NovelToon NovelToon
JAEWOO WITH LOVE FANFICTION

JAEWOO WITH LOVE FANFICTION

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Dosen / Poligami / Mafia
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Withlove9897_1

kumpulan fic Jaewoo

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Introverted and Extroverted Part 003

...***...

Kacau, adalah satu-satunya kata yang pas untuk mendeskripsikan situasi Jaehyun sekarang.

Ia tengah duduk di kursi presiden kebanggaannya, tangan kiri memegang kepala, tangan kanan menggenggam pena, sementara matanya memelototi lembaran dokumen di atas meja.

Yuta menyeretnya ke sini tepat saat bel makan siang berbunyi. Jaehyun bahkan tidak sempat melarikan diri, karena pemuda itu terlalu kuat bahkan untuk atlet olahraga seperti Jaehyun.

Perutnya keroncongan sejak tadi pagi, ia melewatkan sarapan karena bangun kesiangan. Sementara pemuda yang rambutnya disisir sembarangan ke belakang itu enak-enakan duduk di sofa mengawasinya menyelesaikan dokumen kesiswaan.

Tidak cukup sampai di situ! Pacarnya yang berisik itu, memaksa masuk dan menyuapinya Ramyeon pedas. Pedas! Padahal Jaehyun belum makan apa-apa dari tadi pagi.

Sepasang matanya melirik tajam pada Yuta yang tampak malu-malu membuka mulutnya, membiarkan Sana memberinya makan.

"Jaehyun! Apa yang kau lihat?!" Ia menyalak marah.

Jaehyun segera mengalihkan perhatiannya kembali ke dokumen di hadapannya. Padahal ia ada latihan sepulang sekolah nanti. Bagaimana mungkin ia bisa melakukannya tanpa perut terisi? Bel yang berbunyi menandai usainya jam makan siang berhasil menarik keluar rengekan Jaehyun. Suara perutnya terdengar semakin nyaring.

"Kembali ke kelasmu. Kita teruskan lagi nanti setelah kau latihan. Jangan pernah berpikir untuk kabur, aku akan mengawasimu!"

Jaehyun melangkah lunglai keluar dari ruang kesiswaan menuju kelasnya. Kalau saja jam selanjutnya bukan kelas Sejarah, maka ia akan membolos, atau paling tidak menyelundupkan makanan ke dalam kelas. Tapi Mr. Cho terkenal killer dan dia tidak mau mengambil resiko detensi. Hanya menambah daftar panjang pekerjaan yang harus ia selesaikan.

Semenjak Kim Jungwoo bersikeras keluar dari kesiswaan, semuanya kacau. Yuta, ketua komisi disiplin kesiswaan sialan itu tidak mau tahu dengan situasi pelik yang menimpa Jaehyun. Ada atau tidaknya Kim Jungwoo, badan kesiswaan harus tetap berjalan, begitu katanya. Karena itu setiap jam istirahat dia menyeret Jaehyun keluar dari kelasnya. Dan ia kira kedudukan kesiswaan lebih tinggi dari komisi disiplin.

Yuta memaksanya menyelesaikan tugas-tugas presiden kesiswaan yang selama ini belum pernah ia kerjakan. Jadwalnya kacau, antara kesiswaan dan tim football. Yuta tidak mau tahu, pelatih lebih tidak peduli lagi. Sebagai kapten tim, ia tetap harus tetap latihan dan tugasnya lebih berat lagi.

Seminggu ini Jaehyun bahkan tidak sempat ganti baju saat pulang. Langsung menjatuhkan diri di atas tempat tidur dan terlelap hingga pagi datang. Dan karena terlalu lelah, ia sering bangun kesiangan. Pada akhirnya sarapan pun terlewatkan.

Jaehyun harus mencuri-curi waktu di sela-sela pelajaran untuk menggigiti bekal yang disiapkan ibunya. Karena dilakukan di dalam kelas secara sembunyi-sembunyi, menunya pun tak boleh sesuatu yang terlalu wangi.

Mr. Moon Taeil sang guru Matematika pernah memukul puncak kepalanya karena ketahuan makan saat kelas Matematika.

"Jae! Kau kelihatan lesu sekali!" sapa Mingyu di ruang ganti.

