Di kota kecil bernama Harapan Senja, beredar cerita tentang sosok misterius yang dikenal sebagai "Sang Brandal." Sosok ini menjadi legenda di kalangan warga kota karena selalu muncul di saat-saat genting, membantu mereka yang tertindas dengan cara-cara yang nyeleneh namun selalu berhasil. Siapa dia sebenarnya? Tidak ada yang tahu, tetapi dia berhasil memenangkan hati banyak orang dengan aksi-aksi gilanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xy orynthius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8
Ruangan itu mendadak terasa lebih dingin dari sebelumnya. Zed dan Kai berdiri terpaku di tempat mereka, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Wajah Kenshin yang biasanya penuh canda dan senyum, kini terlihat serius dan tanpa ekspresi. Ada sesuatu yang gelap di balik sorot matanya, sesuatu yang membuat Zed merasa ada jarak yang sangat jauh di antara mereka sekarang.
“Kenshin, lo becanda, kan?” Kai berusaha memecah ketegangan, meskipun dalam hatinya dia tahu ini bukan lelucon.
Kenshin menggeleng pelan. “Gue harap ini cuma mimpi buruk, Kai. Tapi sayangnya, ini kenyataan. Kalian pikir dunia yang kalian jalani sekarang hanyalah permainan? Salah. Ini jauh lebih serius dari yang kalian bayangkan.”
Zed merasakan amarahnya perlahan mendidih. Dia selalu mengandalkan Kenshin sebagai salah satu orang yang paling bisa dia percaya. Dan sekarang, kenyataan bahwa Kenshin mungkin telah mengkhianati mereka, membuatnya merasa terluka dan marah sekaligus. “Jadi lo selama ini mainin kita? Lo bagian dari Shadow Hawk?”
Kenshin tertawa kecil, tapi bukan tawa yang ramah seperti biasanya. “Bagian? Gue adalah Shadow Hawk.”
Kata-kata itu menggema di ruangan besar tersebut. Kai menatap Zed dengan kaget, mencoba mencerna informasi yang baru saja mereka terima. “Lo bilang apa? Lo adalah Shadow Hawk? Tapi kenapa? Kenapa lo harus bikin kita semua lewat jalan berbahaya ini?”
Kenshin menghela napas panjang, lalu duduk di kursi eksekutif di depan layar. “Gue nggak mainin kalian. Sebaliknya, gue melindungi kalian dengan cara gue sendiri. Kalian nggak akan pernah ngerti kenapa sampai gue harus ngelakuin semua ini. Tapi gue bisa kasih kalian pilihan sekarang.”
“Pilihan?” Zed bertanya, nadanya penuh dengan kebencian yang dia tahan.
“Ya, pilihan,” kata Kenshin, dengan nada suara yang lebih lembut. “Lo bisa lanjut dan ngikutin permainan ini, atau lo bisa mundur sekarang dan gue pastiin lo berdua aman. Tapi kalau lo pilih yang pertama, lo harus siap kehilangan semuanya.”
Kai, yang biasanya lebih berhati-hati, kali ini merasa lebih berani. “Kenshin, kita udah terlalu jauh buat mundur. Kalau lo pikir bisa ngancurin hidup kita cuma buat mainan lo, lo salah besar.”
Kenshin tersenyum lagi, kali ini ada kehangatan di balik senyumnya. “Gue seneng lo bilang gitu, Kai. Itu artinya lo masih punya nyali. Tapi gue peringatkan, ini bukan permainan yang bisa dimenangkan dengan keberanian doang.”
Zed mengepalkan tinjunya, matanya menatap langsung ke arah Kenshin. “Kenapa lo harus ngelakuin ini? Kita ini temen, Kenshin. Kita udah bareng-bareng dari dulu, ngadepin masalah bareng. Kenapa sekarang lo berubah?”
Kenshin tampak termenung sejenak, lalu dia bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati layar. “Zed, ada banyak hal yang lo nggak tahu. Hal-hal yang gue rahasiakan dari lo semua. Gue punya alasan sendiri kenapa gue harus jalan di jalur ini. Tapi yang perlu lo tahu adalah, gue nggak pernah sekalipun berniat nyakitin kalian. Apa yang gue lakukan, gue lakukan buat kebaikan kita semua. Tapi itu nggak berarti gue nggak siap buat bertarung kalau lo memutuskan buat melawan.”
Kai mencengkeram lengan Zed, mencoba menenangkan sahabatnya yang tampak semakin emosi. “Zed, kita nggak bisa gegabah sekarang. Kita harus mikir jernih.”
Zed menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan amarahnya. Dia tahu Kai benar, mereka harus tetap tenang. Tapi pertanyaan yang terus-menerus menghantuinya adalah: apa sebenarnya yang terjadi di sini? Apa yang membuat Kenshin berubah seperti ini?
