Semoga kisah nikah dadakan Atun Kumal dekil, dan Abdul kere menang judi 200 juta ini menghibur para readers sekalian...🥰🥰🥰
Happy reading....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Abdul Marah
"Tun, kamu tidak usah mengantar emak. Mending kamu pulang dan berbicara baik-baik kepada suamimu." pinta emak mertuanya. Pagi-pagi sekali emaknya Abdul sudah ingin pulang.
"Atun sudah janji akan mengantar emak sampai ke rumah." ujar Atun menggandeng ibu mertuanya menunggu ojek, mereka berdiri di depan gang tempat biasa ojek mangkal. Namun sepertinya mereka terlalu pagi sehingga tukang ojek pun belum menampakkan diri.
"Udah, emak bisa pulang sendiri." ucap perempuan itu lagi. Akhirnya Atun mengalah, setelah beberapa saat menunggu akhirnya tukang ojek bermunculan, dan emak langsung pulang dengan wajah bermuram durja.
Atun-pun berlalu, namun ia melangkah menuju rumah Marina sahabatnya. Selain sudah beberapa hari tak datang, ia juga akan membeli bawang.
"Assalamu'alaikum Bu Lek."
"Wa'alaikum salam." sahutan dari dalam terdengar seperti biasanya.
"Atun mau beli bawang Bu Lek." ucap Atun seraya tersenyum sopan kepada pemilik gudang bawang tersebut.
"Kamu kemana saja Tun?" tanya perempuan paruh baya berkulit putih itu kepada Atun.
"Ada Bu lek, kemarin Atun menginap di rumah Mbak Rara. Emak sakit." jawab Atun, menyodorkan uang sepuluh ribu. Bu Lilis pun sudah hafal dengan perbelanjaan Atun keponakan jauhnya itu. Uang sepuluh ribu untuk membeli bawang putih beserta bawang merah yang kecil-kecil, agar dapat lebih banyak. Anak bawang merah itu adalah sortiran Bu Lilis ketika mendapat orderan.
"Sakit apa emakmu Tun?" tanya perempuan itu lagi.
"Sakit gigi Mak, tapi di sertai bisulan pula di bagian Pipinya."Cerita Atun, membuat Bu Lilis mendongak wajah Atun sambil membenarkan kaca matanya.
"Besar?" tanya perempuan itu.
Atun mengangguk, tentu saja bisul sang emak masih membayang di pelupuk mata atun. "Sudah lumayan lama Bu lek, belum pecah juga." jelas Atun.
"Yah, kebanyakan dosa kali. Kualat sama kamu, sama ibu Mu. Sama bapakmu juga." perempuan itu mencebik, seraya menyerahkan bawang kepada Atun.
"Terimakasih Bu Lek." ucap Atun.
"Iya, sama-sama Tun. Oh, iya! Nanti kamu bisa bantu bulek ngupas bawang lagi?" tanya perempuan itu, kebetulan ia mendapatkan orderan walaupun tidak begitu banyak.
"Maaf ya Bu Lek." Atun berkata dengan ragu, merasa tak enak hati. "Sepertinya tidak bisa, soalnya Atun sedang ada masalah sama Mas Abdul."
"Masalah apa Tun?" tanya Bu Lilis dengan serius.
"Emmm.... Itu. Mas Abdul sedang ribut sama Emak. Gara-gara, sertifikat rumah yang Mas Abdul pinjam." Jelas Atun secara singkat saja. Ia tidak mau mengatakan permasalahan yang sebenarnya, lebih rumit daripada itu.
"Oh, kalau pinjam ya tidak apa-apa Tun. Asal jangan di salah gunakan. Tapi...." Bu Lilis jadi berpikir sejenak.
Atun enggan melanjutkan obrolan mereka, takut malah membuka semua masalahnya. Ia memilih pamit dan segera pulang. "Atun pulang dulu Bu Lek."
"Iya Tun. Eh tunggu Tun." panggil Bu Lilis kepada atun. "Lusa Marina pulang, ada libur katanya dua Minggu."
"Lusa Bu Lek?" tanya Atun, Atun tampak senang mendengar kepulangan sahabatnya itu dari Bu Lilis.
"Iya." sahut Bu Lilis tersenyum lebar pula, ia tahu persahabatan keduanya begitu dekat, tentu kabar yang dia sampaikan akan membuat Atun juga bahagia.
Benar saja, Atun pulang dengan hati senang mendengar Marina akan pulang. Namun berubah sedih raut wajahnya ketika sudah di halaman rumahnya.
"Darimana kamu?" sentak Abdul, Atun pun berjingkat kaget karena suaminya tersebut tiba-tiba saja sudah di balik pintu.
"Ngagetin aja Mas." kesalnya, mengusap dada.
"Emak Mana?" tanya Abdul dengan wajah juteknya.
