Pernikahan Paksa Natta Elizah

Jarum jam menunjukkan pukul 2 pagi.....

Husna terbangun dari pingsannya, ibunya menangis, tetangga berkumpul di rumahnya. Hasan ditanyai, Mirza dipanggil dan merasa semua warga memandangnya rendah meskipun Hasan menjelaskan bahwa dia kebetulan bertemu Husna di jalan besar. Hanya Husna yang bisa menjelaskan segalanya.

Sementara di tempat lain, Elizah melihat luka Natta sangat serius. Darah terus menetes, tapi pria itu terus mengendarai motornya sampai berhenti di depan rumah yang dia sewa.

“Aku mau pulang,” kata Elizah.

Motor berhenti, Elizah turun kemudian Natta berusaha menyentuh bahunya tapi lukanya tak bisa dia sentuh. Dia hanya merasakan sakit dan basahnya darah.

“Aku mau pulang,” kata Elizah menangis.

Natta malah membuka pintu, menarik Elizah masuk dan Elizah tidak mau.

“Akan aku antar sebentar lagi. Siapa tahu mereka masih mengejar kita, ini tempat paling aman,” katanya dan Elizah mematung di dekat pintu. Ia belum pernah berduaan dengan laki-laki manapun.

“Aku bisa pulang sendiri,” ucapnya bersikeras. Menarik pintu tapi Natta menahannya. Elizah menjauh, punggungnya membentur dinding.

“Kalau ada yang melihatmu keluar dari rumahku. Kita berdua akan terkena masalah,” tegas Natta. “Sabar sebentar.”

Elizah mengabaikan ucapan Natta. Ia sangat ingin pulang, apalagi setelah melihat waktu sudah hampir pagi. Air matanya kembali menetes.

Natta memperhatikan Elizah yang tak mau di dekatnya. Gadis itu terus saja berdiri. Natta melepas jaket dan kaosnya, Elizah langsung berbalik badan. Natta harus lebih dulu mengobati lukanya.

Natta berdiri dan pergerakannya membuat Elizah ketakutan. Natta hanya pria asing baginya.

“Bantu aku,” pinta Natta.

Elizah diam dan Natta yang merasa kesal menariknya paksa. Elizah tidak mau.

“Bantu aku kalau kamu mau cepat pulang!” tegas Natta dan Elizah terpaksa membantunya. Elizah tidak tahu harus melakukan apa, dia hanya melakukan apa yang diperintahkan Natta.

Natta berdiri di depan cermin. Elizah di belakang tubuhnya sedang berusaha mengobati lukanya. Kesakitan itu rasanya mendadak sirna dan Natta hanya fokus melihat Elizah dari pantulan cermin.

“Setelah selesai, Natta memakai pakaian. Elizah terus melirik jam dinding. Sampai kemudian suara ketukan pintu membuat mereka berdua panik.

Ketukan pintu halus itu berubah menjadi ketukan kencang, sesaat kemudian menjadi gebrakan dan teriakan di luar membuat Elizah membulatkan matanya.

“Itu Abi,” ucap Elizah hampir menangis.

Natta juga panik dan suara di luar terdengar bergemuruh. Sepertinya bukan satu dua orang yang ada di luar.

Natta mengusap wajahnya, Elizah menangis tiada henti.

“Aku mohon jangan,” pekik Elizah menarik lengan Natta yang akan membuka pintu. 

“Sepertinya Faruq memberitahu semua orang kamu di sini. Kita sudah tertangkap basah, tapi setidaknya kamu aman dari Faruq.” Natta membalas dan Elizah memukul dadanya berulang kali. Elizah semakin benci kepada Natta.

“Buka!!!!” teriak Mirza.

Mirza berharap apa yang diadukan orang-orang tidak benar. Tidak mungkin putrinya ada di rumah pria pendatang itu. Mirza yakin anak perempuannya ada di rumah, ketika mendengar kabar tersebut dia langsung bergegas meninggalkan rumah Husna untuk memastikan tapi kabar itu sudah tersebar dan membuat warga yang lain ingin ikut melihat.

“Tidak mungkin Elizah ada di dalam. Dia gadis baik-baik, anak ustadz di desa kita,” seru Imran. Terkesan membela tapi Mirza tahu maksud dibalik ucapannya.

“Kita pastikan saja dulu. Aku melihat dengan jelas kalau Natta membawa masuk Elizah ke rumahnya,” tutur Faruq yang memang dialah yang membuat semua orang berkumpul di depan rumah kayu tersebut. Jika dia tidak bisa mendapatkan Elizah malam ini, biar dia permalukan saja gadis itu sekalian, begitulah niat busuk Faruq.

“Buka!” seru Mirza lagi dan akhirnya pintu dibuka.

Natta mengepalkan tangannya ketika melihat Faruq. Faruq menyeringai licik.

Natta tidak mengeluarkan sepatah kata pun sampai Mirza menyelonong masuk bersama beberapa orang dan betapa lemasnya dia ketika melihat Elizah ada di sana. Anak perempuannya berada di rumah seorang laki-laki.

“Nah, kan! Apa aku bilang.” Faruq menyeru.

