Clara : Si Pendiam Yang Di Inginkan Banyak Orang

Clara : Si Pendiam Yang Di Inginkan Banyak Orang

siapa diriku ini

Aku duduk di tepi ranjang, menatap potret kecil yang terlipat rapi di tanganku. Wajah seorang wanita dengan mata cerah, tersenyum kecil. Sulit menafsirkan usia dan suasananya, sekadar bayangan dari masa lalu yang tak pernah aku kenal.

“Ini dia,” bisikku, mengangkat foto itu. Kertasnya hampir sobek di sudut, warna pudar. “Siapa kamu?”

tangan ku bergetar ketika suara ketukan lembut terdengar di pintu.

“Masuk,” seruku, sembari menyimpan foto itu di bawah bantal.

Pintu terbuka, dan Luna, sahabat yang setia, melangkah masuk. Rambutnya tergerai bebas, cahaya pagi menyentuhnya dengan indah, namun tatapan matanya mengaduk kepedihan dalam diriku.

“Pagi, Ria,” ucapnya, mengernyitkan dahi. “Kamu lagi mikirin foto itu, ya?”

Aku mengangguk pelan.

“Segitu pentingnya sih fotonya?”

“Bukan foto itu,” jawabku, mataku tak lepas dari tatapannya. “Tapi hatinya. Rasanya seolah itu segala yang aku miliki.”

Dia menjangkau, berusaha meraih tanganku.

“Ria, kamu harus lihat ke depan. Ada banyak yang bisa kita jalani bersama.”

“Tapi, Luna,” desisku. “Aku butuh tahu siapa mereka.”

Luna menghela napas. Dia tahu aku takkan pernah puas dengan janji-janji begitu.

“Kamu harap bisa temukan mereka? Setelah sekian lama?”

“Entahlah. Mungkin ini hanya… mimpi,” kataku, meremas kalung kuda laut yang melingkar di leherku.

“Kalung itu terus mengikatmu pada masa lalu. Mungkin kamu bisa mencari tahu lebih banyak.”

“Ya, mungkin.” Pandanganku tertuju pada kalung itu.

Dia mengangkat bahu, lalu duduk di tepi ranjangku.

“Kamu tahu, tidak ada yang lebih kuat dari keinginanmu sendiri. Kita bisa mulai mencari lain waktu.”

“Kita?” Suaraku penuh keraguan.

“Ya! Kita. Kami bisa ke perpustakaan, cari informasi. Siapa tahu ada jejak yang bisa kita temukan,” katanya bersemangat.

Aku tersenyum tipis.

“Kalau kamu mau. Bahaya hidup di kota ku, terutama kalau kita harus mencari tahu identitas orang yang tidak bisa ditemukan.”

“Tak ada yang namanya bahaya kalau kita bersatu. Kita harus berani.”

Aku menatapnya, merasakan getaran semangatnya yang menular.

“Baiklah,” ujarku, berusaha membangkitkan harapan. “Kita ke perpustakaan.”

Luna berdiri, menganggukkan kepala. “Ayo buruan, kita bisa menemukan jejak yang lebih nyata.”

Kami melangkah keluar dari rumah kecilku, sejengkal eksplorasi dunia. Suatu keputusan berani setelah bertahun-tahun tenggelam dalam bayang-bayang.

“Apakah ada yang tahu siapa orang tuaku?” seruku, seolah pertanyaanku bisa menjawab kegelapan.

Dari kejauhan, suara anak-anak berlarian mengisi udara pagi. Mereka berteriak, tawa mereka menghantarkan nostalgia.

“Apa kamu ingat saat kamu baru tiba di tempat ini?” Luna melanjutkan, wajahnya keriput dengan senyuman. “Kita melintasi taman, melihat semua orang berlari.”

“Ya, hari itu cerah,” jawabku, mengingat kembali occasion ketika pertama kali menginjakkan kaki di sini.

“Harusnya ada lebih banyak kenangan, Ria,” ucapnya.

Dia cepat-cepat memutar tubuh saat kami sudah hampir sampai ke perpustakaan.

“Hentikan!” teriaknya, terengah-engah. “Lihat itu!”

Di depan pintu perpustakaan, seorang lelaki tua bertopi, dengan mata dalam kacamata hitam, membaca koran. Setidaknya, itu kesan pertamaku.

“Dia nampak seperti seseorang yang mengetahui semua rahasia,” kataku, tertawa kecil.

"Kamu bercanda? Dia pasti kakek yang suka memperhatikan orang."

“Ya, kita bisa bertanya padanya,” aku menunjuk dia, dan Luna menggigit bibirnya.

"Baiklah, kalau gitu, jangan sia-siakan kesempatan."

Kami melangkah mendekat, dan dia menurunkan korannya, memasang senyum di wajah keriputnya.

“Selamat pagi, anak-anak!” sapanya, suasana cerah membuat wajahnya bersinar.

“Ada yang bisa kami bantu?” Luna bertanya, senyum ceria terpasang.

“Ada apa yang menarik, nak?”

“Um, kami ingin tahu lebih banyak tentang orang tua saya…”

Lelaki itu mendengarkan, matanya tampak penuh pengetahuan.

“Mungkin ada baiknya mencari di arsip. Terkadang, buku-buku tua bisa membantu,” katanya, tersenyum bijaksana.