Jaehyun mengangkat tangannya dan membalas high five dari pemuda itu dengan enggan.

"Apa yang terjadi denganmu? Kau sama sekali tidak terlihat keren, tidak sepertiku yang semakin hari semakin keren nan tampan ini!"

Jaehyun memakai perlengkapannya dengan lemas. Dia benar-benar tidak bersemangat untuk latihan. Perutnya memang sudah tidak keroncongan lagi, tapi mulai terasa perih melilit. Sepertinya lambungnya memutuskan untuk memakan dirinya sendiri.

"Entahlah. Aku lelah dengan semua ini."

Pemuda itu mengangkat alisnya heran. "Apa maksudmu? Kau bosan bermain di tim?"

Jaehyun menggeleng. "Bukan itu. Aku hanya― aku tidak tahu menjadi presiden dan kapten pada saat bersamaan akan begitu melelahkan. Aku tidak yakin dapat bertahan lebih lama." Kepalanya ia benturkan pada loker. Ia mulai merasa bagian tubuhnya itu terlalu berat untuk ia sangga.

Tawa Mingyu terdengar nyaring bergema.

"Apa maksudmu sobat? Kau telah melakukannya selama berbulan-bulan! Apa yang membuatmu tiba-tiba merasa lelah?"

Jaehyun menggeram pelan.

Tentu saja yang diketahui orang-orang adalah Jung Jaehyun, presiden kesiswaan sekaligus kapten tim football yang hebat dan tiada tandingannya. Mereka tidak tahu siapa yang memainkan peran presidennya dengan baik.

***

Jam di atas meja menunjuk ke angka 9 malam. Jaehyun menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi dan menghela nafas panjang; lelah. Padahal dia baru selesai latihan football jam 7, langsung diseret oleh Yuta ke ruang kesiswaan, seperti yang sering ia lakukan akhir-akhir ini.

Bahkan dia belum sempat mandi dan masih memakai kaosnya yang basah oleh keringat, melekat lengket pada kulitnya dengan tidak nyaman. Jaehyun bersyukur karena Mark meninggalkan bekal untuknya, yang segera ia santap begitu duduk di kursi presidennya. Dia hanya sempat mengonsumsi nutrition bar sebelum latihan tadi. Padahal perutnya sudah keroncongan sejak pagi.

Jaehyun meregangkan tubuhnya, membuat persendiannya berderak karena kelelahan.

Dia baru tahu tugasnya yang sebenarnya seberat ini. Tega sekali Jaehyun melimpahkan semuanya pada Jungwoo. Karena kalau dikerjakan berdua, pasti akan jauh lebih ringan.

Wajar saja Kim Jungwoo berhenti. Tugasnya begitu berat dan tak ada penghargaan apa pun yang ia dapat. Semuanya jatuh ke tangan Jaehyun. Semua pujian, sanjungan dan tepuk tangan. Kim Jungwoo tidak menerimanya sedikit pun.

Kening Jaehyun berkerut dalam.

Dia tidak pantas menyandang gelar sebagai presiden kesiswaan. Kim Jungwoo-lah sang presiden yang sesungguhnya.

Mungkin dia mau kembali jika posisinya berubah lebih tinggi? Jaehyun tidak keberatan untuk berhenti. Dia akan fokus kepada football saja. Lagipula sejak awal dia tidak berniat menghabiskan waktu luangnya mengurusi ini itu terkait kesiswaan. Karena ia sadar betul, keadaan seperti ini tidak boleh berlanjut. Jaehyun tidak bisa memainkan dua peran, dia harus memilih.

"A-argh, perutku sakit sekali. Aduh―" Jaehyun mengerang. Perih yang terasa melilit pada bagian perut kembali ia rasakan. Rasanya seperti ada tangan yang memelintir lambungnya, seperti memeras jemuran.

Sudah jam 9, tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Jaehyun tidak yakin ia sanggup berjalan sendiri hingga ke halte depan sekolah. Apalagi tidak ada orang yang bisa menolongnya. Mungkin ia harus merangkak untuk pulang.

Tangannya yang sedikit gemetar terulur ke depan, meraih ponsel di dekat tumpukan dokumen. Kemudian Jaehyun menggeram kesal. Ponselnya mati, dia tidak bisa menelepon ke rumah dan meminta ibunya menjemputnya. Sepertinya tak ada pilihan lain selain merangkak pelan ke depan.

