Arumi harus menelan kekecewaan setelah mendapati kabar yang disampaikan oleh Narendra, sepupu jauh calon suaminya, bahwa Vino tidak dapat melangsungkan pernikahan dengannya tanpa alasan yang jelas.
Dimas, sang ayah yang tidak ingin menanggung malu atas batalnya pernikahan putrinya, meminta Narendra, selaku keluarga dari pihak Vino untuk bertanggung jawab dengan menikahi Arumi setelah memastikan pria itu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Arumi dan Narendra tentu menolak, tetapi Dimas tetap pada pendiriannya untuk menikahkan keduanya hingga pernikahan yang tidak diinginkan pun terjadi.
Akankah kisah rumah tangga tanpa cinta antara Arumi dan Narendra berakhir bahagia atau justru sebaliknya?
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada calon suami Arumi hingga membatalkan pernikahan secara sepihak?
Penasaran kisah selanjutnya?
yuk, ikuti terus ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 27
Narendra terkekeh melihat wajah pias Arumi yang baru saja kembali dari luar. Ia memang sengaja mengerjai Arumi dan ingin melihat ekspresi wanita itu, tetapi bukannya marah, Arumi justru seperti kehilangan separuh nyawanya hingga untuk sekedar bertanya pun rasanya tidak bertenaga.
Pria itu menarik Arumi untuk duduk di pinggiran kasur barunya.
“Kenapa syok begitu? Kamu, kan, istriku?”
Arumi menghembuskan napasnya gusar. “Gimana nggak syok, di lantai atas ada enam kamar, bukankah itu berarti … ah, sudah lah, kamu ngeselin!”
Arumi pikir setelah kejadian kemarin dan tadi di kantor, Narendra akan sedikit segan untuk menggodanya, nyatanya pria itu justru lebih gencar lagi. Bahkan sekarang pria itu tidak segan mengatakan hal-hal yang lebih dalam dari sebelumnya. Arumi bahagia juga merasa sedikit aneh dengan dirinya sendiri.
Ia bahagia karena ada pria yang benar-benar mau menerima dirinya apa adanya. Namun, disisi lain ia merasa ini terlalu cepat, Arumi bahkan baru beberapa hari mengenal Narendra, tetapi entah mengapa dirinya merasa begitu nyaman berada di dekat pria itu.
“Jangan ngambek gitu, lah. Ayo, aku tunjukin ruangan yang lainnya.”
Tidak ingin membuat Arumi semakin kesal, Narendra segera mengajak wanita itu untuk kembali berkeliling dan turun ke lantai dasar hingga di bagian belakang rumah yang terdapat taman kecil serta kolam renang yang saling bersisian.
Arumi tidak lagi bisa menutupi kebahagiaannya. Matanya berkaca-kaca setelah baru saja dirinya dan sang suami mengelilingi rumah barunya.
“Aku nggak nyangka bisa berada di rumah ini, bahkan akan menghuninya. Kamu tahu, dulu aku pernah bermimpi, jika suatu hari aku akan memiliki rumah seperti yang sekarang kita pijaki,” ungkap Arumi. Keduanya tengah berdiri di ambang pintu dapur menatap halaman yang cukup luas di belakang rumah.
Narendra menoleh, melihat Arumi yang tengah berkaca matanya. “Bukankah itu pertanda bahwa Tuhan itu adil? Meski awalnya kamu harus berdarah-darah terlebih dulu sebelum akhirnya menjumpai kebahagiaan?”
“Ya, kamu memang benar dan aku baru menyadari, jika segala sesuatu pasti ada alasannya. Dulu, aku terlalu berburuk sangka dengan menganggap semua yang terjadi karena Tuhan tidak menyayangiku, tapi ternyata, aku lah yang begitu jauh sehingga Tuhan menegurku sedemikian rupa dan segera kembali memelukku lagi setelah aku kembali padaNya. Lewat kamu, aku bisa menjadi diriku sendiri. Terima kasih … Suamiku,” ungkap Arumi tulus.
Tangan yang sedari tadi bersedekap dada, kini beralih mengusap pipinya yang basah. Arumi sangat bersyukur, sekali lagi, dirinya merasa begitu beruntung karena lagi dan lagi Narendra lah yang selalu ada untuknya selain keluarganya.
Ungkapan tulus wanita itu berhasil meluluhkan pertahanan yang pernah dibuat Narendra agar tidak mudah terpedaya oleh wanita.
Arumi, wanita yang baru saja ia kenal justru dengan mudahnya melunturkan semua itu, bahkan menyisakan sesak di dada pria yang sedari tadi menatap teduh wajah wanita yang masih sembab memerah itu.
Tangan pria itu terulur dan membawa Arumi ke dalam dekapannya. Ia mengusap surai hitam istrinya dengan lembut dan menenangkannya.
“Puaskan tangisanmu hari ini karena aku tidak ingin melihat pipimu basah oleh air matamu lagi. Aku ingin kamu selalu bahagia bersamaku,” pinta Narendra.
Drrt
Drrt
Ponsel yang berada di saku celana Narendra bergetar, Arumi melerai pelukannya dan meminta Narendra untuk melihatnya.
“Angkat saja, siapa tahu penting,” ucap Arumi.
Narendra mengangguk kemudian merogoh saku celananya. Di sana terpampang jelas bahwa sang mama yang tengah menghubunginya.
“Siapa?”
“Mama telpon,” ucap Narendra dan segera menggeser mode terima kemudian me-loudspeaker.
