NovelToon NovelToon
Clara : Si Pendiam Yang Di Inginkan Banyak Orang

Clara : Si Pendiam Yang Di Inginkan Banyak Orang

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Mafia / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: LiliPuy

meski pendiam , ternyata Clara mempunyai sejuta rahasia hidup nya, terlebih dia adalah anak dari seorang petinggi di sebuah perusahaan raksasa,

namun kejadian 18 tahun silam membuat nya menjadi seorang anak yang hidup dalam segala kekurangan,

dibalik itu semua ternyata banyak orang yang mencari Clara, namun perubahan identitas yang di lakukannya , menjadikan dia sulit untuk di temukan oleh sekelompok orang yang akan memanfaatkan nya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

terkuak nya kebenaran

Ria memandangi Peter dengan tatapan tajam, campuran antara amarah dan keterkejutan terpancar dari matanya. Mereka berdiri berhadapan di koridor gedung perkantoran Sky Corp, tempat mereka sama-sama bekerja.

"Kau... kau anak Vincent Scarletti?" suara Ria bergetar, seolah menahan sesuatu yang sangat besar.

Peter, pemuda tampan dengan mata dingin yang biasa bersikap ramah, kini memandang Ria dengan ketegasan. "Ya. Ada masalah?"

"Masalah? Tentu saja ada masalah!" Ria hampir berteriak, tetapi suara lirih di koridor yang sepi membuatnya menurunkan volumenya. "Ayahmu, gengnya, mereka menghancurkan hidup ayahku! Mereka mengancam dan mengusirnya dari kota ini, dan kami harus memulai hidup dari nol. Aku ingat betul wajah ayahmu, ia datang sendiri ke rumah kami dan—"

"Aku tidak bertanggung jawab atas tindakan ayahku," potong Peter dengan nada yang tetap tenang. "Aku tidak tahu apa yang dilakukannya di masa lalu, dan aku tidak akan membelanya. Tapi aku juga tidak akan meminta maaf atas sesuatu yang tidak kulakukan."

"Tapi kau—"

"Kau pikir aku menyukai kehidupan ini? Aku benci semua ini, Ria. Aku benci geng, aku benci intimidasi, dan aku ingin keluar dari semua ini. Tapi kau pikir itu mudah? Aku terjebak, sama seperti kau terjebak dalam hidupmu yang tidak kau pilih."

Ria terdiam, emosinya yang meledak-ledak seolah bertemu dengan dinding es. Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Lalu kenapa kau tidak pergi? Kenapa kau masih di sini, bekerja untuk ayahmu?"

Ekspresi Peter berubah, menjadi lebih lembut. "Karena ada hal-hal yang lebih penting bagiku daripada melarikan diri. Ada orang-orang yang aku pedulikan, yang membutuhkan perlindunganku. Aku tidak bisa seenaknya meninggalkan mereka."

Ria terpaku, menyadari bahwa ada lebih banyak hal di balik sikap dingin Peter daripada yang pernah ia duga. "Tapi, bagaimana kau bisa melindungi mereka kalau kau terjebak di dalam—"

"Cukup!" Peter memotong, kali ini suaranya sedikit lebih keras. "Kita tidak akan pernah sepakat soal ini. Aku tidak mengharapkan pengertian darimu, Ria. Yang kuminta hanyalah supaya kau tidak menggangguku. Kita bisa bekerja bersama tanpa perlu bertengkar seperti ini."

Ria tersentak, menyadari bahwa mereka sudah menarik perhatian beberapa karyawan lainnya yang lalu lalang di koridor. Wajahnya memerah, bukan hanya karena marah, tapi juga malu karena pertengkaran mereka tadi.

"Baiklah," ia menjawab singkat, kemudian berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Peter yang masih berdiri di tempat, menatapnya hingga menghilang di balik sudut gedung.

***

Clara duduk di sebuah kafe kecil di tepi kota, menyesap kopi sambil membaca buku lama yang ia temukan di toko barang antik. Buku itu berjudul "Legenda Laut dan Makhluknya", berisi berbagai cerita dan mitos tentang laut, termasuk beberapa legenda tentang kuda laut.

