🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#23
#23
"Biar saja, kalau dia anak Ibu, sampai kapanpun Ibu tak akan memaafkan anak seperti dia." Jawab Bu Ratih yang juga masih emosional.
"Tapi kita tak berhak menghakimi nya, Ada Allah yang sudah tahu takaran hukuman bagi setiap hambanya."
"Astaghfirullah …" ucap Bu Ratih beberapa kali.
Kendati demikian, Bu Ratih tetap tak bisa memaksakan senyum di wajahnya. Ia sudah teramat kesal kala mendengar kisah masa kelam rumah tangga Aldy dan Hilda. Dan masih dengan rasa kesal yang teramat sangat, Bu Ratih masuk ke dalam rumah menemui Ammar.
"Mas Ammar …" Seru Bu Ratih.
"Eyang …" Ammar balik menyapa sang Eyang.
Bu Ratih segera memeluk Ammar yang sedang duduk di sofa menikmati segelas juice mangga. "Cucu Eyang … masih sakit kah?" tanya Bu Ratih sembari mengusap perban di kepala Ammar.
"Tidak Eyang, Mas Ammar kan jagoan." jawab Ammar bangga.
Bu Ratih mengacak rambut Ammar, "Hebat jagoan Eyang … lain kali hati hati ya, jangan lari ke jalan sembarangan." pesan Bu Ratih.
Dari arah ruang makan, muncul Hilda dengan sepiring camilan favorit Ammar dan Azam, "Ibu …" Sapa Hilda dengan senyum di wajahnya.
Bu Ratih segera beranjak, "Ibu Mau bicara," bisik Bu Ratih pada Hilda.
Hilda meletakkan sepiring camilan di hadapan Ammar dan Azam. "Bunda bicara sama Eyang dulu ya?"
"Iya, Bund." jawab Ammar dan Azam kompak.
"Ada apa Bu?" tanya Hilda. "Ibu lagi kesal?"
Bu Ratih menghabiskan segelas air putih yang baru saja ia bawa dari dispenser. "Iya … Ibu habis nyiram orang pakai air bekas nyuci sayuran."
"Astaghfirullah…"
"Itu, mantan suami kamu."
"Ibu … sabar … jangan sampai hipertensi ibu kambuh hanya gara-gara dia." Hilda mengingatkan. "Sebenarnya Mas Irfan yang memintanya mengikuti kami sampai ke sini."
"Apa?"
"Begitulah, Bu … aku pun tak ingin, tapi Mas Irfan yang ngotot."
"Ibu benar-benar gak ngerti jalan pikiran suami kamu."
"Apa jangan-jangan mantan suami kamu ingin memperkarakan hak Asuh Ammar?"lanjut Bu Ratih
"Astaghfirullah, tidak Bu, jangan sampai, aku pun tak akan rela jika Mas Aldy membawa Ammar pergi, walau dia Ayah kandungnya sekalipun. lagi pula aku yakin Mas Irfan tak akan melepaskan Ammar begitu saja."
Bu Ratih kembali duduk dan mengatur nafasnya, “Ya sudah, bawa Ammar keluar, mungkin Irfan hanya ingin membuat Aldy lebih dekat dengan Ammar.”
.
.
“Bunda, kita mau ke mana?” Tanya Ammar yang kini kembali ke teras rumah.
“Ada yang ingin bertemu Mas Ammar.”
“Siapa Bunda?”
“Nanti Ammar tahu.” Jawab Hilda enggan.
"Om …" Seru Ammar ketika mereka tiba di halaman.
Aldy yang tengah mengeringkan kepala dan tubuhnya dengan handuk segera menoleh, dan tersenyum lebar menatap wajah Ammar yang juga tengah tersenyum ke arahnya.
Hilda memalingkan wajahnya, ia tak ingin terlibat interaksi terlalu dekat dengan mantan suaminya tersebut. Lagi pula melihat sorot mata Widya saja, Hilda sudah tahu bahwa wanita itu sedang memendam bara api di dalam dadanya.
Aldy berlutut di hadapan Ammar, tak peduli dengan keberadaan keberadaan Widya dan Reva. "hallo jagoan kecil, maaf Om datang terlambat." sapa Aldy dengan hati perih menahan tangis, kala menyebut dirinya Om, padahal seharusnya Ammar memanggilnya Papa.
“Aku kira Om tidak akan datang.”
Aldy tersenyum, ia mengusap kepala dan betis Ammar yang masih berbalut perban dan kain kasa. “Maaf, Om baru bisa datang, Om sibuk.” Jawab Aldy beralasan, ia pun tak ingin Ammar membenci Bundanya karena telah melarangnya datang selama Ammar di rawat di Rumah Sakit.
“Gak papa Om, iya kan Bunda?” Ammar menyentuh tangan Hilda, mencoba meminta persetujuan.
