Karie yang ingin menjadi Sikerei kesatria Maya demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik semua halangan ia lewati, namun kakaknya selalu menghalangi jalannya dalam Menjadi Sikerei pilihan merelakan atau menggapainya akan memberikan bayaran yang berbeda, jalan mana yang ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Io Ahmad, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bermula.
Senna, gadis kecil berambut coklat panjang, menatap Eon dengan mata penuh pertanyaan. “Eon, kenapa ayah selalu terlihat sibuk, selalu berkata nanti saat ku ajak bermain. Apa ia tidak peduli dengan ku?”
Eon menghela napas, lalu menjawab dengan lembut, “Senna tidak boleh berkata seperti itu. Ayah Senna saat ini adalah putra mahkota dan sebentar lagi akan menjadi Kaisar Elinalis ke-12. Kamu tahu, ia juga sedang menentukan masa depan kekaisaran Elinalis, bahkan nasib Senna juga loh.”
Eon mengangkat tangannya, yang tiba-tiba berubah menjadi bersisik dan berkuku tajam. Senna terkejut, tetapi tetap mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Saat aku kecil, semua orang takut dengan wujudku ini,” Eon memulai, suaranya penuh kenangan pahit. “Orang tuaku membuangku karena sifat Mayaku. Orang-orang melihatku seperti monster. Aku tinggal sendiri di hutan, hingga bertemu seorang pemuda yang selalu meninggalkan roti untukku.”
Eon berhenti sejenak, mengingat masa-masa sulit itu. “Ia tidak takut padaku dan selalu berkata, ‘Kamu sama seperti kita, manusia yang mulia.’ Seiring waktu, kami semakin dekat, berburu bersama, dan ia membantu mengendalikan kekuatanku.”
Eon menatap Senna, matanya penuh harapan. “Saat aku hanya bermimpi bisa makan daging setiap hari, ia bermimpi menciptakan dunia baru dengan memisahkan Maya dari manusia untuk masa depan yang lebih baik. Sekarang, ia sedang mewujudkan mimpi itu untuk kita.”
Seekor merpati dengan pesan di kakinya hinggap di pangkuan Eon, mengakhiri cerita masa lalunya. Eon mengambil pesan itu, tetapi sebelum membacanya, ia menatap Senna yang masih merenung.
“ Tunggu paman, beritahu aku bagaimana cara supaya aku dapat perhatian lebih dari ayah, paman Eon?” tanya Senna dengan suara pelan.
Eon tersenyum, senang melihat Senna mulai memahami makna dari ceritanya. “Tunjukkan apa yang Senna bisa lakukan untuk ayahmu saat ini,” jawabnya lembut. “Mulai saja dari hal-hal sederhana, oke?”
Eon menyentuh hidung kecil Senna dengan lembut, membuat gadis kecil itu tersenyum.
***
Harist menatap keluar jendela, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Jadi pak tua dan para semut kecil peliharaannya sudah hampir sampai dekat gulanya ya?” gumamnya.
Eon masuk ke ruangan Harist, “Benar tuan Kaisar ke- 11 sudah hampir sampai.” wajahnya penuh kekhawatiran akan keputusan Pangeran. “Apa keputusan tuan sudah bulat? Bisakah kita mempercayai mereka, Tuan Harist? Mereka itu iblis yang memecah kita dahulu, yang membuat permusuhan di antara kita. Dengan apa yang telah mereka lakukan, apa memang bisa mewujudkan perdamaian yang kita impikan?”
Harist menoleh, matanya penuh keyakinan. “Tenang saja, Eon. Aku tahu apa yang aku lakukan. Senna itu adalah bentuk ia tunduk patuh padaku. Yang terpenting, apa kau membawa yang ku minta?”
Eon mengangguk, menyerahkan sebuah benda yang terbungkus kain. “Ya, ini raga baru yang cocok untuk mereka. Apa perlu saya ikut, Tuan?”
Harist mengambil benda itu, senyum membuat lesung di wajahnya terlihat. “Tidak perlu, Eon. Aku akan mengurus ini sendiri. Terima kasih. jaga saja Senna!”
Eon mengangguk, meski masih ada keraguan di matanya. “Baik, Tuan. Semoga keputusan ini membawa kebaikan bagi kita semua.”
Harist memacu kudanya dengan kencang menuju ngarai para Siluman. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, dan panasnya matahari tidak ada artinya ia hanya berhenti untuk kudanya beristirahat. Tepat sehari sebelum Aliansi Insani, Nagha, dan Siluman, ia tiba terlebih dahulu di desa tersembunyi para iblis, yang dikenal sebagai ras Floral karena kemampuan mereka mengendalikan tumbuhan.
