Ara adalah seorang personal asisten Garvi, hubungan mereka cukup unik. Terkadang terlihat layaknya kawan sendiri tapi tak jarang bersikap cukup bossy hingga membuat Ara lelah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua puluh delapan
💙💙💙💙
Ara menutup aplikasi sosial medianya setelah memberi klarifikasi kalau dirinya dan Mahesa tidak memiliki hubungan lebih, selain sebatas rekan kantor dan senior-junior, ia berencana meletakkan ponsel. Namun, tak lama setelahnya ada panggilan masuk. Bukan nama Dika atau Mahesa yang tertera di sana, melainkan nama bosnya. Ragu-ragu ia menjawab panggilan tersebut.
"Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" sapanya berusaha untuk terdengar kalem dan biasa saja, padahal aslinya Ara sudah ketar-ketir karena khawatir.
"Keluar dari kostan kamu sekarang!" ucapan Garvi terdengar sama sekali tidak ingin dibantah.
"Hah?"
Terdengar decakan dari seberang. "Buruan keluar, Zahra! Saya tidak suka menunggu."
"Hah? Bapak di depan? Ngapain?" Ara masih dengan rasa terkejut sekaligus keponya.
"Bisa tidak kamu tidak usah banyak tanya dan langsung keluar, kita ngobrol nanti kalau sudah ketemu."
"Baik, Pak, saya keluar sekarang." Ara kemudian menyadari celana pendeknya. Oh tidak, ini sangat tidak sopan kalau untuk bertemu sang atasan, "bentar, Pak, saya ganti--"
"Tidak perlu, kita hanya akan mengobrol sebentar. Buruan!" potong Ara terdengar tidak peduli dengan apa yang sedang dilakukan perempuan itu.
Mendengar nada suara yang atasan yang terdengar tidak bisa dibantah, Ara pun memutuskan untuk segera keluar dari kostan. Setidaknya ia harus cari aman dari pada kena omel sang atasan.
"Kamu berniat menggoda saya?" sambut Garvi saat Ara keluar dari kostan.
Ara yang kesal langsung mendengus. "Kan tadi saya sudah bilang, Pak, saya harus ganti baju dulu, minimal saya mau ganti celana, tapi Bapak ngeyel dan minta saya buat cepet keluar, dan sekarang Bapak bisa-bisanya ngatain saya lagi nggodain Bapak?"
Garvi berdecak samar. Ia kemudian langsung melepas jaketnya dan memberikannya pada Ara.
"Pakai ini, kalau sudah dicuci, jangan dicuci sembarangan! Kalau mau di laundry, cari tempat laundry yang bagus, jangan yang asal murah. Kalau dicuci tangan, nyucinya hati-hati jangan sembarangan disikat."
Garvi bawel mode on. Ara malas sekali rasanya kalau sudah menghadapi sikap atasan yang begini.
"Pak, kayaknya mending saya ganti celana dulu aja nggak sih?"
"Kelamaan."
Ara mendengus kalah.
"Ayo, ikut saya!"
"Ke mana, Pak?"
"Enggak kemana-mana, saya cuma mau ngajak kamu ngobrol."
"Malem-malem banget?"
Garvi mengangguk untuk mengiyakan. "Dari pada nanti saya keduluan."
"Hah? Keduluan apa, Pak?"
"Itu, kita duduk di sana, di tempat yang rame," ucap Garvi sambil menunjuk tempat yang lebih banyak orang berlalu lalang.
Ara langsung menatap sang atasan dengan wajah bingungnya. "Tumben, Pak?" tanyanya heran.
Biasanya Garvi kurang suka keramaian, makanya ia heran saat sang atasan memintanya mengobrol di tempat yang cukup ramai.
"Sekarang sudah malam, Zahra, saya tidak suka mengundang fitnah, apalagi sekarang bulan puasa."
Oh, alim mode on.
Kali ini Ara tidak protes, perempuan itu manggut-manggut paham lalu mengikuti langkah kaki sang atasan.
"Emang Pak Garvi mau ngomongin apaan sih?"
"Saya mau kasih penawaran."
"Soal?"
"Sebelum saya mau nanya, di antara saya dan Dika kamu pilih siapa?"
Astaga, ya ampun, pertanyaan ini lagi. Sejujurnya Ara malas kalau ditanya soal ini. Tapi kenapa sih sang atasan hobi banget nanya ini?
"Ya ampun, Pak, kayak nggak ada pertanyaan lain aja."
"Jawab saja, Zahra!"
Ara menatap Garvi ragu-ragu. "Kalau saya nggak mau milih gimana, Pak?"
"Memang kami seburuk itu sampai kamu nggak mau pilih di antara kami?"