“Kita bakal main sesuai aturan lo,” kata Zed akhirnya, dengan suara yang lebih tenang. “Tapi gue janji, gue bakal temuin alasan lo sebenarnya. Dan kalau gue tau lo cuma manfaatin kita, gue nggak akan segan-segan buat ngelawan lo.”
Kenshin mengangguk, tampak puas dengan jawaban Zed. “Gue tunggu itu, Zed. Tapi ingat, ini bukan soal menang atau kalah. Ini soal bertahan hidup.”
Tiba-tiba, layar itu mati, dan ruangan kembali diliputi keheningan. Zed dan Kai berdiri di sana, masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Mereka tidak menyangka bahwa perjalanan mereka akan membawa mereka ke titik ini—berhadapan dengan teman sendiri, yang ternyata lebih berbahaya dari yang mereka bayangkan.
“Zed, apa yang harus kita lakuin sekarang?” tanya Kai, masih mencoba mencerna semua informasi yang baru mereka terima.
Zed menatap Kai, matanya penuh dengan tekad. “Kita terus maju. Gue nggak akan mundur sekarang, apalagi setelah semua ini. Kita harus cari tahu lebih banyak tentang Kenshin dan kenapa dia berubah kayak gitu.”
Kai mengangguk, setuju dengan Zed. “Kalau gitu, kita harus mulai dari sekarang. Kita bakal cari setiap informasi yang bisa kita dapetin tentang Shadow Hawk dan jaringan di belakangnya. Kita nggak bisa lagi cuma bergantung sama orang lain.”
Mereka berdua meninggalkan ruangan besar itu dengan perasaan yang campur aduk. Apa yang mereka hadapi sekarang bukan lagi sekadar permainan kucing dan tikus. Ini adalah pertarungan yang sebenarnya, di mana satu kesalahan kecil bisa membawa mereka pada kehancuran.
Malam itu, Zed dan Kai kembali ke apartemen mereka dengan pikiran yang berat. Di kamar mereka yang sempit, Zed menyalakan komputernya, mulai menggali informasi lebih dalam tentang Shadow Hawk. Dia tahu, ini mungkin adalah satu-satunya cara untuk bisa mengalahkan Kenshin di permainannya sendiri.
Kai duduk di sampingnya, membantu Zed mencari petunjuk yang bisa mengarahkan mereka ke kebenaran. Mereka berdua tahu bahwa apa yang mereka lakukan sekarang sangat berisiko, tapi mereka juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk melindungi diri mereka sendiri.
Ketika Zed menelusuri berbagai dokumen dan data yang mereka temukan, dia mulai menyadari satu hal: Shadow Hawk bukan sekadar satu orang. Ini adalah jaringan yang jauh lebih besar, dengan cabang-cabang yang mengakar dalam di berbagai sektor di kota Fictio. Kenshin mungkin adalah bagian dari itu, tapi jelas dia bukan satu-satunya pemain dalam permainan ini.
“Kita harus berhati-hati,” kata Zed akhirnya, setelah berjam-jam menggali informasi. “Kita nggak tahu siapa lagi yang terlibat dalam ini. Bisa jadi siapa aja.”
Kai mengangguk. “Lo bener. Kita nggak bisa lagi percaya sama siapa pun selain diri kita sendiri.”
Zed merasa ada yang berubah di dalam dirinya. Meskipun mereka masih dalam kegelapan, dia merasa semakin yakin dengan apa yang harus mereka lakukan. Mereka harus lebih pintar, lebih cepat, dan lebih berani dari siapa pun yang mencoba menjatuhkan mereka.
Malam itu, mereka membuat keputusan besar. Mereka akan terus melawan, mencari tahu lebih banyak tentang jaringan di balik Shadow Hawk, dan yang terpenting, mencari cara untuk mengalahkan Kenshin di permainan yang dia ciptakan sendiri. Mereka tahu, jalan ini akan penuh dengan bahaya, tapi mereka siap menghadapinya.
Saat pagi menjelang, Zed dan Kai akhirnya mematikan komputer mereka dan duduk di atas tempat tidur yang kecil. Mata mereka penuh dengan kelelahan, tapi juga tekad yang semakin kuat. Mereka tahu, perjalanan ini baru dimulai, dan apa pun yang akan terjadi, mereka akan terus maju bersama.
“Zed,” kata Kai, dengan suara yang tenang tapi penuh makna. “Kita bakal ngadepin ini bareng-bareng. Gue nggak akan ninggalin lo.”
Zed menatap Kai, merasa beruntung memiliki sahabat yang setia di sisinya. “Gue juga nggak akan ninggalin lo, Kai. Kita bakal ngadepin ini bareng, sampai akhir.”
Dan dengan itu, mereka berdua bersiap untuk babak baru dalam hidup mereka—babak yang penuh dengan bahaya, pengkhianatan, tapi juga harapan. Babak di mana mereka harus menjadi lebih dari sekadar diri mereka sendiri, untuk bisa bertahan hidup di dunia yang penuh dengan bayangan dan topeng.