Tanpa mempedulikan peralatan tulisnya yang tersebar berserakan di atas meja, Jaehyun beranjak berdiri dari kursi, dengan posisi sedikit membungkuk menahan sakit.

"Aduh! Ahh―"

Jaehyun merasa lambungnya dipenuhi asam. Perutnya terasa penuh, tapi bukan oleh makanan. Tentu saja, memangnya apa yang dia makan hari ini? Rasanya seperti balon yang siap meletus, ditambah sensasi perih melilit yang membuat Jaehyun tak bisa berdiri lurus.

Tangannya berpegang pada pinggiran meja. Jaehyun merintih menahan perih. Dalam kondisi seperti ini, dia bahkan tidak yakin bisa merangkak keluar. Bergerak sedikit saja cukup menyakitkan. Kakinya lemas karena belum makan.

"Oh, Tuhan. Aduh―"

Saat itu pintu terbuka dan mata Jaehyun bertemu dengan manik yang seketika membulat.

"Ah, kukira kau sudah pulang. A-Aku― aku pergi dulu." Pemuda yang tiba-tiba muncul itu bergegas membalikkan badannya untuk pergi.

"Tunggu! Jungwoo, tunggu― aargh!"

Dan Jaehyun jatuh berlutut karena tak kuat menahan lilitan pada perut. Ia mencoba mengejar Jungwoo, berhasil melakukan dua langkah, kemudian tumbang. Jaehyun merintih memegangi perutnya.

Jungwoo membalikkan badannya lagi. Ia tidak segera berlari menghampiri Jaehyun, melainkan hanya berdiri di tempatnya dengan penuh keraguan,

"Kau baik-baik saja?" ―dan ada nada sedikit kekhawatiran disana, mungkin.

"Aku, uggh, kurasa aku sakit maag."

"Maag?"

"Se-sepertinya."

Dari ujung matanya Jaehyun bisa melihat Jungwoo mendekat ke arahnya. Dengan langkah sedikit panik, Jaehyun mencatat dalam benaknya.

"Kau― bisa berdiri?" Tangan kanan Jungwoo ditempatkan pada pundaknya.

Hangat, Jaehyun membatin. Pasti karena ia yang berkeringat dingin.

"A-akan ku-usahakan."

Jungwoo meraih tangan kiri Jaehyun dan melingkarkannya pada pundaknya, sementara tangan kanan Jungwoo menahan sekitar pinggang Jaehyun, membantunya berdiri.

Jungwoo membimbingnya untuk duduk di sofa, dengan langkah yang begitu pelan, bahkan lebih pelan dari siput.

Sesekali Jaehyun merintih kesakitan. Kalau sudah begitu, Jungwoo akan bertanya dengan panik apakah dia baik-baik saja.

Diam-diam Jaehyun tersenyum dalam hati. Tapi tersamarkan oleh erangan yang memaksa keluar dari mulutnya, diikuti kalimat aku tidak apa-apa yang penuh kebohongan.

Jarak 10 meter itu terasa seperti bermil-mil jauhnya. Baru kali ini Jaehyun dibuat tidak berdaya sedemikian rupa hingga melangkah pun terasa menyiksa.

Jungwoo mendudukkannya di sofa perlahan-lahan, penuh kehati-hatian, dengan sepasang alisnya yang berkerut dalam.

Kim Jungwoo terlihat khawatir. Dan Jaehyun kira pemuda itu sudah tak peduli padanya

"Tunggu di sini. Aku akan mengambil sesuatu."

Jaehyun hanya menganggukkan kepala, tidak mempercayai suaranya. Ia yakin sekali hanya rintihan yang akan keluar. Dan sepasang matanya memandangi Jungeoo yang berlari pergi.

Sambil menunggu ia kembali, Jaehyun mengistirahatkan kepalanya pada sandaran sofa dan memandangi langit-langit, mengatur nafas pelan. Bahkan bernafas pun terasa menyakitkan. Perutnya sedang melakukan protes karena tidak mendapatkan asupan makanan yang cukup.