Natta tidak tega melihat Elizah dipandang rendah. Tapi dia juga tidak bisa melakukan pembelaan. Seorang gadis berada di rumah laki-laki, apalagi kalau bukan berbuat yang tidak-tidak! Semua orang memikirkan hal yang sama.

“Abi,” lirih Elizah dan Mirza berkaca-kaca melihat putri tercintanya.

“Aduh! Gimana ini? Anak seorang ustadz kumpul keb**,” kata Imran memprovokasi.

Mirza hanya bisa membisu, Hasan berdecak kecewa dan tak mau melihat Elizah lebih lama.

“Panggil ketua RT!” seru yang lain.

Semua orang menghakimi Elizah dan Natta. Menjelaskan pun tidak tahu harus bagaimana. Mirza yang tidak tahan pergi tanpa berbicara sepatah kata pun. Kemudian Hasan menyeret Elizah keluar dan Natta menunduk ketika jemari tangan gadis itu bersentuhan dengan jemarinya.

Elizah meringis, Hasan menariknya kasar, mencengkeram pergelangan tangannya sekuat tenaga. Natta terus memperhatikan sampai dia merasakan pandangannya kabur kemudian tubuhnya ambruk. Semua orang panik dan Elizah hanya melihat sekilas tubuh pria itu terkulai lemah.

🍃🍃🍃🍃🍃

Waktu berlalu, Natta menatap keluar jendela klinik tempatnya dirawat. Dia banyak mengeluarkan darah. Natta tidak tahu bagaimana keadaan Elizah. Bertanya pun entah harus kepada siapa.

Natta menatap jarum infusan, memegang lalu meringis, dia menarik jarum infusan dan kemudian seorang pria paruh baya masuk menahannya.

“Kamu mau kemana? Kamu belum pulih benar.” Pria itu bernama Furqon, pamannya Natta.

“Lepas, Om. Aku perlu melihat Elizah, kejadian kemarin sangat memalukan. Entah apa yang dilakukan keluarganya, Elizah tidak bersalah.” Natta berusaha menjelaskan, Furqon mengajaknya duduk.

“Tenang dulu. Om sudah bertemu dengan ayahnya gadis itu,” kata Furqon dan Natta terdiam.

“Maksudnya?” tanya Natta heran dan Furqon dengan perlahan-lahan duduk di sampingnya.....

🍃🍃🍃🍃

“Elizah nggak mau menikah, Abi. Elizah nggak kenal siapa laki-laki itu, kenapa bisa Abi mau menikahkan Elizah dengan pria asing!” Elizah berbicara dengan dada kembang kempis, dia tidak mau dinikahkan.

“Jangan terus berpura-pura tak mengenal pria itu, Zah. Kami sudah cukup lelah menghadapi kamu,” lirih Hasan membalas.

“Mas.....” Elizah berusaha menjelaskan tapi Mirza menggebrak meja.

“Setelah kejadian memalukan berulang-ulang, memangnya pria baik mana yang mau menikahi kamu?” bentak Mirza dan Elizah membeku.

“Apa belum cukup semuanya? Apa belum puas kamu mempermalukan keluarga kamu?” lirih Mirza dan Elizah menggeleng-gelengkan kepalanya, matanya memupuk buliran bening.

“Abi lelah, Elizah. Abi pasrah, menikahlah dengan dia yang kamu pilih. Silakan kamu pergi kemana pun, Abi tak akan melarang,” kata Mirza dengan suara serak dan sedikit gemetar.

“Bi,,,,” lirih Anita. Belum pernah dia melihat Mirza berbicara Setega itu kepada anaknya apalagi kepada Elizah.

Mirza bangkit, berdiri di depan kaca besar di ruangan tersebut. Menatap lurus ke luar. Hamparan sawah terbentang luas di matanya.

“Yang Abi mau sekarang, sebagai obat atas apa yang kamu lakukan, menikah lalu pergi dari sini. Abi tidak mau ikut campur lagi kehidupan kamu mulai sekarang.” Ungkapan Mirza bagaikan cambuk terperih di hati Elizah. Elizah yang tak mau itu pun terhuyung bersujud di kaki ayahnya.

“Abi harus percaya sama Elizah,” pekiknya sambil menangis. Dia goyangkan kaki yang dia peluk itu, “maaf, Bi. Maaf.”

Mirza diam dan air mata yang melintas di pipinya hanya dia seorang yang tahu.

“Akan Abi urus semuanya. Kamu akan segera menikah dengan pria itu, tolong pergi dari sini ke tempat yang jauh.. Abi sudah lelah mendengar cemoohan orang-orang.”

Elizah menjerit-jerit tidak mau dinikahkan. Memohon ampun tapi Mirza memilih pergi meninggalkannya. Hasan juga melakukan hal yang sama, hanya Anita yang sekarang mendekat memeluk erat Elizah.

“Bu, Elizah enggak mau. Tolong bujuk Abi.”

Anita menyeka wajah putrinya. Tak mau kehilangannya. Anaknya itu belum pernah pergi jauh darinya.

“Ibu harus percaya sama Elizah,” jeritnya tapi Anita tidak bisa melakukan apa pun.

Mendengar Elizah akan dinikahkan saja baru sekarang dia dengar. Mirza tidak berunding dengannya karena Mirza tahu Anita tidak akan setuju.