Luna, teman sekamarnya, bergabung dengannya, membawa dua gelas soda. "Ada apa denganmu dan kuda laut belakangan ini? Aku rasa kau lebih tertarik dengan ikan-ikan itu daripada cowok!" canda Luna.

Clara tersenyum tipis. "Mungkin. Tapi kupikir ini adalah petunjuk terakhir yang kumiliki. Kalung kuda laut ini selalu kukenakan sejak kecil, dan aku rasa itu berhubungan dengan orang tuaku. Mungkin mereka memberikannya padaku sebagai hadiah ketika aku lahir."

"Lalu kenapa kalung itu tidak ada di foto itu?" tanya Luna, menunjuk foto kusam yang selalu dibawa Clara. "Aku rasa itu foto saat kau bayi, bukan? Tapi kalungnya tidak kelihatan."

Clara mengernyit. "Aku tidak tahu. Mungkin ada alasan tertentu. Atau mungkin kalungnya hilang, atau—"

"Atau mungkin ada sesuatu yang disembunyikan," sela Luna. "Kau ingat Dr. Hasan, dokter tua itu? Dia bilang kau lahir di pinggiran kota, di sebuah tempat yang sudah tidak ada lagi. Mungkin kau bisa menemukan jawaban di sana."

Clara mengangguk. "Itulah rencana ku selanjutnya. Besok aku dan kau akan pergi ke sana. Siapa tahu kita menemukan sesuatu, atau setidaknya seseorang yang ingat tentang keluargaku."

"Aku hanya berharap kau tidak kecewa," kata Luna, wajahnya penuh kekhawatiran. "Aku tidak mau melihatmu terluka lagi."

Clara tersenyum lembut. "Aku tahu, Luna. Tapi aku harus mencoba. Aku harus tahu siapa aku dan dari mana aku berasal. Ini soal menemukan jati diriku."

***

Ria berjalan pulang sendirian, masih terbayang-bayangi oleh pertengkarannya dengan Peter. Ia tidak menyangka bahwa pemuda yang selalu bersikap ramah dan menyenangkan itu ternyata memiliki rahasia seperti itu.

Ia menyusuri jalan-jalan yang sekarang sudah berubah, mencoba mengingat kembali rumah lamanya, toko kecil ayahnya, dan taman bermain tempat ia menghabiskan waktu saat masih kecil. Semua itu sudah hilang, terganti oleh gedung-gedung tinggi dan pusat perbelanjaan megah.

Tanpa disadarinya, Ria memasuki wilayah yang kurang aman, wilayah pinggiran yang dipenuhi geng dan aktivitas ilegal. Langkahnya terhenti saat ia menyadari bahwa ia sendirian di jalan yang gelap, dan sepertinya ia tersesat.

Tiba-tiba, seorang pria tinggi besar menghampirinya, diikuti oleh dua orang lainnya yang tidak terlihat ramah. "Hei, cantik, sedang apa di sini sendirian?" tanya pria itu dengan senyum yang membuat Ria merinding.

Ria berusaha tampak tenang, meskipun jantungnya berdetak kencang. "Aku... aku sedang mencari jalan. Aku tersesat."

Pria itu tertawa, terdengar seperti suara monster dalam cerita horor. "Oh, sayang, kamu memang tersesat. Tidak ada gadis baik yang seharusnya berada di daerah ini. Tapi untunglah kamu bertemu denganku, aku bisa menunjukkan jalan... dengan harga tertentu."

Ria sadar bahwa ia berada dalam bahaya. Ia harus mencari cara untuk kabur, atau setidaknya meminta bantuan. "Tunggu, aku punya teman yang tinggal di dekat sini. Biarkan aku meneleponnya, dia pasti bisa—"

Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, seorang pemuda muncul dari bayangan, langsung berdiri di antara Ria dan pria tinggi besar itu. "Mau apa kalian mengganggu gadis ini?" tanya pemuda itu dengan suara dingin.