Suara derap langkah kaki Jungwoo terdengar menggema dalam sunyi. Jaehyun tersenyum geli. Kalau Yuta ada di sini, dia pasti sudah menarik kerah kemeja Jungwoo dari belakang hingga membuatnya hampir tercekik. Pemuda itu ketat sekali tentang peraturan, bahkan melebihi guru piket.

Jaehyun menolehkan kepalanya ke arah pintu, mendapati Jungwoo terengah-engah mencoba mengumpulkan nafas. Kelihatannya pemuda itu berlarian jauh.

"Ah, tunggu sebentar."

Jungwoo bergegas menuju dispenser di sudut ruangan, mengisi cangkir yang ia bawa dengan air hangat. Jaehyun mengernyitkan dahi, apalagi saat aroma teh tercium olehnya. Jaehyun mengerutkan hidung. Ia tidak suka teh. Ia lebih suka coffee

Tapi Jungwoo terlihat sepenuh hati menyiapkannya. Berhati-hati dalam melangkah agar tak tumpah. Pada akhirnya ia duduk di samping Jaehyun, secangkir teh hangat dalam genggamannya. Sepasang matanya terlihat tidak nyaman.

"Minum ini, untuk meredakan sakit." Ia mengangsurkan cangkir pada Jaehyun.

"Aku tidak suka teh," Ada nada merajuk dalam bicaranya. Hei, dia kan sedang sakit! Biasanya ibunya mengabulkan apa pun yang ia minta. Es krim, burger, ayam goreng; lalu kenapa sekarang dia disuruh minum cairan menjijikkan ini?

"―tidak enak."

Ada urat kekesalan berkedut muncul pada pelipis kiri Jungwoo.

"Bodoh. Terserah kau saja."

Jungwoo meletakkan cangkir warna putih gading di atas meja. Tidak berhati-hati seperti tadi dan menumpahkan sedikit teh, menggenang pada ceper. Ia beranjak dari sofa dan berniat pergi. Lagi.

"Tunggu Jungwoo—argh!" Jaehyun merintih, menunduk memegangi perutnya. Sebenarnya satu matanya mengintip terbuka, memperhatikan reaksi Jungwoo saat mendengar erangannya.

Jaehyun tersenyum dalam hati melihat pemuda cantik itu segera duduk lagi dan terlihat panik.

"Ja-jangan keras kepala! Cepat minum tehnya!"

"Tapi―"

"Kau mau mati, ya?!" Jaehyun berjengit mendengar teriakan Jungwoo.

Bagaimana bisa pemuda cantik ini berteriak pada orang yang sedang kesakitan, Jaehyun tidak mengerti. Tapi ada kekhawatiran yang tergabar jelas pada raut wajahnya, dan itu membuat Jaehyun merasa sesak pada dadanya. Ia menelan ludah dengan susah.

"Ba-baiklah aku akan meminumnya,"

Sesapan pertamanya tidak buruk. Aroma teh yang menenangkan dan sensasi hangat cairan membasahi kerongkongannya memang berhasil meredakan rasa sakitnya.

Jaehyun menghela nafas lega, cangkir teh masih ia angkat di udara. Jungwoo hanya memandanginya dalam diam.

"Bagaimana perutmu?"

Tangan kiri Jaehyun yang bebas meraba perutnya pelan.

"Kembung. Rasanya― seperti balon. Sesak sekali ughh."

Air muka Jungwoo melunak.

Jungwoo mengeluarkan botol minyak angin dari dalam sakunya dan duduk lebih dekat dengan Jaehyun dan tanpa ragu-ragu Jungwoo mengangkat ujung kaos Jaehyun, memperlihatkan perutnya yang agak membuncit karena kembung.

"H-hei!" Tentu saja Jaehyun terkejut, hampir saja menumpahkan tehnya ke atas pangkuannya.

"Diam dulu. Habiskan saja tehmu, jangan banyak bicara."

Bagaimana mungkin ia meminum tehnya sementara pemuda itu meraba-raba bagian perutnya? Mengoleskan minyak angin, lebih tepatnya.

Kalau bukan karena rasa tidak nyaman pada perutnya, Jaehyun pasti sudah membalikan keadaan menindih pemuda cantik itu lalu mereka akan― ah, sudahlah. Lupakan saja.

Tangan Jungwoo terasa hangat dan menenangkan.

"Ugh~" Jaehyun merintih pelan, keenakan.