Hilda tersenyum kikuk seraya mengangguk. “I … iya sayang, gak papa.”
“Tuh, Bunda bilang boleh Om, Bunda Ammar baik kan?” Senyuman di wajah Ammar begitu lebar, ketika membanggakan kebaikan sang Bunda.
Aldy mengangguk cepat, menahan sesak dan tangis yang sudah sangat ingin di lepaskan. “Boleh Om peluk Ammar?” Tanya Aldy.
Membuat Widya melotot tajam, bisa-bisanya Aldy mempertontonkan kemesraan nya dengan Ammar di hadapan Reva putrinya.
Ammar mengangguk.
Tak ada yang bisa mengalahkan hangatnya pelukan orang yang teramat sangat dirindukan, setidaknya itulah yang kini Aldy rasakan, ketika untuk pertama kalinya ia memeluk Ammar dengan perasaan berbeda, rindu yang tiba tiba membuncah, meledak bersamaan dengan kenyataan yang tak mungkin bisa diubah.
“Om menangis ya?” Bisik Ammar ketika Aldy masih enggan melepaskan pelukannya.
“Iya … karena Om menyesal, karena tak bisa berlari cepat menyelamatkanmu tempo hari.”
“Gak papa Om, Ayah bilang, Om sudah membawaku ke Rumah sakit, bahkan mendonorkan darah buat Ammar, Terima Kasih, Om.”
Mendengar ucapan terima kasih dari bibir Ammar, membuat Aldy semakin sesenggukan, sungguh ia merasa tak layak menerimanya, karena ia merasa jadi manusia dan Papa paling buruk sedunia karena sudah menelantarkan buah hatinya sendiri.
Irfan benar-benar sukses menunjukkan keberhasilannya menjadi Ayah sambung yang baik, hal yang bahkan tak mampu Aldy lakukan karena ia telah kehilangan kesempatan itu.
Sementara Hilda, menyembunyikan tangisnya di balik punggung Irfan, bagaimanapun benci dan marahnya ia pada Aldy, ia tetap tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya ketika Ammar di peluk Ayah kandungnya.
,
.
BRAAAAAKKK!!!
Aldy membalik meja di hadapannya, ia tak peduli jika nanti ia dikenakan biaya mengganti properti hotel yang telah ia hancurkan.
“Aaaaaa…” Widya memekik keras, ia tak menyangka Aldy akan bereaksi semarah ini ketika ia dengan jujur mengatakan bahwa beberapa kali Widya menyewa detektif swasta untuk memata-matai kegiatannya. “Maaf, mas.” Hanya itu yang mampu Widya katakan.
“Maaf, katamu, kamu benar benar mengecewakan aku Wie !!!” Lagi lagi Aldy berteriak, meluapkan amarahnya.
“Sudah berlalu 7 tahun yang lalu, aku menahan sesak dan rasa bersalahku pada Hilda, demi menepati janjiku kepadamu, tapi ternyata setelah semua kulakukan untukmu, kamu masih juga curiga dan tak bisa mempercayai suamimu sendiri.”
“Hanya demi janji, Mas? Mas menikahiku hanya demi janji, apa itu artinya sekarang Mas mengakui, kalau selama ini Mas mencintai Hilda?!!” Tanya Widya memastikan.
“Iya … !!!” Aldy serta merta menjawab, tanpa memikirkan lagi apa yang keluar dari lisannya, yah, seharusnya sejak lama ia mengatakan perasaan ini pada Hilda, sayangnya ia terlalu bodoh untuk bisa mengenali apa itu cinta dan apa itu obsesi semata. “aku mencintainya,” air mata Aldy tumpah ketika akhirnya ia bisa mengatakan perasaan hati yang selama ini ia pendam.
“7 tahun yang lalu, suamimu yang bodoh ini, akhirnya menyadari bahwa dirinya mencintai wanita yang sudah menemaninya selama 4 tahun, bahkan wanita itu rela pergi demi membuat suamimu ini bahagia bersamamu.” tubuh Aldy lunglai meringkuk di lantai.
Dan jangan ditanya bagaimana perasaan Widya, tentu saja ia merasa terluka dan sangat kecewa, bayangan kebahagiaan di masa depan, mendadak buram tertutup kabut hitam nan pekat. “Lalu bagaimana dengan aku yang mencintaimu, Mas. Apa aku tak layak mendapatkan hati dan cintamu?”
Aldy menatap, kedua netra abu Widya yang berlapis lensa kontak. Mencoba menemukan kembali debaran yang dahulu ia rasakan kala berdekatan dengan Widya. Nyatanya nihil, ia sama sekali tak menemukan semua itu disana, entah sejak kapan, hati dan perasaannya memudar, gelora yang dahulu begitu membuncah, mendadak surut seperti laut tanpa ombak dan badai tanpa gemuruh angin.
“Maaf, Wie … “
andai..andai.. dan andai sj otakmu skrg