Ria terkejut melihat bahwa pemuda itu adalah Peter. Ia tampak berbeda, lebih gelap dan berbahaya, tapi tetap memiliki pesona yang sama.

"Hei, ini bukan urusanmu, brengsek!" salah satu teman pria tinggi besar itu melangkah maju, tetapi berhenti saat Peter menangkupkan tangannya ke saku jaket, seolah memegang sesuatu.

Peter menyeringai. "Kau tidak mau tahu apa yang ada di dalam sakuku. Lebih baik kalian pergi sekarang juga, sebelum aku mengubah pikiran dan benar-benar marah."

Pria tinggi besar itu terlihat ragu, kemudian ia tertawa lagi. "Baiklah, baiklah. Kali ini kalian beruntung. Tapi ingat, ini wilayah kami. Jangan berani-berani datang lagi, atau kalian akan menyesal." Dengan itu, ia dan teman-temannya berbalik dan pergi, meninggalkan Ria dan Peter sendirian.

Ria masih terpaku, jantungnya berdetak kencang. "K-kau... kau menyelamatkan aku?"

Peter mendesah. "Sepertinya aku tidak bisa membiarkanmu sendiri, ya? Baiklah, ayo, aku antar pulang." Tanpa menunggu persetujuan Ria, ia meraih lengan Ria dan mulai berjalan, meninggalkan Ria yang masih linglung.

***

"Kau tidak perlu mengantarku," protes Ria saat mereka berjalan beriringan di jalan yang sekarang lebih ramai dan terang. "Aku bisa sendiri."

Peter menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca. "Aku tahu kau bisa sendiri. Tapi aku juga tahu bahwa kau butuh bantuan tadi. Jadi jangan bersikap keras kepala dan biarkan aku mengantarmu sampai tujuan. Lagipula, aku ingin memastikan kau sampai dengan selamat."

Ria merasakan emosi yang bercampur aduk: marah, bingung, dan... bersyukur. Ia tidak suka mengakui bahwa ia berutang budi pada Peter, apalagi mengingat rahasia kelam keluarganya.

"Terima kasih," ia akhirnya mengucapkan kata-kata itu dengan enggan. "Tapi aku tidak perlu diantar sampai rumah. Aku bisa sendiri dari sini."

Peter mengangguk. "Baiklah. Tapi sebelum kau pergi, ada yang ingin kutanya."

Ria menatapnya dengan curiga. "Apa?"

"Tadi malam, aku melihatmu pergi dari kantor dengan Clara. Apa kalian berdua—"

"Kau mengikutiku?" potong Ria, suaranya meninggi. "Astaga, kau tidak hanya gangster, tapi juga penguntit!"

Peter mendesah kesal. "Aku tidak mengikutimu. Aku hanya kebetulan melihat kalian berdua pergi bersama. Lalu aku penasaran, ada apa dengan kalian berdua, apakah kalian—"

"Apakah kami apa?" Ria menantang.

Peter terdiam sejenak sebelum menjawab. "Apakah kalian berdua saling menyukai?"

Ria terkejut oleh pertanyaan langsung itu. Wajahnya memerah, dan ia terdiam sejenak sebelum menjawab. "Itu tidak ada hubungannya denganmu."

Peter tersenyum tipis. "Aku hanya ingin tahu. Aku hanya... peduli padamu, Ria. Aku tidak mau melihatmu terluka."

Ria terpaku, tidak tahu harus berkata apa. Ekspresi Peter lembut, tidak seperti biasanya, dan tiba-tiba Ria merasa bingung.

"Baiklah, aku pergi dulu," ia akhirnya berbalik, mulai berjalan menjauh dari Peter.

"Ria, tunggu!" Peter memanggil, membuat Ria berhenti dan menoleh. "Hati-hati ya. Jangan keluyuran di wilayah berbahaya lagi."

Ria menatapnya sejenak, kemudian berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Peter yang masih memandangnya hingga menghilang dari pandangan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!