"Kau tidak boleh menyepelekan penyakit Jaehyun." Selesai dengan perut, Jungwoo mundur kembali ke tempatnya semula, setengah meter dari Jaehyun.

Jujur saja hal itu sedikit mengecewakan, Jaehyun masih ingin merasakan pijatan lembut pemuda itu pada perutnya, atau mungkin bisa sedikit kebagian bawah perutnya, lalu—tidak!

Tapi Jaehyun tidak berani mengeluh. Apalagi karena baru saja Jungwoo berinisiatif untuk bicara.

"Ibuku meninggal karena maag kronis saat aku masih kecil."

"Ah, aku turut menyesal."

Pantas saja Kim Jungwoo terlihat khawatir saat Jaehyun bilang ia sakit maag.

Kemudian ada keheningan yang canggung merebak di antara mereka, sesekali rintihan pelan Jaehyun memecahnya.

Jungwoo memainkan botol minyak angin dalam genggaman tangannya, sama sekali tidak melihat ke arah Jaehyun.

Tidak ada tanda-tanda ia akan mengambil inisiatif untuk bicara, jadi Jaehyun memutuskan untuk berdehem membersihkan kerongkongannya.

"Uh, apa yang sedang kau lakukan di sini?"

Jungwoo mengangkat kepalanya. Alisnya sedikit terangkat, kemudian ia menggeleng.

"Ah, ti-tidak ada. Aku hanya― ugh, kukira kau butuh bantuan?" Diucapkan dengan suara yang lama-lama semakin pelan hingga sebatas bisikan.

"Karena, ah, kau kan tidak pernah mengerjakan apa-apa! Kau pasti hanya akan mengacaukan semuanya! Aku tidak mungkin membiarkanmu menghancurkan badan kesiswaan begitu saja! Karena― pada akhirnya kau yang akan disalahkan, dan popularitasmu― akan… turun…"

Muka Jungwoo berubah menjadi merah padam begitu ia selesai mengatakannya. Jaehyun tertawa kecil melihatnya.

Tentu saja Kim Jungwoo peduli padanya. Kepada badan kesiswaan yang menghindarkannya dari kebosanan dan kesendirian, serta kepada Jaehyun yang― ah, dia sendiri tidak tahu apa perannya bagi Jungwoo. Yang jelas, ia tahu Jungwoo peduli padanya. Karena kalau tidak, pemuda itu sudah meninggalkannya sendirian di ruangan ini untuk merintih kesakitan hingga esok hari. Tidak akan membuatkannya teh yang meredakan perih pada perutnya. Tidak akan mengoleskan minyak angin yang menghangatkan.

Kalau Kim Jungwoo tidak peduli, sudah sejak awal dia menolak menjadi pendamping Jaehyun, mengerjakan semua tugas-tugasnya tanpa banyak mengeluh. Dia tetap bertahan, meski Jaehyun begitu berisik dan menyebalkan.

Karena Kim Jungwoo peduli.

"Terima kasih, Jungwoo." Jaehyun tersenyum, tangannya mengelus perutnya yang terasa hangat.

"Terima kasih karena kau telah membantuku selama ini. Terima kasih karena kau telah bersabar menghadapi keegoisanku. Terima kasih karena kau ada di sini saat ini. Terima kasih untuk semuanya."

Bahkan beribu-ribu ucapan terima kasih tidak akan cukup, Jaehyun tahu. Tapi hanya itu yang bisa ia berikan pada Jungwoo, untuk saat ini. Hanya itu yang bisa ia katakan sekarang. Tentang sesak di dadanya, dan sesuatu yang menggumpal di tenggorokannya minta dikeluarkan; harus menunggu tiba saat yang tepat. Satu langkah dulu, tidak perlu terburu-buru. Karena dia tahu Kim Jungwoo tidak akan pergi. Jungwoo tidak pernah pergi dari sisinya

Manik indah itu memandanginya sekilas, mengerjap, kemudian beralih lagi. Mukanya masih memerah.

"Bodoh, aku tidak melakukannya untukmu."

Jaehyun tertawa.

"Aku tahu. Aku hanya ingin berterimakasih karena aku sadar belum pernah mengatakannya. Terima kasih, Jungwoo."