Ara berdecak kesal. "Ya bukan begitu maksud saya, Pak."
"Terus kenapa nggak mau milih?"
"Ya karena menurut saya Bapak sama Mas Dika itu bukan sesuatu yang bisa saya pilih. Bapak ngerti nggak?"
Dengan wajah polosnya, Garvi menggeleng.
"Pokoknya intinya, saya nggak bisa milih antara Bapak atau Mas Dika. Udah, titik, sekarang lanjut ke penawaran Bapak. Pak Garvi mau kasih penawaran apa?"
"Enggak bisa, soalnya kamu nggak mau pilih di antara kami."
Ara langsung melongo. "Pak, ini nggak sesuai dengan apa yang saya pikirkan bukan?"
Garvi mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. "Mana saya tahu dengan apa yang kamu pikirkan. Saya bukan paranormal yang bisa baca pikiran orang."
"Pak, bisa nggak jangan bercanda. Yang serius dong!"
"Kamu milih saya seriusin apa Dika?"
"Pak?"
"Bukannya kita sama-sama terdesak?"
Ara langsung mendengus sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Maaf, Pak, mungkin Bapak terdesak tapi saya enggak."
"Oh ya? Bukannya orang tua kita sama-sama meminta agar kita segera menikah?"
Ara menghela napas panjang, berusaha setenang mungkin dan tidak tersulut emosi. "Pak, meski demikian hal itu tidak lantas membuat saya merasa terdesak. Kalau memang belum waktunya saya bisa apa?"
"Dari mana kamu tahu ini sudah waktunya atau belum?"
"Maksudnya?" Ara balik bertanya dengan perasaan bingungnya.
"Zahra, terkadang pertemuan sepasang suami-istri itu unik."
"Jauh amat, Pak, bahasannya sampe sepasang suami-istri," sindir Ara sambil tertawa meledek.
"Kamu minta saya untuk serius dan tidak bercanda, lalu sekarang justru kamu lah yang malah ngajak bercanda. Mau kamu apa sih?"
"Pulang, Pak, tidur, takut besok kesiangan bangun sahurnya."
Terdengar dengusan keluar dari mulut Garvi.
"Pak, asal Bapak tahu ya, kandidat yang deketin saya itu bukan cuma Mas Dika atau Bapak. Saya punya kandidat lain."
"Siapa?"
"Pak Garvi tidak perlu tahu, yang jelas dia sangat memasuki kriteria sebagai menantu idaman--"
"PNS? Abdi negara? Atau dokter?" potong Garvi
"Dokter, Pak."
Garvi manggut-manggut paham seraya ber'oh'ria. "Dokter apa?"
"Stop ngepoin urusan pribadi saya, Pak, Bapak itu cuma atasan saya."
"Justru karena saya atasan kamu, saya peduli sama kamu. Saya nggak mau kamu mendapatkan kandidat calon suami yang tidak sesuai."
"Dokter umum, tapi bentar lagi mau ikut ujian PPDS."
Mendengar jawaban Ara, spontan Garvi langsung tertawa. Di mata Ara tawa itu terlihat seperti tawa yang sedang meremehkan.
"Bapak jangan meremehkan profesi orang begitu lah, nggak sopan banget sih, jangan mentang-mentang jabatan Bapak tinggi dan Bapak punya kekuasaan di mana-mana, jadi Bapak bisa seenaknya begini."
"Sorry, saya tidak bermaksud begitu. Hanya saja, coba kamu pikirkan, Zahra! Menjadi dokter spesialis itu butuh modal yang sangat besar, selain itu butuh waktu yang tidak sebentar juga. Dari segi materi maupun perhatian nanti bisa saja kamu kekurangan keduanya. Kamu mau demikian? Mending sama saya ke mana-mana lah, kalau kamu nikah sama saya masa depan kamu pasti lebih terjamin," ucap Garvi membanggakan diri.
Mendengar hal itu, Ara langsung memutar kedua bola matanya malas.
"Terima kasih atas kepedulian dan perhatiannya, Pak. Saya mau permisi, assalamualaikum!" ucap Ara langsung pergi begitu saja. Meninggalkan Garvi yang berusaha memanggilnya berulang kali.
"Dasar bos gila," gerutu Ara sambil berusaha mempercepat langkah kakinya.
Saat ia sampai di depan pintu gerbang kostnya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Awalnya Ara pikir mungkin saja itu bosnya, tapi ternyata ia salah. Nama Jihan yang tertera di sana. Perasaannya mendadak gelisah tanpa sebab.
Ada apa ini?
"Ya, halo?"
"..."
💙💙💙💙
🙏 ...awal yg asyik u baca terus