohon dalam hati, berharap Rafael selamat dari kejadian mengerikan ini.
***
Di depan ruang IGD, Bik Minah duduk dengan gemetar, matanya bengkak karena tangis yang tak kunjung berhenti. Berkali-kali dia mencoba menelepon Adrian, namun usahanya selalu gagal. “Kenapa HP-nya gak aktif sih, Pak?” gumamnya dengan nada frustasi, sambil kembali mencoba menekan tombol panggilan di ponselnya.
Tak lama, pintu ruang IGD terbuka, dan seorang dokter keluar dengan wajah tenang. “Bu?” panggilnya.
Bik Minah segera berdiri, napasnya tercekat. “Iya, Pak Dokter... gimana anak saya? Eh... maksud saya, gimana Rafael?” tanyanya dengan nada panik.
Dokter tersenyum tipis, berusaha menenangkan wanita tua yang tampak begitu cemas itu. “Jangan khawatir, Bu. Rafael hanya mengalami luka luar. Kepala dan badannya tidak mengalami trauma berat.”
“Tapi... tadi darahnya banyak sekali, Pak Dokter... Beneran gak apa-apa?” Bik Minah masih meragukan, tangannya gemetar memegang tas kecil di tangannya.
Dokter mengangguk sambil menjelaskan lebih lanjut, “Kadang luka di kepala memang terlihat lebih parah dari yang sebenarnya karena area kepala memiliki banyak pembuluh darah. Luka-luka kecil bisa berdarah lebih banyak. Kami sudah jahit luka di pelipisnya, dan tidak ada tanda-tanda gegar otak atau cedera dalam.”
Bik Minah akhirnya menghela napas panjang, merasa lega. “Alhamdulillah, makasih, Pak Dokter. Makasih banyak.”
“Rafael sudah sadar, Ibu bisa menemui dia sekarang,” tambah dokter sambil tersenyum, lalu berlalu menuju ruangan lain.
Dengan hati yang sedikit lebih tenang, Bik Minah segera masuk ke ruang IGD. Matanya langsung tertuju pada Rafael yang sudah sadar dan duduk di ranjang rumah sakit. Wajahnya terlihat linglung, pandangannya kosong seolah masih kebingungan dengan apa yang terjadi.
“Nak... kenapa bisa ketabrak di depan rumah sih?” tanya Bik Minah, suaranya gemetar. “Bibik gemetaran tau! Kamu ini bikin Bibik khawatir mulu!” meski nada suaranya terdengar marah, tapi jelas-jelas ada rasa sayang yang mendalam di dalamnya.
Rafael tidak langsung menjawab. Dia masih diam, tatapannya kosong. Kepalanya masih berdenyut pelan, bukan karena lukanya, tapi karena bayangan topeng mengerikan itu terus membayangi pikirannya.
Melihat Rafael yang diam saja, Bik Minah semakin cemas. “Nak... maafin Bibik ya? Gak niat marahin kamu. Bibik cuma takut kamu kenapa-napa. Bibik sayang sama kamu,” ujarnya dengan suara lembut, matanya mulai berair lagi.
Rafael menunduk, masih mencoba memahami semua yang baru saja terjadi. ‘Kenapa topeng itu kembali? Kenapa dia terus muncul di mana-mana?’ Pikirannya berputar-putar, dan bayangan peristiwa sebelum dia tertabrak terus menghantui.
Akhirnya, Rafael tidak tahan lagi. Dengan suara rendah dan penuh kebingungan, dia berbisik, “Bik... aku harus gimana? Ada yang ngejar aku.”
Bik Minah tertegun. “Ngejar? Siapa yang ngejar kamu, Nak?” tanyanya heran.
Rafael menggelengkan kepala, matanya berkaca-kaca. “Aku gak tahu, Bik... Tapi ada yang ngikutin aku... Ada yang ngejar aku, dari tadi. Itu... itu yang bikin aku kabur sampe ketabrak.”
Melihat Rafael begitu terguncang, Bik Minah berusaha menenangkannya. Dia duduk lebih dekat, menyentuh lengan Rafael dengan lembut.
“Siapa yang ngejar kamu, Nak? Kasih tau Bibik. Siapa yang bikin kamu takut?” tanyanya dengan lembut.
Rafael menunduk, tangan gemetar, mencengkeram erat selimut rumah sakit. Napasnya masih berat, pikirannya penuh dengan bayangan topeng yang seolah tak bisa hilang dari benaknya.
“Topeng, Bik. Topeng itu,” bisik Rafael akhirnya, suaranya bergetar penuh ketakutan.
Bik Minah terdiam sejenak, bingung dengan apa yang baru saja dia dengar. “Topeng? Kamu... pusing ya, Nak? Apa tadi kejedot terlalu keras?” tanya Bik Minah, berusaha memahami situasi.
Namun, ucapannya membuat Rafael merasa semakin tidak dimengerti. Dia mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca. “Bik, aku gak pusing! Aku serius! Topeng itu... aku udah buang, tapi dia balik lagi, dia ngikutin aku!” Suaranya mulai meninggi, emosi memuncak, dan tangannya bergetar hebat.
Rafael merasa tidak ada yang memahami apa yang sedang dialaminya. Semua ketakutan dan tekanan yang dia rasakan sejak pertemuannya dengan topeng itu semakin membebani pikirannya. Kesedihannya berubah menjadi frustrasi yang menyesakkan.
Melihat Rafael semakin terguncang, Bik Minah langsung mendekat dan memeluk Rafael erat-erat. “Iya, iya, Bibik percaya... Kamu tenang ya, Nak. Bibik percaya,” bisiknya lembut sambil menepuk-nepuk punggung Rafael dengan penuh kasih sayang.
Rafael terdiam dalam pelukan Minah, napasnya yang tadinya cepat perlahan mulai mereda. Meski hatinya masih penuh dengan kebingungan dan rasa takut, pelukan Bik Minah memberinya sedikit ketenangan. Untuk sesaat, dia merasa tidak sendirian dalam menghadapi semua ini.