"Emak sudah pulang Mas, naik ojek." jawab Atun, ia meletakkan bawang di atas meja, duduk sebentar menunggu pembicaraan selanjutnya.
Diam.
Malah saling diam hingga beberapa saat, entah keduanya pun merasa sama, sungkan memulai pembicaraan masing-masing, ataukah kesal di dalam hati mereka.
"Kemarin pagi, aku melihat kamu datang ke komplek perumahan baru di kampung ujung." atun memulai.
Abdul menoleh, ia menatap wajah istrinya yang polos itu dengan mengernyitkan keningnya.
"Kapan?" tanya Abdul, tatapannya semakin menyelidiki.
"Pukul delapanan Mas. Aku melihat mobil kamu masuk ke dalam, tapi ketika aku mencari mu ke dalam komplek malah enggak ketemu." jelas Atun, berusaha berbicara setenang mungkin.
"Kamu kemana?" akhirnya pertanyaan inti itu keluar juga.
Abdul membuang nafas kasar, ia tampak gusar dengan pertanyaan itu.
"Aku datang ke rumah teman. Aku kesana mau berinvestasi agar mendapatkan uang halal seperti yang kamu minta." jawab Abdul, namun terkesan mengejek dengan satu kata, 'uang halal'.
Atun-pun terdiam, ia menghela nafas beratnya. "Aku cuma ingin kita menjalani hidup ini dengan lebih baik, Mas. Tidak bermaksud untuk menekan kamu, juga tidak ingin membuatmu terbebani."
"Nyatanya kamu memang membebani aku dengan keinginan kamu itu. Seandainya kamu tidak sok suci, sok baik dan tidak berlagak alim. Mungkin aku tidak perlu kerja kesana-kemari hanya menjadi kacung orang. Menjadi bawahan yang sangat terhina."
Atun terkejut mendengar ungkapan suaminya.
"Namanya juga kerja Mas! Kita ya harus nurut sama atasan, harus bisa menjadi karyawan yang baik. Harusnya kamu bersyukur masih bisa bekerja dan menghasilkan uang. Di luar sana masih banyak orang yang pingin kerja tapi tidak dapat pekerjaan. Mereka masih bersyukur, bukan malah menyalahkan orang lain." kesal Atun.
"Maksud kamu menyalahkan orang gimana?" tanya Abdul dengan nada meninggi.
Atun terdiam, ia terkejut dengan ucapan keras suaminya.
"Kamu?" tanya Abdul menatap marah, menujuk dada Atun.
"Kamu memang menyalahkan aku Mas." jawab Atun.
Darr!!
Atun berjingkat kaget, ia menutup telinganya sambil menjerit.
Abdul memukul meja kayu di hadapan mereka sangat keras. Meja yang sudah lapuk itu tampak retak terkena bogem mentah milik Abdul.
"Lebih baik kamu diam, kalau tidak ingin merasakan retak seperti meja ini." desis Abdul menunjuk meja yang kacau berantakan karena pukulannya.
Mata bulat Atun membelalak takut, beningnya mulai berkaca-kaca. Selama pernikahan mereka Abdul tidak pernah menunjukkan sikap demikian. Entah hal apa yang membuat pria itu begitu emosi hari ini. Atun menautkan kedua tangannya sambil menangis.
"Dan satu lagi. Tidak usah ikut campur urusanku, termasuk jika emak datang. Lebih baik kamu berpura-pura tidak tahu. Tidak usah mencari muka kepada emak ku."
Kata-kata itu terdengar seperti ancaman, ia benar-benar takut menghadapi amarah Abdul saat ini.
Tak lama setelah itu, Abdul berlalu dengan kunci mobil di tangannya. Pria itu tidak membujuk Atun, bahkan tanpa pamit ia melaju pergi bersama mobil hitam andalannya.
"Hu...hu..hu...."
Atun tergugu, ia menangisi dirinya yang seolah menjadi beban untuk Abdul, tidak seperti dulu ketika awal menikah, sekarang Abdul berubah.
"Apa salahku Mas?" rintihnya dengan berlinang air mata. "Kamu kok tega, kamu jahat...." ratapnya lagi.
Ternyata kemarahan Abdul lebih menakutkan daripada emak.
seumur hidup itu terlalu lama untuk mendampingi org yg kecanduan judi ..sudah dihancurkan kenyataan jgn lah meninggikan harapan mu Tun 😌😌
Dibalik lelaki yg sukses ,ada wanita yg terkedjoet dibelakang nya..sukses dah si Abdul bikin kejutan buat emak nya sama kamu Tun..dan tunggu aja akan ada kejutan lain nya /Pooh-pooh//Pooh-pooh/
judul nya ganti Istri Ayahku ternyata Ibuku,dan Ayahku ternyata Laki Laki 🙀😿
orang kaya emang suka begitu, lagunya tengil..kek duit nya halal aja ( kasino warkop )