DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM30
POV Rama
"Mas Raga bilang, kalau 2 minggu lagi akan pulang. Dan Mas Raga minta tolong dijemput. Kamu keberatan tidak kalau kita jemput mereka?" tanya ku dengan hati-hati.
"Ya tidak lah, Mas. Apa Mas Raga sudah beli tiketnya?"
"Mungkin sudah beli, Yank. Coba nanti Mas tanya."
"Kalau belum beli, minta Mas Raga untuk beli tiket yang hari sabtu sore atau minggu gitu. Jadi kan kamu tidak perlu izin kerja, Mas."
"Coba Mas hubungi Mas Raga dulu, ya."
"Otre, Mas. Aku mau main dulu sama bocil ya."
Aku segera menelepon Mas Raga. Kami berbincang-bincang sebentar. Selagi kami mengobrol, aku memperhatikan Alana yang tengah bermain dengan ketiga bocil.
Ku tatap Alana yang menggendong dan menciumi perut Kia sampai dia tertawa terbahak-bahak.
Zaki dan Bian sampai menatap mereka sambil tertawa, begitupun aku.
Selesai menelpon, aku berjalan ke arah mereka sambil ku elus kepala Zaki dan Bian.
"Mas Zaki dan Mas Bian, main apa? Bunda dan Kia nya gak di ajak?"
Zaki dan Bian mengangguk.
"Nyusun lego pesawat, Yah. Belom nemu bagian yang ini ...," tunjuk Bian ke bagian tengah legonya.
"Kia kalau dekat sini malah hancur legonya, Yah." Ucap Zaki sambil menowel-nowel pipi adiknya.
"Ya sudah, Kia main boneka sama Bunda aja ya. Jangan ganggu mas-masnya." Aku pun ikut menowel pipi Kia yang menggemaskan.
...****************...
Hari kepulangan Mas Raga pun tiba. Sabtu siang aku ke kota bersama Bima, untuk menjemput Mas Raga di bandara di kota.
Alana dan anak-anak tinggal di rumah karena antisipasi bawaan Mas Raga sekeluarga akan banyak, malah takutnya mobil nanti tidak cukup. Selain itu, Sabtu ini anak-anak baru untuk restoran Alana akan mulai masuk untuk training.
Renovasi restoran sudah 95% selesai. Tinggal tahap akhir dan beberapa dekorasi yang harus dipasang.
Alana juga jadi merekrut bibinya Alif dan temannya. Waktu test food, Bu Anti mengajak temannya yang selama ini membantunya memasak di hajatan. Masakan mereka sungguh sedap dan nikmat. Mereka menyusun menu untuk restoran, bersama-sama. Banyak masukan dari Bu Anti supaya bahan-bahan yang dipakai nanti efisien.
Ah, semoga bisnis istri ku lancar jaya. Aamiin!
Sekali lagi aku bangga sekali dengan istriku ini. Pencapaiannya luar biasa. Dengan kecerdasan, keuletan dan kerja kerasnya, Alana berhasil mengangkat derajat keluarga kami.
Yang paling menyentuh adalah ketika dia mengatakan dia berhasil membuktikan kepada keluargaku, bahwa aku tidak membawa sial.
Buktinya, meski aku menjadi suaminya, usahanya lancar. Bahkan bisa menolong Mas Raga. Memang kadang-kadang stigma pembawa sial itu masih menghantuiku, meski sekarang semakin jarang. Aku semakin percaya diri karena istriku ini.
Ternyata tidak hanya aku yang terkesan dan bangga dengan keberhasilan Alana, Bima pun merasa demikian. Kata Bima, meski cuma lulusan SMA, ada saja cara Alana untuk meningkatkan usahanya. Dia yang sarjana saja belum berpikir sampai ke sana.
Kami mengobrol banyak selama perjalanan ke kota. Meski garis besar aku tahu kondisi usaha Alana, aku makin kagum kepada istriku ini saat mendengar lebih detail dari Bima.
Setelah parkir mobil, kukirim pesan ke Mas Raga posisi di mana kami menunggu kedatangannya. Tadi masih centang 1, mungkin ponselnya belum aktif. Kata Bima di dalam pesawat ponsel harus dimatikan. Aku tidak tahu soal ini karena belum pernah naik pesawat.
Bima berjalan ke arah televisi yang menampilkan status penerbangan-penerbangan.
"Pesawatnya baru mendarat, Mas, kalau kata di layar itu."
"Berarti berapa lama lagi keluarnya, Bim?"