Dan pemuda itu hanya diam. Jaehyun kembali berdehem, kemudian menggeser badannya untuk duduk tepat di samping Jungwoo.

Jungwoo belum sempat berpindah, apalagi beranjak pergi, tangannya lebih dulu ditangkap oleh Jaehyun.

"Jungwoo," Sepasang mata itu mengerjap waspada, menanti.

"―kembalilah padaku. Aku membutuhkanmu."

Tentu Jungwoo tahu Jaehyun bekerja keras selama ia tidak ada. Kewalahan menyesuaikan waktu antara latihan football dengan kesiswaan. Diceramahi Yuta, dimarahi pelatih; karena dia tidak bisa fokus pada dua tugas sekaligus.

Jungwoo tahu, karena Jaehyunpun menyadari sepasang mata Jungwoo yang selalu mengawasinya dari jauh. Di antara deret buku di rak perpustakaan. Dari balik jendela kelas. Dari sudut terjauh kafetaria. Dari sisi loker. Dari mana pun.

Jaehyun tahu Kim Jungwoo tidak pernah benar-benar pergi. Dan kenapa dia tidak kembali? Mungkin karena dia ingin Jaehyun belajar menghargai orang lain. Mungkin dia ingin Jaehyun menyadari arti kehadiran Jungwoo. Mungkin dia menunggu Jaehyun mengulurkan tangannya memintanya kembali.

Seperti yang ia lakukan saat ini.

"Aku membutuhkan bantuanmu, Jungwoo. Dan aku berjanji tidak akan seperti dulu-dulu. Atau kau bisa menjadi presidennya, kalau kau mau. Aku akan mundur dengan senang hati. Bagaimana pun juga, kau yang bekerja keras selama ini."

Perlahan Jaehyun melepaskan genggamannya, membiarkan Jungwoo melakukan apa yang ingin ia lakukan. Membebaskan Jungwoo untuk pergi, jika itu pilihannya.

Jaehyun membutuhkan Kim Jungwoo, untuk kembali padanya dan menggantikannya, atau mendampinginya seperti semula. Keputusan ada di tangan Jungwoo. Jaehyun tidak akan memaksa. Jadi dia diam dan ganti menunggu.

"Bodoh, semua orang akan protes kalau kau lengser dari jabatanmu."

Jaehyun terdiam.

"Dan aku― aku tidak akan bisa menggantikan posisimu." Jungwoo menundukkan kepala.

"Kikuk, aneh, kutu buku, tidak terkenal, culun, anti sosial dan tidak punya teman. Freak. Semua orang akan melemparkan sampah ke podium kalau aku yang berpidato." Jungwoo tersenyum pahit.

Kim Jungwoo ingat. Tiap kata makian yang Jaehyun muntahkan padanya. Tiap ejekan dan kebenaran yang menyedihkan. Jungwoo ingat semuanya.

Dadanya terasa sesak. Perih pada perutnya terlupakan. Hanya sesak pada dada yang Jaehyun rasakan. Hingga instingnya mengambil alih, mendahului akal sehatnya.

Dalam sekejap Jaehyun telah melingkarkan lengannya mengelilingi Jungwoo, mendekapnya mendekat.

Entah karena terlalu terkejut atau ia memang membutuhkan sebuah pelukan, Jungwoo hanya bisa diam.

Jungwoo diam dan membenamkan kepalanya pada lekukan leher Jaehyun, tidak peduli bau keringat yang menguar darinya.

Dan Jaehyun lega karena Jungwoo tidak memberontak. Lega karena ia tidak mencoba melepaskan diri dan lari. Karena ia tidak yakin dapat mengejarnya dengan mudah kali ini.

Jaehyun menggelengkan kepalanya.

"Tidak, Jungwoo. Kau tidak seperti itu." Bohong. Tentu saja Jaehyun berbohong. Dia tidak mau mengiyakan makiannya tempo hari dan merusak suasana. Kebenaran memang menyakitkan, dan terkadang lebih baik disembunyikan.

Jungwoo tertawa getir. Jaehyun merasakan getar di sekitar lehernya.

"Sudahlah, Jaehyun. Aku tahu diriku." Menyedihkan, seperti kata Jaehyun.

"Dan sekarang kaua tahu aku jadi stalkermu Jaehyun." Jungwoo tertawa lagi, tapi tak berusaha melepaskan diri.