“Assalamu'alaikum, Ma,”
“Waalaikumsalam, Naren. Kamu sedang di kantor, Nak?” tanya Dewi di seberang sana.
“Tidak, Ma. Ini sekarang Naren sedang di rumah baru sama Arumi. Memangnya ada apa, Ma, tumben tiba-tiba telpon,”
“Di rumah ada om, tante, dan polisi, mereka membawa surat penangkapan buat kamu, sepertinya ini masalah kemarin itu, Ren,” ungkap Dewi.
Di sana Dewi tidak begitu risau sebab ia yakin putranya tidak sepenuhnya bersalah, sehingga ia masih bisa menghubungi putra sulungnya alih-alih meminta bibi meneleponnya.
“Ya, sudah, kalau begitu Naren pulang sekarang, Ma,”
“Ya, pulanglah, hati-hati di jalan. Beritahu Arumi kalau tidak akan terjadi apa-apa.”
Setelah saling mengucapkan salam, Narendra segera kembali menyimpan ponselnya dan segera mengajak Arumi untuk pulang.
“Kamu akan baik-baik saja, kan, Ren?” tanya Arumi begitu mobil melaju menuju ke rumah mertuanya.
Arumi begitu khawatir akan Narendra, ia kembali merutuki kebodohannya yang kini menyebabkan suaminya harus berurusan dengan polisi. Ia takut, jika Vino menggunakan kekuasaannya untuk menjatuhkan suaminya.
“Kamu yang tenang karena aku akan baik-baik saja. Kalaupun terjadi sesuatu padaku, akankah kamu meninggalkanku?”
Arumi menggeleng cepat. “Aku minta, kamu harus tetap baik-baik saja. Aku akan tetap di sampingmu apapun yang terjadi. Maafkan aku, Ren. Gara-gara masalahku, kamu jadi terkena imbasnya.”
“Kita suami istri, Arumi. Sudah sepantasnya aku melindungi kamu dari orang-orang jahat. Sekarang kamu tenangkan dirimu dulu.” Tangan Narendra membuka laci dashboard dan mengambil sebotol air mineral dan Mengulurkannya pada sang istri. “Minumlah.”
Narendra dan Arumi tiba di rumah dua puluh menit setelahnya. Keduanya bergegas masuk ke rumah dan mendapati Om dan Tantenya tengah adu mulut dan sang mama.
“Assalamualaikum,” salam keduanya.
“Waalaikumsalam,” jawab semuanya yang ada di ruang tamu.
“Nah, ini, nih orang yang sudah menghajar putra saya sampai babak belur, Pak. Sudah, tangkap saja, Pak!” teriak Silvi sambil beranjak dari duduknya dan menunjuk-nunjuk ke arah Narendra.
“Anda tenang dulu, Bu.” Dua orang polisi mencoba menghentikan Silvi yang hendak menyerang Narendra.
“Bagaimana saya bisa tenang, putra saya babak belur karena dia, Pak. Saya tidak mau tahu, pokoknya dia harus di penjara!”
“Benar, Pak. Lebih baik sekarang bapak tangkap saja dia.” Bastian turut memerintah.
Kedua polisi yang dibawa oleh orang tua Vino lantas saling berpandangan, kemudian bergantian mengangguk.
Salah satu polisi bernama Ilham mendekati Narendra. “Benar, Anda yang bernama Narendra?”
“Benar, saya sendiri, Pak,” jawab Narendra.
“Kami mendapatkan laporan bahwa Anda telah menghajar saudara Vino, putra dari Bapak Bastian hingga banyak luka lebam di sekujur tubuhnya. Anda kami tangkap karena telah melakukan penyerangan kepada saudara Vino.” Pak Ilham pun menyerahkan surat penangkapan untuk Narendra.
“Pak, suami saya tidak bersalah. Dia hanya membela saya karena kelakuan bejat dari Vino sendiri!” teriak Arumi ketika Narendra baru saja membaca surat penangkapan untuknya.
Tangan wanita itu membentuk perlindungan untuk Narendra, ia berdiri di depan suaminya sambil merentangkan tangannya. Namun, Narendra menyentuh pundak sang istri dan memintanya untuk tenang.
"kamu tenang Arumi, aku akan baik-baik saja," ucap Narendra.
Arumi terus menolak. Namun, Narendra justru mengangguk dan bersedia untuk ikut bersama kedua polisi itu, tetapi sebelum pergi, pria itu menoleh ke arah Silvi dan Bastian yang tengah tersenyum puas menatap pria itu hendak digelandang oleh polisi.
“Kita lihat saja, setelah ini siapa yang akan menangis darah!”
Tatapan pria itu beralih ke arah kedua orang tuanya. “Pa, Ma, Naren titip Arumi sebentar.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Narendra bergegas pergi bersama kedua polisi yang dibawa oleh Silvi dan Bastian.
“Ren! Naren, jangan pergi!” teriak Arumi, ia hendak menyusul Narendra, tetapi kedua mertuanya segera menahannya.
“Lepaskan Arumi, Pa, Ma. Suami Arumi tidak bersalah!” pinta Arumi di sela tangisnya.
“Tenang, Sayang. Mama sama Papa akan membantu Naren untuk bebas dari sana,” hibur Dewi.
Hati Arumi sungguh teriris, ia baru saja bahagia, tetapi kini justru kembali terluka karena orang yang selama ini selalu ada untuknya justru pergi mempertanggung jawabkan sesuatu yang bukan kesalahannya.
Bersambung