Di sebuah ruangan tertutup, Harist duduk berhadapan dengan Azriel, tetua Bangsa Floral, dan orang kepercayaannya.
“Ibu, sepertinya orang-orang kita mulai curiga. Beberapa sudah melarikan diri dari desa. Apa langkah selanjutnya?” tanya pria tersebut dengan nada cemas.
“Jangan panggil aku ibu saat dia ada di dekat kita. Biarkan saja, dia akan mengurus semuanya nanti,” bisik Azriel dengan tegas.
Harist mengisyaratkan Azriel untuk duduk di sampingnya. “Kemarilah, sayang. Sudah lama kita tidak bertemu. Tahukah kau, Senna sudah tumbuh cantik seperti dirimu.”
Azriel tersenyum tipis. “Syukurlah ia baik-baik saja. Kuharap aku bisa segera bertemu dengannya.”
“Kita akan segera bersama. Tenang saja, aku akan menepati janjiku untuk keselamatanmu dan dirinya. Tapi ada hal yang harus kupastikan terlebih dahulu. Di mana benihnya? Bukankah itu akan membangkitkan pohon suci? Apa kau punya alasan yang bagus untuk itu?” tanya Harist dengan nada serius.
Azriel mengangguk pelan. “Pohon suci hanya bisa tumbuh dari benih yang unggul, dan itu bisa didapatkan…” Ia menunjukkan gerakan menggorok leher. “Saat kaumku hanya tinggal hitungan jari, tanda-tanda akan muncul.”
“Begitu ya. Jadi kita tidak perlu repot-repot lagi. Biarkan semut-semut itu memakan gulanya, kita pergi dari sini,” kata Harist sambil tersenyum sinis.
Harist mulai melakukan ritualnya. Ia menyusun batuan kecil seperti ibu jari, membentuk lingkaran yang sama seperti dirinya. Semalaman ia menulis syair sebagai katalis di setiap batu dengan darah sebagai tintanya. Raga baru yang Harist bawa dihadapkan pada Azriel. Pengawalnya memegang lengan raga perempuan, sementara Harist memegang lengan raga laki-laki, kedua tangannya menjadi jembatan antara mereka.
“Apa mereka masih hidup?” tanya pengawal Azriel dengan ragu.
“Tentu! Kalau tidak, raganya akan busuk. Tapi jiwa mereka putih,” jawab Harist.
“Putih?” tanya pengawal itu lagi.
“Tak punya kehendak,” jawab Harist singkat. Pengawal itu masih ingin bertanya, namun Harist memotongnya. “Sesi tanya jawab habis. Aku mulai sekarang.” Ia mulai membaca setiap syair yang tertera di batu. Setiap kata yang terukir bercahaya dan memercik listrik di sekitarnya.
“Apa ini berhasil?” tanya pengawal, “Tapi kenapa dadaku terasa berat, dan suaraku… imut begini?!”
“Harist, lakukan dengan benar. Sebentar lagi fajar,” kata Azriel dengan nada mendesak.
Ternyata posisi mereka bukan saling berhadapan, melainkan menyamping sesuai arah jarum jam. Raga yang akan ditukar diposisikan dengan benar, dan kali ini mereka bertukar tubuh dengan sempurna.
Saat fajar menyingsing, desa persembunyian bangsa Floral dikepung. Suara gemuruh langkah kaki dan teriakan pertempuran menggema di udara. Penduduk desa berusaha melawan, namun kalah jumlah dan kewalahan diserang dari segala arah, baik darat maupun udara, oleh aliansi. Setiap penduduk yang tertangkap diinterogasi dengan kasar, menanyakan keberadaan pemimpin mereka. Akhirnya, mereka menemukan Azriel bersembunyi di kastilnya.
“Apa maksudmu tidak mengembalikannya seperti semula?” tanya Kaisar Elinalis dengan nada marah, matanya menyala penuh amarah di balik helmnya.
“Kami sendiri menunggu pohon itu,” jawab Azriel, tertunduk dan terikat. “Pohon yang kucuri di surga itu sudah lama hilang, bersama harapan nenek moyangmu. Keinginan sudah terwujud, takdir sudah terukir di pohon. Terima saja kutukan yang kalian, Insani, inginkan…” Kepala Azriel menggelinding terpenggal, darah mengalir deras di lantai batu.
Kaisar Elinalis, dengan helmnya diturunkan, memberitahu pimpinan Siluman dan Nagha bahwa iblis itu tidak dapat mengubah mereka ke wujud Insani lagi, kecuali meminta pada pohon itu.
