(Tahap Revisi)
Hani tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran pekerjaan dari sahabatnya, yakni menjadi pelayan di sebuah Villa mewah. Namun nasib naas malah menimpanya di villa mewah itu.
"Katakan, siapa yang sudah menghamilimu?" seorang wanita paruh baya langsung melabraknya.
"Laki-laki yang burungnya mati suri" Hani mengatakannya dengan judesnya di depan semua orang.
Yuk simak kisahnya hanya di cerita Dihamili Tuan Impoten!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alif Irma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Hani terus mengurung diri di kamar setiap Hans berada di rumah. Ketika suami yang masih dianggapnya bajingan itu sudah pergi, barulah ia keluar kamar dan melakukan aktifitas seperti biasa bersih-bersih rumah yakni, menyapu, menyiram tanaman dan membantu bibi nya memasak.
"Bibi lihat beberapa hari ini kamu terus mengurung diri di kamar saat nak Hans ada di rumah. Jika kalian memiliki permasalahan rumah tangga, sebaiknya dibicarakan secara baik-baik, jangan malah menghindar atau bersembunyi segala. Karena ujung-ujungnya permasalahan rumah tangga kalian tidak bakalan selesai. Malahan hubungan komunikasi diantara kalian pasti terputus, hingga nantinya terjadi kesalahpahaman diantara kalian dan tak ada habisnya" ucap Halimah panjang lebar menegur sikap ponakannya beberapa hari ini.
"Bibi, aku hanya tidak ingin bertemu dengannya, jadi jangan khawatir" ucap Hani tersenyum dan sebisa mungkin menutupi permasalahan rumah tangganya.
"Hani, tidak seharusnya kamu menjauhinya. Jujur, bibi kasihan melihat nak Hans setiap malam tidur di ruang tamu bahkan sampai digerogoti nyamuk. Setidaknya kamu ajak suami mu tidur di kamar, bukankah kalian sudah resmi menjadi pasangan suami istri" ucap Halimah memberikan nasihat kepada ponakannya.
"Biarin saja, itu salah satu bentuk hukuman yang harus dia terima. Karena bagaimana pun Hans Prasetyo Dirgantara yang sudah menghancurkan kehidupanku, Bibi. Jadi sah-sah saja jika aku bersikap acuh tak acuh kepadanya" ujar Hani lalu bangkit dari duduknya dan melangkah masuk ke dalam kamar.
"Tapi dia itu suami mu nak, kamu harus berbakti kepadanya. Semua orang pernah berbuat kesalahan dan dosa, begitu halnya dengan nak Hans. Setidaknya nak Hans sudah bertanggungjawab, untuk apalagi memusuhinya. Belajarlah untuk memaafkan dan bersihkan segala kebencian dan gundah gulana dalam hatimu. Apa yang kamu alami dimasa lalu, jadikan lah sebagai pengalaman hidup" jelas Halimah panjang lebar. Siapa lagi yang akan menasihati ponakannya kalau bukan dirinya sendiri.
Walaupun pintu kamar Hani sudah tertutup rapat, namun Halimah sangat yakin bahwa ponakannya itu masih mendengar segala ucapannya.
Sementara di kediaman keluarga Dirgantara terlihat nyonya Miranda sedang melamun di dalam kamarnya. Sudah beberapa hari ini Hans tak kunjung pulang ke rumah, bahkan Nyonya Miranda sangat khawatir karena tidak kunjung mendapatkan kabar dari putra semata wayangnya.
Setiap kali nyonya Miranda menghubungi nomor Hans, selalu saja ditolak, seolah-olah putranya sedang marah besar kepadanya. Karena baru kali ini putra semata wayangnya mengacuhkan panggilannya berkali-kali. Padahal selama ini tidak pernah.
Nyonya Miranda menjadi khawatir dengan putra semata wayangnya. Dimanakah putranya menginap beberapa hari ini? sedang apa disana? sudahkah dia makan atau belum. Itulah yang sedang dipikirkannya sekarang, sampai-sampai asam lambungnya naik.
"Apa yang harus aku lakukan untuk membuat Hans pulang ke rumah" ucap Nyonya Miranda sambil memandangi bingkai foto keluarganya, dimana dalam foto tersebut saat Hans wisuda.
"Sebaiknya aku tunggu saja kabar dari mata-mataku. Jika tidak ada kabar dari mereka, aku akan memohon kepada ayah untuk menyuruh Hans pulang ke rumah" gumam Nyonya Miranda dengan idenya.
*
*
*
"Hani, apa kamu tidak berencana pulang ke rumah suami mu?" tanya Halimah dan merasa khawatir dengan hubungan rumah tangga ponakannya. Pasalnya sudah dua minggu Hani tinggal bersamanya.
"Aku tidak mau pulang, Bibi. Aku lebih nyaman tinggal di rumah Bibi" jawab Hani tersenyum tipis sambil menatap daun singkong yang siap di petik.
"Nak, pikirkan perasaan nak Hans. Kedatangannya kemari itu ingin mengajakmu pulang ke rumahnya. Tapi kamu selalu saja menghindarinya dengan bersembunyi di dalam kamar" ucap Halimah memberitahu sambil menghembuskan nafasnya dengan kasar.