Jungwoo membutuhkan sebuah pelukan, dan Jaehyun bisa memberinya lebih dari sekedar pelukan.

"Konferensi pers! Aku akan mengadakan konferensi pers dan menjelaskan semuanya! Semua orang harus tahu siapa dirimu sebenarnya, Jungwoo. Semua orang harus tahu!"

Pemberontakan kecil. "Dan mereka hanya akan menertawakanku Jaehyun!"

Jaehyun mengeratkan pelukannya. Dia masih bisa menahan Jungwoo.

"Mereka akan menjadikanku sebagai bahan lelucon! Apa itu yang kau mau?! Kau ingin mempermalukanku, kan?!"

Jaehyun menggelengkan kepala. Pelukannya mengerat seiring dengan semakin kuatnya Jungwoo meronta.

"Tidak, Jungwoo. Kau tidak mengerti. Aku tidak pernah bermaksud mempermalukanmu. Aku hanya ingin mereka tahu siapa dirimu. Aku hanya―"

"Kau yang tidak mengerti!" Kali ini Jungwoo mendorong sekuat tenaga.

Jaehyun terlepas dan terhempas ke sandaran tangan sofa.

Wajah cantik itu merah padam, matanya berkaca-kaca. Jungwoo bangkit dan mengepalkan tangan.

"Kau tidak mengerti, Jaehyun. Kau― kau tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya menjadi aku."

Tentu saja. Jaehyun tidak pernah pandai membaca suasana. Dia tidak bisa membaca pikiran orang. Dia tidak tahu apa yang terbaik untuk Jungwoo. Tidak tahu apa yang ia rasakan. Tidak mengerti jalan pikirannya. Tidak mengerti Jungwoo.

Seorang Jung Jaehyun yang hidupnya dikelilingi orang-orang yang mengaguminya tak akan pernah mengerti kehidupan seorang Kim Jungwoo yang rumit. Karena ada perdebatan batin yang terjadi dalam dirinya.

Jungwoo menggelengkan kepala.

"Aku tidak menginginkan ketenaran. Aku tidak butuh pujian dan sanjungan. Aku― aku tidak membutuhkan belas kasihan darimu, Jaehyun."

Jaehyun tidak mengerti. Mengapa Jungwoo tidak menginginkan sebuah pengakuan. Mengapa ia lebih memilih berada di sudut terjauh sendirian. Dan dia tidak akan pernah mengerti kalau Kim Jungwoo tidak menjelaskan.

Jaehyun ikut bangkit.

"Baik. Baiklah, Jungwoo. Dengar, aku tidak mencoba mengasihanimu. Aku memang tidak mengerti apa-apa. Aku tidak akan memaksamu melakukan hal-hal yang tidak kau suka. Aku hanya―"

Jaehyun kehabisan kata-kata. Sementara gumpalan dalam tenggorokannya memaksa keluar.

Mereka terdiam, dalam kecanggungan yang berat di udara.

Kemudian Jaehyun menghela nafas, memandangi Jungwoo dengan sepasang sorot mata hangatnya.

Jungwoo masih diam membeku.

Dan sekali lagi instingnya mendahului akal sehatnya.

Jaehyun melangkah maju dan memeluk Jungwoo untuk kedua kalinya malam itu.

Debaran jantungnya tak lagi bisa ia kendalikan. Berderap-derap seperti kuda pacu. Tapi ada hangat yang menenangkan. Apalagi karena pemuda itu hanya pasrah diam.

Jaehyun menelan gumpalan pada kerongkongannya, menghela nafas lagi. Sedikit gemetar kali ini.

"Hanya ada satu hal yang aku mengerti." Jaehyun berbisik.

"Bahwa aku menyukaimu."

Jaehyun menghela nafas lagi. Lega, beban beratnya terangkat sudah. Sesak dalam dadanya seketika menghilang.

Sementara tubuh Jungwoo dalam dekapannya menegang.

"Aku menyukaimu, Kim Jungwoo." Jaehyun tersenyum, meski tahu pemuda itu tak bisa melihatnya.

"Aku menyukaimu dan aku membutuhkanmu. Aku sebagai presiden kesiswaan, dan aku sebagai diriku sendiri."