"Sekitar 15 sampai 30 menitan, Mas. Apalagi kalau ada bagasi. Kan nunggu dibongkar dulu dari pesawatnya. Mas mau kopi, gak? Biar ku beliin sekalian sambil nunggu Mas Raga keluar."
"Boleh, Bim. Yang gula aren aja, ya."
"Ok, Mas."
Bima menuju salah satu stan kopi modern. Kekinian kalau kata Alana dan Bima. 20 menit kemudian kudengar ada yang memanggilku.
"Rama ...."
Kucari sumber suara itu. Ternyata Mas Raga. Kulihat Mas Raga, Mbak Utami, dan keponakan-keponakanku berjalan ke arah kami, membawa beberapa koper dan kardus di kereta dorong.
"Mas, Mbak." ku sapa kakak tertuaku, ku salami keduanya. Bima mengikutiku bersalaman dengan Mas Raga dan Mbak Utami.
"Nanda dan Nindi udah gede ya ternyata ...," ucapku.
"Nanda, Nindi, ayo salim sama Paklek ...," pinta Mas Raga.
Nanda dan Nindi mencium punggung tanganku dan Bima.
"Bawaannya cuma ini, Mas?" tanyaku.
"Iya, Ram. Perabot di mess kebanyakan punya perusahaan. Yang kami beli sendiri, dijual di sana. Dari pada repot bawanya. Belum lagi, biaya angkutnya kalau mau bawa ke sini."
"Ya udah ayo ke mobil. Tadi kami parkir di sebelah sana," ku tunjuk arah di mana mobil di parkir.
Setelah mengatur barang di dalam mobil, kami semua masuk dan langsung melaju keluar bandara.
"Mas, Mbak, kita mampir makan sekalian jalan pulang ya? Atau Mas Raga dan Mbak Utami ada yang mau dituju dulu sebelum pulang?"
"Tidak ada, Ram. Kita langsung aja. Sudah kangen sama Bapak dan Ibu. Sudah berapa tahun tidak pulang," sahut Mas Raga.
Ku perhatikan raut wajah kakakku dan istrinya dari kaca spion. Mereka tampak lelah. Terbeban lebih tepatnya.
"Baiklah kalau gitu kita mampir makan aja. Nah Bima ini yang tahu tempat makan rekomen di kota ini. Mas Raga masih ingat Bima, kan? Adiknya Alana yang pernah kuliah di kota ini."
"Ingat, Ram," jawab Mas Raga. "Gimana kuliahmu, Bim?"
"Alhamdulillah sudah selesai, Mas. Beberapa bulan lalu baru wisuda. Mas Rama dan Mbak Alana juga ikut hadir."
"Syukurlah kalau begitu. Terus sekarang kerja di mana?"
"Sekarang bantu Mbak Alana di cafe nya, Mas."
"Cafe nya Alana sekarang udah ada restorannya, Mas. Hampir selesai renovasinya. Jadi kalau pagi restoran, sore sampai malam jadi cafe. Idenya dari Bima ini ...," timpalku.
"Enak dong ya, baru lulus langsung ada kerjaan." Celetuk Mbak Utami dengan ekspresi yang tidak ku mengerti.
"Syukurlah, Mbak. Rezeki saya hehehe ...." Bima menimpali dengan ringan.
"Bagus itu. Artinya usaha Alana makin maju. Dan kalau memang bisa bantu saudara sendiri, kenapa tidak." kata Mas Raga dengan bijak.
Kami lanjut mengobrol sambil sesekali Bima mengarahkanku ke tempat makan rekomendasinya. Restoran seafood yang jadi pilihan malam ini. Bima bilang semua menunya enak.
Kuminta Mas Raga dan keluarganya memesan apa yang mereka inginkan. Karena aku kasihan dengan Nanda dan Nindi. Sepertinya kehidupan mereka di sana begitu sulit sampai keponakanku ini terlihat kurus dan lusuh.
Saat masuk mobil tadi saja, matanya sudah berbinar-binar. Tambah lagi saat mereka memegang menu. Menu tempat ini memang dilengkapi dengan gambar yang terlihat menggiurkan.
Aku memang belum akrab dengan keponakanku ini karena jarang bertemu dan berhubungan. Apalagi saat sebelum aku menikah, masih dikucilkan di keluargaku. Tapi aku tidak ingin semua itu dirasakan oleh anak-anakku dan keponakan-keponakanku.
*
*
Bersambung .....
akhirnya ya rama 😭
dah aq vote n kasih bunga biar semangat ya... sukses selalu