Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Yakin
***
"Jadi kemarin kamu kemana waktu nggak mau dianter pulang Pak Joko, tapi kamunya nggak langsung pulang?"
Dapat kurasakan seluruh tubuhku menegang saat m endengar pertanyaan Mas Yaksa. Kami sedang duduk berdampingan di sofa, mengawasi Alin yang masih enggan tidur, padahal kini waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam kurang lima menit, Javas sendiri sudah masuk kamar dan terlelap di kamarnya, sedangkan Alin masih sibuk dengan mainannya.
"Geya, kenapa pertanyaan Mas nggak dijawab?" desak Mas Yaksa terkesan tidak sabaran, "apa ada yang kamu sembunyikan?"
"TIDAK!" seruku spontan berteriak.
Alin yang tadinya sedang asik dengan mainannya ikut menoleh ke arahku, ekspresinya terlihat kebingungan, namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena setelahnya ia kembali sibuk dengan mainannya. Lain halnya dengan Mas Yaksa yang kini sedang menaikkan sebelah alisnya dan kedua yangan yang menyilang di depan dada.
"Maaf, reflek, Mas," cicitku takut-takut, "aku nggak sembunyiin apapun kok, kemarin itu aku ketemu sama temen-temen aku."
"Yang mana?"
"Hah?"
"Temen kamu yang perawat juga atau temen SMA kamu?"
"Temen SMA aku."
"Yang kamu taksir itu?" tebak Mas Yaksa membuatmu semakin gugup.
Lebih baik jujur atau jangan ya? Tapi kalau jujur aku takut Mas Yaksa salah paham dan berpikir yang tidak-tidak.
"Bukan, Mas, temen aku yang lain, namanya Velly, dia anaknya udah dua."
Lebih baik cari aman.
Mendengar jawabanku yang ini, Mas Yaksa tidak bertanya lebih. Ia hanya manggut-manggut seadanya dan seolah enggan berkomentar lebih. Pandanganku kemudian beralih pada Alin, takut kalau bertatapan dengan Mas Yaksa aku ketahuan. Putri bungsuku terlihat sudah mengucek sebelah matanya, pertanda kalau bayi mungil itu mulai mengantuk.
"Utututu, anak Mama udah ngantuk ya? Bobok sekarang, yuk!"
Alin kemudian merangkak menyusulku, merentangkan kedua tangannya. Mengkodeku agar mau menggendongnya.
"Udah ngantuk ya? Mau bobok? Let's go kita bobok!" Setelah menggendong Alin, aku kemudian menoleh ke arah Mas Yaksa yang sibuk menggonta-ganti chanel televisi, yang sepertinya sama sekali tidak menarik minatnya untuk menonton, "Mas, aku temenin Alin tidur dulu ya. Nanti aku harus ke sini lagi atau kamu yang mau langsung naik ke atas?"
"Emang mau ngapain?" Pandangan Mas Yaksa kini beralih padaku, keningnya nampak mengerut heran dan anehnya hal ini membuatku salah tingkah.
Eh, tunggu dulu. Pertanyaan Mas Yaksa ada benarnya, kenapa aku baru menyadarinya?
Aku kemudian menggeleng cepat sambil meringis. "Enggak ngapa-ngapain sih, cuma nanya doang kok, emang nggak boleh?"
"Bukan masalah boleh nggak boleh, Mas cuma mau nanya." Cepat-cepat ia melanjutkan kalimatnya, "eh, tapi Mas jadi ke--"
"Aku tidur duluan deh, Mas," potongku cepat langsung meninggalkannya.
"Oke, ntar Mas nyusul," seru Mas Yaksa yang sama sekali nggak aku hiraukan.
***
"Mau ke mana?"
Reflek aku menghentikan langkah kakiku dan berbalik menatap Mas Yaksa. Jemarinya yang panjang sedang sibuk mengancingkan kemejanya.
"Ke kamar Javas, liat dia udah siap atau belum."
"Javas udah diurus Sita, Geya. Tugasmu yang di sini bahkan belum selesai dan kamu mau pergi begitu saja?"
Aku mengerutkan kening karena tak paham dengan ucapannya. Pandangan mataku beralih pada Alin yang masih terlelap di ranjang box bayinya. Tadi dia sempat bangun sebelum subuh dan tidak lekas tidur kembali, jadi kemungkinan jam bangunnya akan lebih terlambat dibanding biasanya. Lantas tugas apa yang Mas Yaksa maksud?
"Maksudnya?" Karena tidak kunjung paham, aku mengutarakan rasa penasaranku.
Mas Yaksa langsung berdecak sembari menunjuk ke arah dasinya yang masih tergeletak di tepi ranjang.