"Aku tidak tertarik untuk pulang bersamanya, Bibi. Aku sudah menitipkan sebuah surat untuknya tempo hari, tapi kenapa dia masih terus datang ke rumah Bibi" ucap Hani dengan raut wajah cemberut.
"Nak, sekarang ceritakan permasalahan rumah tanggamu, bibi ingin tahu" ucap Halimah serius menatap tajam ponakannya itu.
"Maaf bibi, aku belum bisa menceritakannya. Yang jelas semuanya baik-baik saja, bibi. Percayalah kepada ponakan mu ini" ucap Hani berusaha meyakinkan Bibi nya.
"Awas ya jika kamu main rahasia-rahasian dengan bibi mu yang sudah tua ini" ucap Halimah sambil mencubit pipinya, membuat Hani tertawa terbahak-bahak.
"Kalau iya, Bibi mau apa, ha ha ha" Hani semakin tertawa lepas.
"Dasar gadis nakal" balas Bibi nya berpura-pura marah, refleks Hani berhambur memeluk tubuh bibi nya dengan tawa lepas.
Bersamaan pula Hans baru saja pulang kerja. Pria tampan itu hanya mampu terpaku melihat Hani tertawa dengan lepasnya untuk pertama kalinya. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar kencang. Hans tidak bisa beranjak dari tempatnya berdiri di dekat pintu masuk.
Namun sayangnya Hani menyadari keberadaan Hans, mendadak dia langsung menghentikan tawanya. Hani bangkit berdiri, namun tangannya dicekal oleh bibi nya.
"Hani, sikapmu sangat tidak sopan. Suamimu baru saja pulang, tapi kamu mau langsung pergi saja" ucap Halimah menegur ponakannya.
Dengan terpaksa Hani kembali duduk di tempatnya semula. Untuk apa pria bajingan itu kembali datang kerumahnya, pikirnya.
"Silahkan masuk, nak Hans" ucap Halimah tersenyum ramah melihat menantunya masih berdiri di dekat pintu.
"Baik Bibi" balas Hans disertai anggukan kepala lalu masuk ke dalam rumah sederhana Bu Halimah, sosok wanita paruh baya yang sudah seperti ibu kandung Hani.
Hans meletakkan barang belanjaannya di atas meja. Belanjaannya itu berupa bahan makanan dan perlengkapan mandi serta skincare khusus untuk Hani.
Hani memasang wajah jutek dan tak pernah mau bersitatap dengan Hans. Dia sengaja melakukan itu semua agar Hans menjadi ilfil kepadanya dan otomatis akan segera menceraikannya.
"Karena nak Hans sudah datang, bibi titip Hani. Soalnya bibi harus menghadiri acara pernikahan anak kerabat dekat Bibi di luar kota" ucap Halimah memberitahu.
"Loh, kenapa Bibi tidak memberitahuku sih. Kalau begitu, aku mau ikut bersama bibi" ucap Hani cepat.
"Tidak bisa. Wanita hamil tidak diperbolehkan melakukan perjalanan jauh. Lagian usia kandunganmu baru tiga bulan, makanya kamu tinggal saja di rumah. Ada nak Hans yang akan menjagamu, soalnya bibi baru bisa pulang dua sampai tiga hari" ucap Halimah sambil menyentuh perut Hani.
"Iihh bibi, pantesan rapi, tau-tau mau ninggalin aku" gumam Hani dengan raut wajah cemberut.
Halimah hanya mampu tersenyum dan kembali memeluknya. Kemudian Halimah berpamitan kepada mereka, sedang perawat pribadinya sedang memasukkan tasnya ke dalam mobil, dimana mobil tersebut adalah pemberian Hans.
Kini hanya Hani dan Hans berada di rumah. Hani dengan terpaksa membiarkan Hans masuk ke dalam kamarnya, soalnya kamar bibi nya terkunci, di tambah kamar mandi di dapur krannya rusak. Tidak mungkin Hans bajingan tidak mandi.
"Aku terpaksa meminjamkan handukku. Awas saja jika kamu sampai mengotorinya" ancam Hani sambil memasang wajah galaknya.
Hans mengangguk menerima handuk Hani lalu masuk ke dalam kamar mandi. Sedang Hani memutuskan ke dapur untuk menyiapkan makanan.
Saat Hani sedang asyik mengisi piringnya dengan nasi, tiba-tiba saja mati lampu.
"Akhhhhh, Hans Prasetyo Dirgantara, kamu dimana!" panggil Hani berteriak keras dan begitu takut dengan kegelapan.
Sontak saja Hans yang baru saja selesai memakai baju langsung mencari-cari ponselnya di atas meja dan untungnya bisa menemukannya cepat.
Dengan pencahayaan dari ponselnya Hans melangkah cepat mencari keberadaan Hani.
"Hans, Hans bajingan, dimana kamu" teriaknya sambil memegang centong nasi.
"Ada apa" ucap Hans dengan suara serak sambil mengarahkan ponselnya kearah Hani.
"Aku takut, tau" ucap Hani lalu berhambur memeluknya.
Ooh jadi ini kelemahannya. Jika aku tau diawal, setiap malam kompleks ini harus dilakukan pemadaman listrik. Batin Hans menyeringai. Sekarang giliran dia yang akan mengerjai sang istri.
Bersambung.....
sekarang hani jangan panggil hans lagi ganti dengan "mas" aja