"Kau tak perlu takut berpidato di podium, aku akan melindungimu. Aku sendiri yang akan menjadi tamengmu. Kau akan baik-baik saja, aku akan menjamin keamananmu. Kau tidak akan kenapa-kenapa. Aku akan melindungimu." Jaehyun membenamkan kepalanya pada surai hitam yang lembut milik pemuda itu. Yang menguarkan aroma teh yang manis.

"Aku akan menjadi orang yang bisa kau andalkan, aku akan selalu ada untukmu, aku akan menjadi pelindungmu, pahlawanmu"

"...Aku membutuhkanmu Kim Jungwoo. Aku membutuhkanmu untuk berada di sampingku seperti biasanya. Aku membutuhkanmu, seperti Jack membutuhkan Rose untuk mewarnai hidupnya, seperti Jack membutuhkan Rose sebagai seseorang yang berarti untuknya"

Karena setiap orang membutuhkan orang yang special yang selalu ada di sampingnya. Orang yang bisa ia percaya. Kemudian Jaehyun tertawa kecil membayangkan Jungwoo dalam kostum Rose. Pasti menarik. Cantik

"Bodoh." Hanya itu balasan dari Jungwoo.

Dan Jaehyun dapat merasakan tangan kurus Jungwoo melingkari pinggangnya. Balas memeluknya.

Jawaban yang cukup jelas baginya.

***

Jung Jaehyun―seorang pangeran sekolah, kapten tim football, sekaligus presiden kesiswaan yang amat populer berdiri berdampingan dengan Kim Jungwoo, seorang penyendiri, orang tidak penting, dan wakil presiden yang tidak dikenal. Beserta jajaran pengurus kesiswaan, dalam acara seremoni pelepasan senior yang telah direncanakan sejak semester sebelumnya. Sejak Jaehyun masih sebagai orang egois sebagaimana dirinya dulu. Sejak Jungwoo masih sebagai anti-sosial yang tidak suka keramaian. Sejak mereka berdua masih seperti kutub-kutub magnet yang berbeda.

Tapi pada akhirnya, kedua kutub yang berbeda akan saling menarik. Hingga menjadi satu. Hingga meniadakan jarak di antara mereka.

"―karena berkat bantuan mereka semua, acara ini dapat dilaksanakan. Kemudian, tak lupa aku ucapkan terima kasih, secara khusus, kepada Rose-ku yang hebat, karena tanpa dirinya, apalah aku ini. Terima kasih, Kim Jungwoo."

Diikuti kedipan sebelah mata yang Jaehyun arahkan pada orang yang berdiri di sampingnya. Orang yang dimaksud hanya mendengus, berpura-pura tidak peduli, padahal mukanya memerah.

"Terima kasih semuanya. Dan dengan ini, seremoni pelepasan siswa Neo International School angkatan 127, resmi aku buka."

Tepuk tangan terdengar riuh rendah, dengan siulan-siulan yang membuat sudut mata Mr. Lee selaku pembina kesiswaan mengejang.

Di antara semua keramaian itu, samar-samar terdengar bisikan

"Siapa Kim Jungwoo?"

Ketenaran Jaehyun tidak berkurang barang sedikit pun. Sedangkan Jungwoo, dia cukup senang dengan dirinya sekarang. Masih tetap tidak terkenal, memang.

Tapi jika kau bertanya pada Jung Jaehyun, siapa Kim Jungwoo?; maka pemuda tampan itu akan menjawab dengan bangga, My Rose.

Dan kau akan tahu siapa dia.

...END...

sampai jumpa di cerita selanjutnya😎

1
🌸 Airyein 🌸
Buset bang 😭
🌸 Airyein 🌸
Heleh nanti juga kau suka. Banyak pula cerita kau woo
🌸 Airyein 🌸
Bisa bisanya aku ketinggalan notif ini
Novita Handriyani
masak iya tiap kali selesai baca harus ninggalin jejak, Thor. saya hadir ✋️
Novita Handriyani
ngga suka cerita sedih
Novita Handriyani
kayaknya pernah baca nih cerita
kebikusi
astaga cerita ini mau dibaca berapa kali kok tetep bikin berkaca-kaca ya, untung banget punya otak pikunan jadi setiap baca selalu ngerasa kaya buat yang pertama kalinya.. NANGIS
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!