Tunggu sebentar, ini Mas Yaksa masih ingin aku memakaikan dasi untuknya lagi? Menuruti permintaannya kalau aku tidak mendapat jatah shift pagi, maka aku akan membantu memasangkan dasi untuk Mas Yaksa, dan sepertinya hari ini aku melupakan tugas itu. Meski sejujurnya aku tidak menginginkan hal itu juga sih, bukan tanpa alasan, masalahnya kemampuanku memasang dasi masih sama payahnya dengan saat aku pertama kali memasangkan dasi untuknya. Berbanding balik dengan kemampuan Mas Yaksa yang dapat menyimpulkan dasi dengan sangat rapi, seharusnya pria itu memilih untuk memasang dasinya sendiri dan bukannya mempersulit diri.
Untuk sesaat, aku seperti tidak mampu mentoleransi sikapnya yang terkadang menyebalkan ini.
"Hari ini pasang sendiri aja lah, Mas."
Mas Yaksa menggeleng lalu berjalan mendekat ke arahku, meraih sebelah tanganku dan menyelipkan dasi di sana.
"Mas lagi cariin kamu alternatif pahala lain loh, Geya, karena kamu belum mau 'melayani' Mas. Apa mau--"
"Oke," potongku cepat.
Mas Yaksa langsung tersenyum puas sambil mengusap pipiku. "Good girl," pujinya yang hanya kurespon dengan dengusan tidak senang, "yang ikhlas, sayang," sambungnya kemudian.
Gerakan tanganku spontan terhenti saat mendengar Mas Yaksa memanggilku sayang. Ada desiran aneh yang tiba-tiba kurasakan, otakku mendadak tidak mampu berpikir jernih. Terkejut, tentu saja, karena selama ini Mas Yaksa tidak pernah memanggilku seperti itu. Bahkan memanggil 'Ge' saja nyaris tidak pernah ia lakukan.
"Kenapa? Ada masalah?"
"Masih pagi, Mas, nggak usah aneh-aneh," balasku tidak nyambung.
Aku kembali melanjutkan kegiatanku menyimpulkan dasi Mas Yaksa.
"Kamu nggak suka?"
"Apa?"
Bukannya menjawab, Mas Yaksa malah menyesap bibirku. Pandangan kami bertemu, pergerakan bibirnya semakin agresif. Aku menggeleng cepat, mengkode dirinya agar tidak berbuat lebih dan tentu saja langsung dituruti olehnya. Kuakui pertahanan Mas Yaksa lumayan bagus, buktinya sampai sekarang dia belum berhasil mengambil mahkotaku.
Ibu jarinya mengusap bibirku yang basah. "Tolong, jaga kepercayaan Mas, Geya."
Tubuhku seketika menegang kaku. Kenapa Mas Yaksa tiba-tiba berkata demikian?
"Mas percaya sama kamu," imbuhnya tak lama setelahnya. Ia mengusap pipiku pelan sembari mengulas senyum tipis, perlahan ia berjalan menjauhiku, padahal aku belum selesai memasangkan dasi untuknya.
Perasaanku tiba-tiba terasa aneh. Seolah aku baru saja ketahuan berselingkuh, padahal aku tidak melakukan demikian.
Namun, tiba-tiba aku teringat Galen. Perasaanku terhadapnya yang belum sepenuhnya hilang mendadak menghantuiku. Statusku adalah istri Mas Yaksa, tapi perasaanku tidak jelas.
Apa yang harus aku lakukan?
"Kenapa masih di sana?"
Mendengar suara Mas Yaksa berhasil membuatku tersadar dari lamunan, aku menoleh ke arah Mas Yaksa. Dia sudah tampah rapi, bahkan jas hitamnya sudah ia pakai menambah kesan gagah dan tampannya.
Perawakan dan wajah Mas Yaksa tidak seharusnya sulit untuk membuatku jatuh hati padanya, apalagi kalau ingat bagaimana cara dia memanjakanku, harusnya aku dengan mudahnya jatuh hati padanya bukan? Tapi kenapa aku masih saja begini? Sebenarnya ada apa denganku? Kenapa aku seperti orang tidak tahu rasa bersyukur?
Mas Yaksa bisa mempercayaiku padahal aku sendiri tidak yakin dengan diriku sendiri.
To be continue,
komunikasi dewasa yg bisa merekatkan keduanya.... jaga yaa geya yg terbuka ...yeksa yg membimbing...
g enak banget ya..geya...dengernyaa
sabar yaa..
...ibu sedikit saja mengerti,memahami geya u bisa adaptasi dengan keadaannya... toh geya pada dasarnya anak penurut.