“Apakah ada yang spesifik?” tanyaku. “Mungkin informasi lebih lanjut tentang anak-anak yang hilang?”

Dia mengangguk, kerutan di wajahnya semakin dalam.

"Benar. Kadang, ada catatan yang tersisa."

Kami melangkah lebih dekat ke dalam perpustakaan, aroma kertas dan debu menyambut kami.

“Kau mungkin harus mencoba mencarinya sendiri. Coba lihat di sudut sana,” tantang lelaki itu, menunjuk ke arah ruang arsip.

Luna menggenggam tanganku, semangat membara di matanya.

“Selamat berjuang!” teriaknya, mendorongku maju.

“Terima kasih,” jawabku, melangkah ke ruang yang lebih gelap.

Kisah tumpuk buku-buku nampak tak berujung, menunggu untuk diungkap.

Aku meraba selembar halaman, memindahkannya dengan hati-hati. Di balik tumpukan itu, satu sejarah mungkin tertegun menanti.

Dia yang ku cari adalah misteri yang terasa nyata. Temukan sisa-sisa mereka, pikirku.

“Ria! Lihat ini!” Luna memanggilku dari seberang ruangan.

Aku melangkah lebih dekat, rasa penasaranku meluap, dan mendapati Luna memegang sebuah buku lusuh. Cover-nya terlihat sangat tua, sudah nyaris tak terbaca.

“Ini tentang orang-orang yang hilang!” dia berbisik, matanya bersinar. “Mungkin ada baiknya kita baca.”

Kami duduk bersisian, membolak-balik halaman demi halaman. Rasa harapan terbangun di antara kami.

“Lihat, ini catatan lama dari anak-anak yang menghilang.”

Satu nama muncul, bagaikan gema masa lalu.

“Apakah ini? Tak mungkin ini kebetulan.”

Kami tertegun. Sebuah kebenaran mungkin sudah menunggu lama.

Luna menggenggam tanganku erat, intensitas harapan mengguyur jiwaku.

“Ria, kita mulai menciptakan kisah kita sekarang!”

Aku menatap kuda laut kecil di dadaku. Seketika, rasanya ada harapan yang mendekat.Luna dengan semangat memindahkan lembaran demi lembaran, matanya menyala saat menemukan nama-nama lain.

“Ada begitu banyak cerita di sini,” lirihnya, menatapku penuh harap. “Mungkin ini membuka jalan untuk kita!”

Matahari sore menyelinap melalui jendela, menambah suasana misterius di ruang itu. Aku merasakan detak jantungku meningkat, rasa penasaran semakin membara.

“Kamu lihat, Ria,” Luna menunjuk salah satu nama. “Semua ini… pasti ada hubungan.”

“Namanya,” gumamku. “Sepertinya sudah biasa kita dengar.”

Dia mengangguk, menekankan bahwa ini lebih dari sekadar kebetulan. Semakin dalam kami menggali, semakin tak berujung labirin informasi yang kami hadapi.

“Sini, lihat halaman ini!” serunya, menunjuk dengan jari telunjuknya. “Ada daftar kontak, alamat… mereka semua berasal dari kota ini.”

Kami memperhatikan setiap detil, mengabaikan waktu yang berlalu. Buku itu memancarkan aura misterius, dan kami mulai mengaitkan potongan-potongan puzzle.

“Kalau kita berhasil menemukan salah satu dari mereka,” bisikku, “mungkin kita bisa mendapatkan lebih banyak informasi.”

Luna menyipitkan mata, berlari di antara informasi yang tersaji. “Harus ada cara untuk melacak mereka. Seseorang pasti bisa membantumu menemukan jejak orang tuamu.”

Satu jam kemudian, ada ikatan kerinduan yang tumbuh di dalam diriku. Di tengah cobaan dan ketidakpastian, kami menemukan harapan dalam tumpukan kertas tua.

“Kami akan menjelajah,” kataku, memantapkan hati. “Mungkin mulai dari alamat ini.”

Mata Luna berkilau penuh semangat. “Lihat, rencananya akan segera terwujud!”

Setelah menjelajahi halaman-halaman kuno, kami meninggalkan perpustakaan membawa teka-teki baru. Angin sore menampar lembut wajah kami saat melangkah ke luar.

“Selalu satu langkah lebih dekat,” kataku, sambil meremas kalung kuda laut lagi. Rasanya seolah benda itu berbicara, memberi petunjuk penting pada setiap detik yang berlalu.

“Apakah kamu siap untuk berkeliling kota?” tanya Luna.

Menyusuri jalanan dengan keyakinan baru, kami melintas di antara kerumunan, berusaha menjalin petunjuk. Kompas harapan telah berputar.

“Dari sini kita harus ke Jalan Jenderal Sudirman,” sahutku, menatap peta yang kami cetak. “Kita bisa mencari siapa pun yang mungkin tahu tentang orang tuaku.”

“Tunggu!” Luna terhenti tiba-tiba dan menyentuh lengan bajuku. “Ada yang lebih menarik!”

Di sudut jalan, seorang nenek duduk di bangku taman, tersenyum ramah. Jalan hidupnya sepertinya dipenuhi cerita tanpa hasil yang pasti.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!