“Di mana mereka menyembunyikan pohon itu?” tanya pemimpin Nagha dengan nada mendesak, matanya menyipit penuh kecurigaan.
“Pohon itu… sudah lama hilang bersama dosa pertama. Itu yang ia katakan, dan selama ini mereka juga menunggu,” jawab Kaisar dengan nada putus asa, suaranya bergetar.
“Semua ini jadi sia-sia!?” seru pemimpin Siluman, menggebrak meja perundingan dengan marah. “Selama ini… jangan-jangan kau hanya memperalat kami, dan sudah tahu itu tidak akan berhasil.”
Pemimpin Siluman dan Nagha berdiri dari tempat duduk mereka, wajah mereka penuh kemarahan. “Ini terakhir kali kami menuruti perintahmu, Insani. Tidak ada alasan lagi untuk tetap berdampingan dengan kalian. Atas dosa kalian, akan kujadikan kalian seperti mereka,” ancam pemimpin Siluman, yang terdiri dari pasukan menyerupai manusia namun dengan campuran hewan-hewan pemuncak rantai makanan. Ia memerintahkan untuk menghanguskan desa ras Floral dan mengeksekusi setiap jiwa yang ada.
Teriakan dan isak tangis menggema di penjuru tempat. Penduduk desa berlari dengan percuma, mencoba menyelamatkan diri. Di jalan yang tersembunyi, seorang wanita menunggu seseorang yang tak kunjung datang. “Ibu, cepat kita pergi sebelum mereka menemukan kita,” cemas anak gadisnya, matanya penuh ketakutan.
“Tapi Erin, ayahmu belum juga menyusul kita. Ibu takut ia dalam kesusahan. Ibu naik lagi ke kastil. Kamu tunggu di sini dan jaga Karie sebentar,” jawab sang ibu dengan nada khawatir, tangannya gemetar.
Ibu mereka tak kunjung datang. Malam bertemu malam, rasa lapar mendorong mereka kembali ke permukaan. Mereka melihat mayat bergeletakan di jalan, dipenuhi aroma busuk di mana-mana. Pembantaian sudah selesai.
Erin mencari makanan ke rumah-rumah yang masih berdiri, berharap dapat mengisi perut lapar adik kecilnya. Di sebuah rumah yang hampir roboh, ia menemukan beberapa potong roti dan daging asap di laci dapur. Namun, suara aneh terdengar dari samping laci lain. Dengan perasaan takut dan waspada, ia membukanya. Seorang anak laki-laki muncul, mereka saling terkejut. Erin memberitahunya bahwa mereka berasal dari ras yang sama dan mengajaknya keluar.
“Siapa namamu?” tanya Erin, menyodorkan roti yang telah diisi daging.
“Aku Hagezt,” jawabnya dengan canggung, matanya penuh rasa takut.
“Tenang saja, tidak ada yang mengetahui siapa kita sebenarnya. Kita akan pergi menemui bibiku. Siapa tahu ia dapat membantu kita,” kata Erin sambil menggendong Karie, adiknya. Mereka berjalan perlahan, meninggalkan desa yang kini hanya tinggal puing-puing dan kenangan pahit.
***
Di sebuah kamar hotel melati nuansa remang-remang yang kuat dengan lampu lentera kekuningan khanya, Harist dan Azriel, dalam tubuh barunya, duduk berhadapan. Mereka membahas rencana mereka dengan serius.
“Kenapa memberi raga baru padanya juga? Apa perannya di sini?” tanya Harist, matanya menyipit penuh kecurigaan.
“Ia akan mengawasi bibit paling potensial saat ini, supaya tidak kesusahan di dunia luar,” jawab Azriel dengan tenang.
“Apa yang membuatmu yakin ia akan menurut pada perintahmu dan tidak membelot nantinya?” Harist menatap Azriel tajam.
“Ia rela mengorbankan istrinya sendiri. Dan satu hal lagi yang aku tahu, ia sangat tertarik dengan dunia yang kamu tawarkan. Bibit itu anaknya sendiri, pasti ia menjaganya dengan baik. Ini kesempatan baginya untuk berada di samping Hagetz,” jelas Azriel, suaranya penuh keyakinan.
“Bagus juga kamu memberi nama baru untuknya. Aku juga mau nama baru,” kata Harist sambil menggigit leher Azriel dengan lembut. “Matamu itu luar biasa, bagaimana jiwa kosong itu bertingkah layaknya dirimu.”
Azriel tersenyum tipis. “Rahasia,” jawabnya singkat.